23

17 1 0
                                    


Beberapa saat kemudian pria yang ditunggu telah tiba, Jason keluar dari mobilnya bersama kelima bodyguardnya namun sayangnya Jason mengurungkan niat para bodyguardnya untuk ikut masuk. Ia menyetop mereka.

"Kalian tidak perlu ikut.... Sesuai perjanjian awal saya dengannya, saya hanya akan pergi sendirian kedalam sana. Tunggu disini sampai saya benar-benar merasa ada hal gawat baru kalian datang, tetap aktif menunggu pesan dari saya." ujar Jason.

"Baik tuan.'" ujar sekertaris maupun para bodyguardnya.

Jason jalan langkah demi langkah menghampiri rumah bangunan semacam gudang disana.

Ia masuki pintunya lalu mulai melangkah perlahan dengan hati hati, dengan perasaan cemas dan pistol di genggaman ia teruskan perjalanannya menyusuri area gudang itu.

Area yang cukup temaram dan sedikit redup, tak terlalu banyak cahaya yang masuk, Jason langsung memekik.

"Hey Kai! Tidak perlu membuang waktumu! Cepat serahkan anakku!" pekik Jason tapi mirisnya tidak ada jawaban. Ia terus mencari dimana keberadaan orang yang ia maksud, hingga muncullah sebuah suara yang cukup besar menggema, terdengar dari banyak sisi.

"Selamat datang, terima kasih telah meluangkan waktumu untuk bertemu denganku, Kai. Ini akan menjadi hari yang begitu berkesan untukmu. Anda bisa lihat diujung depan sana? Itu adalah tempat dimana anak anda disekap, suhu didalam ruangan itu akan semakin menurun mulai dari sekarang. Anda punya waktu hanya 30 puluh menit untuk menyelamatkan anak anda sebelum mati kaku. Silahkan anda cari sampai ketemu kunci untuk membuka pintunya." ujar Aldi yang ternyata mengisi suara tersebut.

Kevin tersenyum menyeringai, ia langsung menjatuhkan kunci yang ada ditangannya ke bawah celah lantai hingga jatuh ke dasar ventilasi. Kevin merasa sangat puas atas hal itu.

Dari kamera CCTV dirinya melihat bagaimana Jason dibuat sibuk mencari-cari kunci diseluruh ruangan area gudang sana, mencoba memberitahukan kepada para bodyguardnya untuk menyusul ikut mencari, seluruh arah mereka telusuri tapi mirisnya tak ada.

Detik demi detik, menit demi menit, waktu terus berjalan, mereka terus disibukkan dengan hal itu, tanpa tahu kalau yang mereka cari sangat sulit untuk dijangkau.

"Mike, bertahanlah. Papa berjanji akan menemukan kunci itu, kamu tetaplah bertahan." ujar Jason mencoba menenangkan.

"Pa tolong cepetan, disini dingin banget pah!" pekik Michael dari dalam.

"Kamu yang sabar ya nak... Papa akan bantu carikan." ujar Jason yang langsung mengikuti kumpulan para bodyguardnya ikut mencari.

Hingga di detik menit-menit terakhir, Jason dibuat kesal. Semua tempat sudah dicari tapi tidak ditemukan kuncinya. Ia benar-benar jengkel. Ia berteriak.

"Hey Kai Iblis! Cepat jawab aku! Dimana kau menyembunyikan kuncinya sialan!" pekik Jason terus berteriak, tapi sayangnya suaranya tidak memberikan timbal balik dari Aldi kembali.

Jason menendang apapun disana, disela Michael yang terus merintih kedinginan, berteriak, memukul pintu hingga akhirnya tak terdengar lagi suaranya.

Jason mau tak mau pun memakai cara paksa, yaitu membuka secara paksa pintu yang terbuat dari besi itu.

Yaitu dengan cara di bor dengan gergaji mesin, itu adalah opsi terakhir, satu-satunya cara yang bisa mereka lakukan untuk membuka pintu besi yang kuat itu.

"Nak bertahanlah didalam, papa sedang mencoba membukanya. Kamu tetap bertahan ya nak." ujar Jason terus memberinya semangat, meski sayangnya suara sang anak tidak lagi terdengar.

Jason terlihat sangat panik saat itu, keringat bercucuran berbarengan dengan air matanya.

"Kai bajingan!" pekik Jason.
Kevin segera pergi dari area gudang, menuntun Aldi yang saat itu masih sedikit kesakitan atas perlakuan Michael beberapa waktu lalu.
Sembari itu Kevin mengajaknya mengobrol.

"Kalo gue liat lo entah kenapa kok jadi keinget adek gue ya. Nasib lo gak jauh beda sama dia sekalipun kalian berakhir dalam keadaan yang berbeda, jadi korban mereka yang enggak mau bertanggung jawab atas perbuatannya. Gue rasa ini hukuman yang setimpal untuk mereka." ujar Kevin.

"Jujur gue masih enggak nyangka lo seberani ini. Gue yakin juga peran lo di kepolisian pasti sangat hebat sampe berhubungan sama hal seberat ini. Keren menurut gue. Adek lo pasti bahagia dialam sana. Punya kakak sehebat lo." ujar Aldi.

"Gue jujur udah ngerencanain hal ini dari lama, tapi baru kesampean sekarang. Yah memang waktunya sekarang." ujar Kevin, entah apakah ini yang terbaik, karena ia merasa sudah cukup lelah untuk terus mengejarnya.

Ia hanya ingin orang itu tidak menganggap remeh apa yang sudah ia lakukan di masa lalu. Dan tidak melupakannya begitu saja. Riko telah tiada atas kesalahan yang mereka perbuat, kehidupan pun tetap berjalan, tapi kenangan tentangnya tidak semudah itu terlupakan.

Bagaimana Riko yang selalu jadi anak baik, yang tidak pernah terlibat atas kejahatan apapun, selalu patuh dan taat kepada orang tuanya, sedikit rapuh dan selalu mencoba yang terbaik selama ia hidup.

Adik kebanggaannya yang sangat gemar belajar dan bermain sepakbola bersamanya, yang sangat gemar menolong dan selalu memendam perasaannya, kini telah tiada.

Tak tergantikan... Yang tersisa hanyalah kenangan tentangnya saja.
Dari sini Kevin cukup paham jika sesuatu yang semula tak terlalu ia perhatikan malah justru menjadi sumber motivasinya akibat ketidak hadirannya di kemudian hari.

Ghina sangat mencemaskan Kevin saat itu, maupun Aldi yang katanya sedang dipukuli, ia sangat khawatir kalau terjadi apa-apa dengan mereka sekarang. Apalagi kata Rio tadi kalau Kevin berkemungkinan sedang mengincar mafia topi hitam sendirian.

Ini benar-benar tidak masuk di akal. Kenapa ia seberani itu?
Ghina terus menelepon Kevin tapi tak kunjung diangkat. Ia benar-benar mencemaskannya.

"Kok enggak diangkat-angkat sih, apa jangan-jangan disana dia ketemu sama cewek cakep terus makan siang ditengah sawah, cium-ciuman kaki, diajak shopping sampe kantongnya jebol, lari-larian kayak film india, kelilingin jakarta pake jet pribadi sampe ngebooking hotel buat bermalam berdua, pijit-pijitan!!!... Aaaaa gue mau botakin si Ipin!!!! Akhh kesel!" Ghina menonjok-nonjok bantal di kursinya.

Ia membenci pikirannya dan ia lebih benci lagi kalau itu jadi kenyataan.

"Awas aja kalo itu beneran terjadi, gue bakal rebus dia!" kesal Ghina yang mendadak dikejutkan dengan suara ketukan pintu.

"Siapa ya?" tanya Ghina langsung berjalan cepat menuju pintu dan buka. Ia terkejut saat melihat Kevin disana.

"Mas Kevin." ujar Ghina langsung berubah cemberut wajahnya memalingkan wajahnya.

"Kemana aja baru dateng?" tanya Ghina jutek.
"Dih ngambek gitu, bibirnya tuh liat dilipet lipet emangnya karpet." ujar Kevin menggoda. "Senyum dong, biar rumah ini jadi berseri-sering penuh bunga bunga berasa ada ditaman." ujar Kevin.

"Enggak bakal gue senyumin cowok tukang selingkuh! Pasang muka pait." kesal Ghina.

"Selingkuh? Apa lo bilang barusan? Selingkuh? Gue selingkuh ama siapa emang menurut lo? Tukang seblak langganan? Atau temen gue si Rio? Atau sama tiang listrik depan rumah?" tanya Kevin heran.

Ghina masih sebal dengannya. Ia masih enggan melihat ke arahnya. Terus mempertahankan egonya, Kevin berkata.

"Emang lo kok bisa berpikiran kayak gitu. Ah gue tahu, lo abis nonton drama selingkuh-selingkuhan jangan-jangan." tebak Kevin, ia tertawa mentah.

"Yaelah mending masak dibanding nonton kayak gitu. Nanti gue kasih resep masak." ujar Kevin.

"Apaan sih, gue udah pinter masak kali." ujar Ghina.

"Masa sih? Coba gue tanya jahe yang kayak gimana dan kencur yang kayak gimana?"

Dinikahi Mas IntelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang