dua

1.8K 83 3
                                    

Pagi ini aku sudah bertengger di kursi halaman belakang rumah Fania. Seperti biasa, empunya rumah baru bangun pas aku datang. Dan sekarang ia sedang mandi. Akupun sekarang menunggunya sambil membaca majalah-majalah yang tergeletak di meja, menyusuri setiap artikel dari artis-artis ibukota dan mancanegara sambil menguyah pocky-ku.

Mataku menari menyusuri info-info terbaru yang dimuat majalah itu. Jujur saja aku tidak terlalu menyukai majalah atau infotaiment dan lainnya, karena menurutku itu hanya buang-buang waktu. Boleh-boleh saja sih, tapi tidak terlalu sering , berbeda dengan Fania yang selalu update banget soal itu. Mulai dari berita cowok-cowok ber skinny-jeans hingga cewek-cewek cantik nan elegan yang bajunya kurang bahan. Bahkan berita kucing tetangga yang hamil dan entah siapa bapaknya.

Dan aku hampir menelan pocky ku bulat-bulat saat melihat siapa yang dimuat di majalah itu.

"Kenapa Ta?" saat itu juga Fania muncul lalu  menghampiriku yang masih terbatuk-batuk. "nih nih minum" ia menyodorkan segelas air putih.

Aku meneguknya cepat. Kemudian menghela napas.

"kenapa deh lo?" tanyanya lagi.

Aku menunjuk salah satu kolom berita di majalah, masih tanpa suara.

"HAH?! Gasalah nih?" ia mengambil alih majalah dari tanganku dengan satu gerakan, dan wajahnya seolah menganalisis kebenaran berita itu. Setelah lama, ia bersuara dan mengangkat wajahnya dari majalah, lalu menatapku―horor. 

"Zevalin Ardhania?" katanya dengan nada bertanya

"Zevalin Ardhania” kataku mengulanginya dengan nada menjawab.

Beberapa saat kami saling menatap satu sama lain. Masih dengan pemikiran masing-masing. Hingga tiba-tiba suara cowok terdengar memanggil nama kami berdua.

"lo pada kenapa?" katanya, lalu menatap kami bergantian. Akhirnya aku menatap ke Fania yang sedang menatapku.

"gapapa" kata Fania akhirnya.

Kelihatannya tidak ada masalah dengan jawaban yang Fania berikan, karena Revan tidak bertanya lagi.

"eh bentar ya gue ambil minum dulu" Fania berdiri meninggalkan kami di halaman belakang rumahnya.

Aku sibuk mengerjakan kumpulan soal-soal untuk Ujian Nasional, tanpa kusadari, Revan tengah asik membaca majalah sambil memakan sisa pocky-ku.

"kok malah baca itu sih?" tidak ada respon.

“van―”. Masih diam.

“FAGARA REVANO!!”

"anjiir―” responnya sih kaget, tapi matanya menuju ke arah majalah.

"van―" panggilku. Astaga, ni anak perlu dibawa ke dokter THT deh kayaknya.

"Revan" ulangku.

"apa?" datar abis. Ga merasa bersalah banget ngacangin temennya yang manggilin dari tadi sampe teriak-teriak berasa penjual kacang goreng. Nyebelin.

"ck, elah" aku menyerah dan lebih memilih mengerjakan tugasku yang lain. Soal-soal ini sulit sekali. Serasa menggoyangkan isi perut, semoga saja aku tidak mengeluarkannya.

Beberapa detik kemudia Revan menaruh kembali majalah itu.

"Zeva artis?" katanya, tapi tidak menatapku, malah aku yang menatapnya.

"oh, pasti abis baca itu" jawabku.

"Zeva artis?" seperti tidak menanggapi kalimatku tadi, ia mengulang pertanyaannya. Membuatku sebal. Kemana sih Fania ambil minum kok ga balik-balik. Tuhkan malah nyalahin orang.

"gatau" jawabku ga kalah datar. Kali ini dia yang menatapku. Buru-buru aku menunduk, melihat kearah soal, tapi percuma. Aku tidak lagi konsentrasi. Nyebelin banget sih tuh anak.

"hai, sorry lama. Nih gue bikinin jus biar seger" Fania datang dengan tiga gelas jus di nampan yang dipegangnya.

"makasih Fan" kataku

"siip" jeda sejenak. "gue ketinggalan apaan nih?"

Baru aku membuka mulut ingin menjawab, tetapi terhenti karena Revan mendahului.

"gaada"

Oke.

**unspoken**

Sekarang aku sudah berada di rumah. Pulang dari rumah Fania, aku diantar oleh supir pribadi keduaku setelah Mas Razan― Revan

Sepanjang perjalanan tidak ada diantara kami yang bersuara. Entahlah, aku tidak tau kenapa. Yang jelas, hari ini aku merasa aneh sekali. Dan sebal tentu saja.

Aku memasuki kamarku yang terlihat baru dirapikan. Siapa lagi kalau bukan mama, karena aku hampir tidak pernah merapikannya. Menurutku akan ada kesan tersendiri dari kamar yang berantakan. Tapi, mama ya mama ia tidak tahan melihat sedikit saja ada berantakan di rumahnya.

Setelah itu, aku mengambil buku dari laci, membukanya dan mulai membuat guratan-guratan kata yang membentuk kalimat rancu pada setiap lembar hitamnya menggunakan tinta silver. Menceritakan apa yang ingin ku ceritakan. Bagiku, saat tidak ada Fania, buku ini adalah replika dirinya. Benda ini memang tidak bisa memberi komentar seperti Fania, tapi memang itulah yang kubutuhkan sekarang.


 a/n: pendek? yaudah lah-_- baru permulaan. maaffffiinnn yaaaaaaa~

UNSPOKEN [edited soon]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang