13

3 1 0
                                    

Semester demi semester berlalu begitu cepat. Kepengurusan UKM Teater silih berganti mengalami perombakan di setiap tahunnya. Dan sampai detik ini, peranku tidak mengalami kenaikan. Aku selalu mendapatkan peran figuran di setiap pementasan yang kubuat. Sampai pada suatu hari aku mendengar bisik-bisik Kak Nirmala dengan Kak Sayid dari kursi penonton.

"Aku sebenarnya nggak tega ngomong langsung sama Bintang. Jujur saja, akting dia payah, gesturnya kaku, ekspresinya datar, bahkan intonasinya berantakan. Selama ini aku rela menunggunya selama dua tahun untuk belajar lebih keras lagi, tapi dia sama sekali nggak berproges. Dan kurasa bakatnya bukan di akting," cerita Kak Sayid menatap arah panggung.

"Aku juga merasa begitu. Tapi harus kuakui tulisan naskahnya benar-benar bagus dan tersirat. Tanpa Bintang, teater kita mungkin nggak akan bisa sampai di titik ini," lanjut Kak Nirmala.

Ucapan mereka membuatku menitikkan air mata. Aku jadi mengerti mengapa mereka tidak bisa memberikanku kesempatan menjadi pemeran utama―aktingku benar-benar payah. Bukan hanya mereka saja yang bilang, dulu Miki juga mengatakan hal yang serupa. Seketika aku menjadi tak berdaya dan kehilangan harapan. Di hadapan teater kecil saja aku dicap sebagai orang yang tak layak, apalagi di industri perfilman yang sebenarnya?

Aku merenung sepanjang hari dan malam. Terus menangisi nasib dan mimpi bodoh yang sulit untuk digapai. Menonton TV rasanya hambar. Menatap diri di cermin pun merasa tak layak. Seperti inilah rasanya penolakan dalam hidup.

Aku menemukan baliho besar di perempatan arah kampus. Baliho itu adalah iklan provider dengan Gemmy sebagai brand ambassador-nya. Wajahnya fotogenik dan tersenyum dengan riang. Ketika aku melihat keceriaannya, aku menangis. Ternyata benar, merebut posisi Gemmy tidak mudah. Aku hampir menyerah.

Siang itu aku mengundurkan diri dari UKM Teater. Semua anggota tercengang mendengar keputusanku yang mendadak. Kak Sayid berusaha menahanku untuk tetap ada di Nusa Lestari. Dia bahkan mengiming-imingku sebuah peran tritagonis untuk pemeran selanjutnya. Sayangnya, aku sudah tidak berminat untuk mengisi posisi tersebut. Sudah terlambat dan sudah layu ambisiku ini untuk menjadi aktris.

Benar kata Mamak, menjadi aktris itu sulit. Sudah dua kali aku gagal untuk meraihnya; 1. Menjadi kover majalah remaja, 2. Menjadi pemeran utama dalam pertunjukan teater. Mungkin menjadi guru Matematika adalah takdir yang tepat untuk masa depanku. Dan soal dendamku kepada Bapak dan Gemmy―mungkin ambisi itu harus rela terkubur dalam-dalam. Pelan-pelan aku mulai sadar siapa diriku sebenarnya―dan siapa tandinganku sebenarnya.

Aku melanjutkan kuliah dan lulus tepat waktu dengan predikat cumlaude. Mamak dan Nenek memelukku bangga dan haru. Inilah prestasi yang bisa kupersembahkan kepada mereka―meskipun sebenarnya aku juga ingin memamerkan momen berhagia ini kepada Bapak―bahwa aku ternyata lebih menonjol dalam dunia akademis dibandingkan seni, tapi mana mungkin Bapak peduli kepadaku setelah dia berhasil mengusirku kala itu.

Mamak menyuruhku untuk mengajar pelajaran Matematika di sekolah dasar. Minggu pertama saat aku mengajar, aku benar-benar kewalahan. Aku tidak terbiasa menagatasi keributan anak-anak, tidak bisa welas asih kepada anak yang nakal, dan kondisi primaku selalu naik turun menghadapi mereka. Aku tidak tahu bagaimana cara mengendalikan mereka.

Aku menangis. Aku tak tahu apa yang kuinginkan dalam hidup. Aku tidak merasa cukup puas menjadi guru. Terkadang aku masih memikirkan tentang mimpiku. Sedalam apa pun aku menguburnya, pikiran itu akan selalu ada dan tidak akan pernah hilang. Aku masih ingin bisa berakting, tampil di TV, atau mungkin apa pun untuk bisa menjadi terkenal. Aku ingin, tapi aku tak tahu caranya, dan memulainya dari mana.

Diam-diam aku melamar pekerjaan di tempat lain. Salah satu tujuanku adalah Jakarta. Setiap hari aku terus mengirimkan lamaran pekerjaan―apa pun itu jenis profesinya. Sampai suatu ketika aku di telepon rekruiter untuk melakukan wawancara via panggilan video. Selang beberapa hari kemudian, aku mendapatkan kabar bahwa aku diterima di perusahaan investasi sebagai marketing officer. Aku kegirangan dan langsung memberitahukan Mamak tentang berita baik ini.

Star On the StageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang