7

16 7 0
                                    

Diam-diam sepulang sekolah aku mengajak Miki pergi ke warnet. Aku ingin mencari identitas Karsa Aranantyo lebih dalam lagi. Miki adalah sahabatku sejak kecil dan dia juga masih saudara jauh denganku, rumah kami hadap-hadapan dan kami selalu bersekolah di tempat yang sama. Saat aku menceritakan semuanya kepada Miki, dia langsung menganga dengan dahi yang mengkerut.

"Serius kau, Bin?" tanyanya yang masih tak percaya. Kemudian dia bertepuk tangan dengan bangga. "Gila, temanku bapaknya artis sinetron."

Semua orang di warnet menatapku secara tajam. Cepat-cepat aku membungkam mulut Miki. "Diam, Mik. Aku malu."

"Kenapa malu? Emang kenyataannya begitu kan, Karsa Aranantyo itu Bapak kau."

Aku menaikkan sudut bibirku ke atas. "Ya, memang benar. Tapi dia kan nggak nganggap aku anaknya. Dan lagi dia juga udah punya keluarga baru. Orang lain nggak akan percaya sama ucapan kau―meskipun faktanya benar."

Antusias Miki langsung padam setelah mendengar ucapanku. "Kau benar, Bin." Dia menatapku dan layar komputer yang menunjukkan laman Wikipedia. "Terus kau mau cari informasi apa tentang dia?"

Aku kembali memutar badanku pada layar monitor. "Aku pengin mencari alamatnya."

"Kamu mau nekat ke Jakarta buat ketemu dia?" Tatapan Miki tajam menatapku. "Bin, Jakarta itu jauh. Mesti naik kapal atau pesawat. Belum lagi cari tempat tinggal. Dari rumah kita ke Palembang aja butuh waktu empat jam lebih, apalagi ke Jakarta."

"Aku tahu itu. Aku cuma mau simpan alamatnya untuk berjaga-jaga jika suatu hari nanti aku bisa pergi ke Jakarta. Aku pengin ketemu sama Bapak kandung aku."

"Terus misalnya kalian ketemu, emang Bapak kau bakal ngenalin kau?"

Aku menghentikan aktivitas mengetikku. Ragu. Dan membayangkan apa ucapan Miki barusan. Aku menggeleng berusaha menahan tangis. "Nggak tahu. Untuk saat ini aku cuma mau minta penjelasannya yang sebenarnya. Lewat suaranya sendiri."

Miki menepuk bahuku pelan, dia tahu aku menangis karena suaraku bergetar. "Terkadang ketidaktahuan membuat hidup kita jauh lebih tentram daripada mengetahui hal yang sebenarnya, Bin." Dia mengeklik tombol 'x' dari Google Chrome komputerku. "Bin, kau bahagia nggak sama kehidupan kau yang dulu saat sebelum mengetahui semuanya?"

"Biasa aja. Hidup aku nggak pernah lengkap, selalu merasa kosong. Selama ini aku selalu mengira kalau aku adalah anak yatim. Bapakku telah ada di surga untuk menjagaku, Mamak, dan Nenek." Aku menarik napas kasar. "Tapi setelah aku mengetahui semuanya, surga yang aku bayangkan berubah menjadi neraka. Sosok itu ternyata masih hidup. Dia seperti iblis yang turun ke bumi. Persis seperti itu," balasku dengan sorot mata tajam.

"Jadi, apa sekarang kau benci sama Bapak kau?"

Aku mengangkat kedua bahuku. "Belum tahu. Kalau dia masih mengingatku, mungkin aku nggak akan sepenuhnya membencinya. Tapi kalau Bapak benar-benar melupakanku, maka aku akan membencinya seumur hidupku. Aku akan berdoa setiap hari agar hidupnya menderita. Bahkan lebih menderita dari caranya meninggalkan Mamak dan aku."

Star On the StageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang