tiga

1.4K 73 7
                                    

"hai Fan, udah lama?" sapaku setelah sampai tepat didepan Fania.

Hari ini Fania sibuk di perpustakaan, gatau kenapa belakangan ini anak itu jadi super rajin. Bagus sih―tapi aneh. Gak kayak Fania yang biasanya pecicilan sana-sini sambil gosipin berita boyband atau model VS yang kadang gak kupahami.

"banget, ayok buruan keluar keburu oksigen gue habis"  ia menarik lenganku untuk keluar.

"baru juga gue nyampe" kataku.

"udah buruan, ga betah gue disini" ujarnya sambil terus menarik lenganku keluar ruangan.

Sepanjang perjalanan dari perpustakaan menuju kelas ia tak henti-hentinya menceritakan kejadian-kejadian lucu yang ia alami di perpustakaan, bukannya menceritakan tugas yang ia kerjakan di perpustakaan. Mulai dari ia salah ambil buku tiga kali, jatohin buku-buku sampai-sampai semuanya nengok terus dimarahin sama petugas perpustakaan, sampai ngeliat orang tidur pulas kayak hibernasi diatas tumpukan buku yang sepertinya sudah penuh dengan air liurnya itu. Huek. Dan semuanya menarik untuk didengar.

Kami berdua tak henti hentinya terbahak mendengar semua cerita yang Fania tuturkan. Sampai tiba-tiba mulutnya seolah terkunci rapat setelah kedatangan― Raka.

"kenapa Fan?" basa-basi banget.

Dia diam.

Dengusan pelannya masih terdengar olehku. Astaga anak ini patah hatinya lama banget?

"ooh, jadi lo nyibukin diri buat―ehm―ngelupain?" suaraku terdengar mengintrogasi. Dia menatapku tegang, seolah kau-tau-segalanya-Rinta. "ternyata bener ya"

"Ta― ini tuh ga semudah yang gue bayangin" jeda lagi. "gue―". Aku masih menunggu kalimat yang sepertinya masih digantung karena ia mencari kalimat penggambaran yang pas. "gagal moveon deh kayaknya"

Astaga. Demi palung laut dan lubuk laut. (maaf, efek geografi kemarin). Aku tidak pernah mengharapkan kata-kata itu keluar dari mulutnya sama sekali. Entah kenapa, aku jadi merasa sangat marah pada Raka, tapi itu sebenarnya juga tidak membantu sama sekali karena aku tidak dapat mengubahnya. Satu-satunya yang dapat ku ubah adalah, Fania.

"Fan―"

"Ta―gue―gangerti. Gue udah disakitin, gue hancur berkeping-keping ta" mulai deh drama-queennya. "tapi gue masih suka sama dia dengan kepingan-kepingan itu" Fania, please.

"yaelah Fan, ayo dong semangat, jangan buat gue merasa seperti ada di sinetron yang ada serigala-serigalanya gitu. Gimana kalo besok kita refreshing deh, jalan-jalan kemana kek gitu, liat cowok-cowok yang lebih kece daripada dia. Sekali-kali." Kayaknya kalimatku tidak membantunya sama sekali.

"yaudah deh Ta, gue ikut" atau sangat membantu.

**unspoken**

Aku tengah berada di ruang keluarga, menyaksikan kartun favorit sepanjang masa di televisi sebelum teringat janjiku pada Revan tadi siang setelah pulang sekolah.

Buru-buru aku beranjak mencari ponselku. Dimana benda itu, gumamku dalam hati.

Aku mencari benda mungil itu di selipan-selipan sofa. Tidak ada. Aku mencarinya lagi di tumpukan bantal-bantal. Tidak ada juga. Astaga, dimana?

"nyari apaan sih? sibuk banget?" Mas Razan tiba-tiba menghampiriku yang sedang bingung setengah mati akibat lupa-menaru-ponselku-sendiri.

"wooii" ia melempar salah satu bantal sofa ke wajahku.

"iih apaan si. gatau apa adeknya lagi ribet" gerutuku sambil terus mencari-cari keberadaan benda itu.

"lagian ngapain tuh ngorek-ngorek pinggir sofa, gak kurang kerjaan banget?" jawabnya sembari duduk di sofa. oh, ayolah, dia sangat tidak membantu sama sekali.

"eehh, ehh awas, orang lagi nyari hape, malah duduk disitu"

"hape?" tanyanya.

"iya, hape. Taugak? enggak? entar kalo ketemu deh dikasih tau" jawabku sekenanya. Dengan wajah super songong.

Bukannya marah karena ku ledek, ia malah tertawa terpingkal-pingkal. Memangnya ada yang lucu?

"lo tuh ya" katanya sambil mengacak-ngacak rambutku. "nih" ia mengangkat benda yang sedang kucari-cari itu tepat di depan mataku.

Dengan sigap, aku langsung mengambilnya. "lo umpetin dimana tadi?" tuduhku.

"yeeh, siapa yang ngumpetin. daritadi ada di meja kali. lo nya aja rabun ampe nyari di selipan sofa segala lagi. hahahaha" habis aku di bully oleh Mas Razan. Kali ini aku memilih untuk tidak berdebat, karena walau aku melakukannya pun aku yang kalah nantinya. Jadi, lebih baik tidak menyia-nyiakan energi dan waktu berhargaku ini.

Tanpa babibu, aku langsung menaiki anak tangga demi menuju kamarku.

"wey" sergah Mas Razan.

"apa?"

"dih, ga bilang makasih kek apa kek gitu ditolongin"

"penting banget?" jawabku sinis. Pijakan ke lima di anak tangga, aku berbalik. "makasih mas-mas" kataku.

"mas nya gausah dua kali bisa kan. dikira gue tukang siomay apa ya" gerutu kakakku. Aku tertawa mendengar responnya. Sampai-sampai aku lupa niat awalku. ohiya, menghubungi Revan.

Me : Wooiiii

Beberapa detik kemudian ia membalas. Cepet juga.

Revan : apaan?

Me : tumben cepet bales, pasti lagi nungguin ya *eyeslashes*

Revan : geer

Me : hahahaha. Judes amat. by the way, besok jadi gak?

Revan : jadi apaan?

Yaampun ni orang. Beneran harus dibawa ke dokter deh, masa gitu aja cepet banget lupa.

Ngaca Kharinta.

Astaga, bisikan apa itu.

Me : nyomblangin Fania sama Bayu pikuuunn!!

Revan : ngaca dulu deh sebelum nyebut pikun. Gue tuh cuma nge test lo doang

Me : masa?

Revan : iya

Hhh, kalo kayak gini pasti gaada unjungnya. Sudah hapal betul tabiat Revan. Akhirnya aku kembali ke topik karena malas berlama-lama kali ini.

Me : terserah. Besok kita ke GI aja ya?

Revan : jam?

Me : 11

Revan : gue jemput. Jangan lama

Me : oke.

Sepertinya sudah tidak ada balasan Line dari Revan.

Me : besok. GI. Jam 11. oke? oke.

Kupencet tombol send langsung ke dua penerima. Fania dan Bayu.

Setelah itu, ku matikan ponselku hingga mati total.

a/n: haloo..... vomments jangan lupa ya!:D terimakasih

UNSPOKEN [edited soon]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang