9

6 3 0
                                    

Ada satu momen di mana bola mataku berbinar tak berkedip. Mendadak aku memiliki sebuah mimpi. Aku ingin bisa seperti Gemmy―menjadi terkenal, pemain sinetron, dan bintang iklan. Aku ingin tahu bagaimana rasanya dicintai oleh satu negara. Aku juga ingin mendapatkan banyak pujian, memiliki hidup bergelimang harta, dan penuh kasih sayang. Selama ini aku tidak pernah utuh mendapatkannya. Hidupku jauh berbeda dari kehidupan Gemmy. Sangat jauh dan timpang.

Tingkat kehidupan kami sangat berbeda. Dari segi pendidikan, Gemmy bersekolah di sekolah swasta internasional, sementara aku bersekolah di sekolah negeri bantuan pemerintah. Gemmy bisa membeli barang mewah dengan sekali tunjuk, sementara aku harus menunggu berbulan-bulan atau mungkin tidak bisa kudapatkan jika aku menginginkan sesuatu yang kuinginkan. Gemmy bisa makan enak setiap hari sampai dia bosan, sementara aku harus menunggu awal bulan setelah gajian Mamak untuk bisa makan enak. Gemmy tinggal di rumah bagaikan istana dongeng, sementara aku tinggal di sebuah rumah yang setiap hujan selalu bocor dan dinding bata yang tidak keseluruhan diplester.

Aku bukan orang kaya. Mamak hanya seorang PNS guru Matematika SD yang gajinya hanya bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Sementara Nenek adalah penjual sayuran hijau di pasar. Penghasilan mereka memang pas-pasan, tetapi kami selalu bersyukur atas apa yang kami dapatkan. Dalam hatiku, aku ingin sekali bisa meringankan beban mereka. Aku ingin sekali memiliki banyak uang untuk membahagiakan mereka, mengumrohkan mereka, dan memberikan tempat tinggal yang layak bagi mereka. Dan yang kutahu, cara untuk menjadi kaya adalah menjadi profesional. Baik itu dari pendidikan atau pun dari tindakan. Aku sudah memutuskan ketika dewasa nanti, aku ingin bisa menjadi lebih dari Gemmy. Dan barangkali jika aku berhasil menjadi akrtis, Bapak akan malu dan menyesal telah meninggalkanku. Begitu juga dengan Gemmy, aku mau dia tahu bahwa aku bisa lebih sukses tanpa bantuan sokongan dari Bapak.

Sejak mimpi itu membara, aku mulai berpikir bagaimana caranya untuk bisa seperti Gemmy dengan tingkat kehidupanku. Ibaratnya, bagaimana aku harus bisa mencapai garis angka 10 padahal aku masih berada di garis -1. Aku perlu naik ke titik 0 untuk memulainya.

Aku memulai karierku mengirimkan pas foto 4 x 6 ke berbagai perusahaan majalah remaja. Mereka bilang menjadi cover girl adalah jalan pintas bagi pendatang baru untuk masuk ke dunia entertain. Maka dari itu aku berusaha mengumpulkan uang untuk foto di studio yang layak dan mengirimkannya melalui pos surat ke Jakarta. Aku rela tidak jajan selama sebulan demi menanti sebuah kabar baik.

Sebulan berlalu aku tidak mendapatkan kabar dari mana pun. Aku memutuskan membeli majalah Gadis dan Hai untuk mengetahui kelanjutkan sesi pemilihan cover girl. Namaku tidak ada di dalamnya. Tersisa 20 nama terpilih dari juri yang berasal dari kota-kota besar di Indonesia. Mayoritas didominasi oleh kontestan Jakarta, lalu Surabaya, dan Bandung. Adapun dari Palembang hanya satu orang. Begitu aku mengecek identitasnya, aku merasa minder dan tak pantas. Gadis itu berasal dari keluarga terpandang. Anak dari walikota dan istrinya adalah notaris ternama di Palembang. Gadis itu bersekolah di sekolah favorit, berprestasi dalam bidang akademis, dan memiliki kemampuan balet di kancah internasional. Jelas saja aku kalah. Aku tidak sepadan dengannya. Bahkan aku sendiri tidak punya bakat apa-apa. Lalu aku merenung, sebenarnya apa bakatku? Dari kecil aku tidak banyak diberikan keterampilan oleh Mamak. Aku hanya bisa bersih-bersih dan memasak. Apakah pemilihan cover girl bisa menerima keterampilan seperti itu? Aku jadi kesal sendiri. Andai saja Mamak ada uang lebih, aku ingin sekolah akting, sekolah balet, sekolah model, atau sekolah apa pun yang bisa membawaku pada dunia entertain. Tapi lihatlah sekarang, I am nothing.

Aku sadar diri, tetapi aku tidak mau menyerah dan berlarut dalam kesedihan. Miki selalu menjadi sahabatku dalam berdialog. Aku menyuruhnya untuk menjadi lawan bicaraku selama akting. Kami akan selalu tertawa geli setiap kami beradu akting. Sampai akhirnya aku menyuruhnya untuk mengikat mulutnya dengan saputangan agar dia tidak tertawa di depanku. "Dialog kau udah lumayan bagus, Bin. Logat Palembangnya udah mulai samar. Tapi akting nangis kau payah. Mana ada air mata kau keluar," kata Miki. Benar. Akting menangis adalah hal tersulit yang selalu membuatku remedial. Aku sering melakukannya seorang diri di cermin, membayangkan sosok Bapak yang menelantarkanku, membayangkan hidupku diambang kesulitan, semua hal sedih-sedih sudah kubayangkan di atas kepalaku. Tapi nyatanya, empati itu sulit untuk aku rasakan. Tangisanku mungkin saja sudah kering.

"Kalau gitu coba ikut kelas akting sama senior yang kuliah di jurusan seni aja."

"Kau kenal orangnya, Mik?"

"Ada. Pacarnya teman futsalku. Coba nanti aku bantu tanya-tanya, Bin." 

Star On the StageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang