14

18 3 0
                                    


Ghina segera keluar kelasnya. Kini kelas telah berakhir dan dirinya berniat akan pulang.

Ghina mulai menyalakan pulpennya, mengaktifkan fungsi pulpen itu agar kejadian seperti tadi tidak terjadi lagi.

"Kalo gue mikirin tentang hal tadi, gue ngerasa aja kalo hidup dan mati gue dipertaruhkan disini, setiap gue pergi dan pulang... Entah kemanapun gue pergi... Semoga aja enggak ada hal aneh lagi terjadi sama gue." ucap Ghina, masih terus berjalan.

Ia masih memikirkan sesuatu, tepatnya itu tentang Feni.

"Kenapa ya tadi dosen barunya bilang kayak gitu? Ada yang enggak gue tahu dari dia, apa? Atau memang mereka saling kenal? Bu Feni cakep sih, tapi masa iya dia bakal jadi saingan gue.. Aaaaa gue ngerasa kayak beras kencur disamping dia." ucap Ghina.

Tiba-tiba Aldi menghampirinya mengagetkan. "Dor!" ucapnya yang ikut berjalan bersamanya.

"Lo ngapain kayak gitu barusan?"
"Kayak gitu gimana? Hehe lagi peregangan aja... Latihan mulut supaya gampang ngeghibahin orang." ucap Ghina membuat Aldi tertawa.

"Ngomong-ngomong cees lu kemana?" tanya Ghina.

"Dia disuruh dosen baru tadi kan bantuin bawa bangku. Gak balik lagi semenjak setelah itu."

"Oh, kuat sih dia... Kalo gue kan letoy makanya dia yang disuruh."

"Haha apaan sih. Gue juga letoy dong gak disuruh." ucap Aldi.

Mereka pun akhirnya melewati ke ruang dosen dan melihat ada Via disana. Dirinya terlihat diam saja, sepertinya Feni baru saja berkata sesuatu padanya dan cukup membuat dirinya tercengang. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi dari sana. Dan mereka berdua pun mendekati Via.

"Kenape lo diem aja?" tanya Ghina heran.

"Palingan lagi keinget utang." ucap Aldi.

"Tapi serius loh lo sampe pucet kayak gitu... Mikirin utang beneran?" tanya Ghina heran. "Udahlah ayo jalan." ucap Via langsung mengajak mereka pergi dari sana khawatir didengar.

Tak berapa lama akhirnya mereka pun berada cukup jauh dari sana, dimana Via kembali memulai percakapan diantara mereka.

"Lo udah yakin sama cowok lo yang itu Na?" tanya Via seakan menyimpan sesuatu.

"Eh? Maksud lo pak Kevin?" tanya Ghina.

"Kalo menurut gue mending lo sama Aldi aja... Dibanding sama dia."

"Hah? Kok tiba-tiba lo ngomong kayak gini sih?" tanya Ghina heran.
Aldi hanya diam saja saat itu.

Via kembali berkata. "Ya itu terserah lo, balik ke lo lagi. Kalo lo masih mau hidup lo aman dan enggak berhadapan dengan bahaya lagi. Lo mesti jauhin dia. Semua keputusan ada di tangan lo." ucap Via meninggalkan Ghina yang terlihat sangat heran tentunya dengan wanita itu.

"Dia kenapa sih?" tanya Ghina pada Aldi, lelaki itu mengerdikkan bahunya.

Tiba-tiba perhatian Ghina teralihkan pada dekan didepan sana. Yang kini pandangannya tepat mengarah padanya. Ghina salim mencium tangannya.

"Pak.." bukan hanya Ghina saja akan tetapi Aldi juga.

"Saya dengar dari Kevin kalau kamu sedang diincar oleh orang. Apa kamu mau saya antar hingga pulang ke rumah? Atau suruh anak sini untuk mengantar kamu?" tanya dekan.

"Ah, enggak pak enggak usah... Saya udah mastiin kalo saya bisa jaga diri saya kok pak. Apalagi saya udah dikasih pulpen ini, pak Kevin bakal tahu kalau saya dalam bahaya lewat pulpen ini." ucap Ghina. 

Aldi tampak heran dengan isi pembicaraan mereka saat itu. Ghina diincar?

"Diluar terlalu berbahaya, saya merasa khawatir jika terjadi sesuatu. Ah kalau enggak Aldi saja yang mengantar kamu pulang." ucap dekan.

"Udah pak enggak usah." ujar Ghina tak mau merepotkan.

"Tunggu maksudnya ini apa ya? Ghina kenapa?" tanya Aldi akhirnya angkat bicara.

Ghina pun mau tak mau terpaksa menceritakan hal yang terjadi padanya tadi dan alasan kenapa dirinya dijadikan incaran orang jahat sekarang.

Tak lama kemudian, pada akhirnya pun Aldi yang mengantar Ghina saat itu naik motor.

"Pantesan aja si Via ngomong kayak gitu, ternyata lo dalam bahaya sekarang. Ada benernya jugasih kata dia." ucap Aldi dari balik helmnya. Ghina hanya diam saja dikatakan seperti itu,

"Gue ngerasa aja udah deh, mumpung masih ada waktu. Mending lo udahin aja hubungan lo sama tuh cowok. Daripada lo nanti yang dbuat enggak nyaman sama posisi lo. Enggak bisa kemana-mana kayak gini. Diincer sama orang-orang jahat." ucap Aldi.

Ghina masih terdiam. Entah ya rasanya sayang saja jika dirinya harus mengakhiri hubungan diantara mereka, padahal waktu pertunangan sudah didepan mata.

Apalagi dua keluarga besar juga sudah masing-masing mengenal satu sama lain. Membuat Ghina tak lain jadi galau sendiri dengan perkataannya itu.

"Emang menurut lo kayak gitu ya?"

"Iya Na, gue enggak maksa lo, semua keputusan ada di lo tapi yang jelas lo harus mempertimbangkan keamanan lo sendiri."

"Makasih Al atas perhatiannya." ucap Ghina.

Disaat yang sama Kevin masih terus menatap ke arah ponselnya, hasil rekaman kamera dari pulpen yang diberikannya pada Ghina tadi.

Tanpa disadari oleh Ghina, hasil rekaman kamera yang menunjukkan kalau dirinya sedang pulang bersama dengan Aldi terekam. Cukup menyebalkan melihat pemandangan ini, apalagi mendengar percakapan mereka yang seakan menyudutkannya.

Rio menghampiri Kevin saat itu termenung mendengarkan. Rio ternyata diam-diam mendengar hasil rekaman itu, karena suaranya cukup terdengar hingga ke meja kerjanya.

"Kayaknya akan lebih baik orang seperti kita enggak punya wanita pendamping ya pak.." ucap Rio.

"Heh, sok tahu lo." ucap Kevin.

"Mbak Ghina kayaknya lagi bingung pak... Apa bapak enggak coba hubungi dia, supaya minta kejelasan tentang hubungan kalian? Saya cuma kasih saran aja sih pak." ucap Rio.

"Iya nanti gue hubungi dia." ucap Kevin.

"Kalau kayak gini rasanya percuma udah pedekate sejak awal tapi malah ujung-ujungnya enggak jadi." ucap Rio. Kevin tersenyum masam masih dalam keadaan diam saja tidak menjawab apapun. Hingga ia mendengar jika Ghina sudah sampai rumahnya dan berpamitan dengan Aldi.

"Oh iya pak, bapak udah tahu siapa yang jadi dalang dibalik ini semua?" tanya Rio.

"Kemungkinan besar dia."

"Siapa pak?" tanya Rio.

"Si mafia topi item." ucap Kevin.
Rio tersentak. "J-jadi dia pak?" Rio tak percaya.

"Dia sempet ngasih peringatan ke gue soal ini sebelumnya, tapi sayangnya enggak gue tanggepin, gue kira itu cuma basa-basinya doang, ternyata dia beneran melakukan hal bodoh semacam ini." ucap Kevin.

"Terus kita harus bagaimana pak? Dia kan mafia terkuat yang ada di indonesia ini. Bahkan pengikutnya ada banyak di negara ini. Apa mungkin kita mesti kasih dia pelajaran pak?" tanya Rio.

"Gue mau nyari tahu dulu apa benar itu mereka. Gue bakal kejar terus orang yang ngincer Ghina." ucap Kevin.

Kevin menepati perkataannya, dimana kini ia sedang berada didepan sebuah pusat perbelanjaan, dimana ia sedang menyamar sebagai satpam di pusat perbelanjaan itu, memakai baju serba coklat muda layaknya seorang satpam pada umumnya.

Ia memakai topi hitamnya berjalan cepat menuju ke sebuah lift lalu lift itu langsung naik ke atas hingga ke lantai paling atas. Ia membuka pintu lift dan mulai mencari kemanapun tempat yang menjadi tujuannya, earphone ditelinganya berisi suara Rio yang memberitahu kemana dirinya harus melangkah saat itu.

Karena didukung juga oleh pulpen berkamera yang sama halnya dengan ia berikan pada Ghina waktu itu.
Ia akhirnya sampai didepan sebuah pintu. Ia mengetuk pintunya. Seseorang didalam berkata. "Siapa?"

Dinikahi Mas IntelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang