Revan's POV
Setelah menutup sambungan teleponnya, Revan segera turun menuju ruang keluarga, dimana mama, papa, dan zeva serta tante Sania sudah berada disana.
"Revan, kemari, nak," perintah mama dengan senyum yang terus-menerus tercetak di wajahnya. Aku suka mama tersenyum, tapi tidak dengan alasan dibalik itu.
Aku pun berjalan mendekat dan duduk di samping mama, kini semua perhatian tertuju padaku.
"Kamu darimana kok lama sekali?" Tanya papa."Kamar," jawabku singkat dan datar.
Setelah itu mereka membicarakan kembali tentang rencanaku dan Zeva. Oh sungguh, itu sama sekali bukan rencanaku. Itu adalah rencana mereka dan Zeva. Aku korbannya.
Aku benci semua dialog disini hingga akhirnya kuputuskan untuk kembali ke kamar.
"Revan ke kamar dulu," kataku tanpa mempedulikan semua raut kaget--terutama papa-- yang menatapku.
Pintu kamar ku kunci. Saat ini mood-ku sungguh buruk. Aku merasa seperti siti nurbaya versi laki-laki. Sungguh dramatis.
Tapi aku tidak dapat berontak lagi. Tidak ada yang tau masalah ini kecuali keluargaku, keluarga Zeva plus Raka, tidak juga Fania ataupun Rinta--astaga aku sungguh frustasi.
Aku mengacak-ngacak rambutku geram, mencoba berpikir bagaimana jalan keluar dari semua hal bullshit tentang perjodohan. Tapi hasilnya nihil.
Aku rasa akan ada yang tidak sama lagi.
-
-
**unspoken**
Kharinta's pov
Semakin dekat dengan waktu ujian, rasanya aku semakin takut. Ketakutan itu semakin lama semakin nyata. Tinggal hitungan hari saja.
"Ta minjem penghapus," kata Revan. Kami memang sudah berbaikan, sebenarnya tidak ada kalimat apapun yang menyatakan kami damai. Tapi rasanya biasa saja, Fania juga sudah tidak masalah. Sekarang kami sedang berada dikelasku dan Fania. Revan datang untuk belajar bersama.
"Ta minjem pulpen,"
"Ta ada rautan ga?"
"Revan, balikin penghapusnya, gue mau make," protesku.
"Bentar-bentar,"
"Van, ish cepett" dia masih memakai penghapusku se-enak jidat. "Van―"
"............"
"Revan!― ih benci banget gue sama lo, denger ga sih, bodo benci gue benci," langsung kuambil paksa penghapus dari tangannya. Ia malah tersenyum aneh padaku. "Apa?"
"Hati-hati benci jadi cinta loh," katanya santai. Dan kuharap wajahku tidak merah, karena aku ragu melihatnya tersenyum seperti itu.
Fania langsung berdehem, memecah pikiran kami berdua.
"Maaf, ini soalnya gimana ya?" kata Fania.
-
-
**unspoken**
10 menit lagi waktu ujian berakhir. Ini adalah hari terakhir ujian. Semoga hasilnya bagus. Amin.
Tenotnenot... bel pun akhirnya berbunyi.
"Waktu sudah habis, silahkan letakkan lembar soal dan jawaban terpisah di meja masing-masing dan silahkan meninggalkan ruangan." intruksi pengawas. Kami semua menuruti dan berjalan keluar ruangan dengan harap-harap cemas, namun di satu sisi terasa ada beban yang telah lepas. Satu langkah menuju dunia baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNSPOKEN [edited soon]
Teen Fiction"Karena tidak semua kata hatimu dapat kau suarakan"