tigabelas

619 47 10
                                    

Hello guys! tadinya hampir gamau terusin ini. Tapi yah sayang juga udah di tengah-tengah. So, enjoy this one!

-

-

Raka's POV

"Halo, Rinta? Bisa ketemu?" Aku memberanikan diri untuk menelepon Rinta. Ini mungkin bukan suatu keputusan yang tepat, mengingat Rinta merupakan sahabat Fania--mantan kekasihku-- dan Revan--orang yang pernah ku celakai. Tapi aku harus meluruskan semua ini.

Aku berjalan ke luar kamar dan mengambil kunci motorku di nakas ruang keluarga setelah menutup sambungan telepon dengan Rinta. Untungnya perempuan itu mau menemuiku, meskipun aku tidak tau setibanya disana apakah aku akan dicakar atau dijambak-jambak atau keduanya. Hi mengerikan.

Langkahku terhenti saat melihat mama berjalan menghampiri.

"kamu mau kemana Raka?" Tanya wanita itu lembut.

"Ada urusan sebentar Ma" Jawabku. Mama tersenyum sekilas lalu berjalan mendekat.

"Tadi tante Sania telepon" Mama memberi jeda sebentar. Tante Sania adalah ibunya Zeva--which is, tanteku, "Katanya dia mau ke Aussie lagi besok. Kamu jagain Zeva ya" Aku mengangguk paham lalu pamit dan bergegas pergi.

Memang tidak ada yang tau bahwa aku dan zeva adalah sepupu. Sebenarnya kami tidak merahasiakannya atau apa, tapi memang tidak ada yang mempertanyakannya dan untuk apa pula mengumbar-ngumbar fakta bahwa aku adalah sepupu Zeva.

Dan itu yang ingin aku luruskan sekarang. Segala fakta yang tidak mereka tau akan ku ungkap sehingga segala tanya dan kesalahpahaman tidak bermunculan lagi. Ya, kuharap begitu. Setelah kupertimbangkan, lebih baik aku memulainya dengan Rinta karena kurasa aku tidak memiliki masalah pribadi dengannya. Kecuali, ia beranggapan bahwa masalah Fania dan Revan adalah masalahnya juga.

Aku sudah sampai di taman belakang sekolah. Taman ini bukan kawasan sekolahku, namun letaknya berdekatan. Kulihat Rinta sudah duduk di bangku dekat pohon besar, seragamnya belum diganti dan tasnya masih tersampir di bahu.

"Hai, maaf lama" Kataku membuka percakapan. Rinta menoleh ke arahku lalu tersenyum. Hal yang sungguh lebih baik dibanding mencakar atau menjambak-jambak rambutku.

Aku pun mengambil posisi di sebelahnya, "Lo belum pulang?" Tanyaku lagi.

Rinta menggeleng pelan, "Tadi ada piket kelas sekaligus urusin mading pas lo telfon, jadi gue ga pulang dulu"

"Sorry ya, gue ganggu" 

"Jadi, ada apa?" Tanya Rinta to the point.

"Gue mau ngelurusin semuanya"

Rinta tertawa sarkastik, "Udah keburu kusut banget. Mana bisa lo lurusin!"

Gue tau,

"Semua berawal dari kepergian bokapnya Zeva--" Tidak peduli raut kaget wajah Rinta yang kini memperhatikanku, aku tetap bercerita. Dari sudut mataku, aku tau Rinta akan mendengarkan semuanya.

"...waktu SD kelas 6, bokapnya Zeva--om gue-- meninggal..."

Tiba-tiba sebuah suara menginterupsi, "Jadi lo sama Zeva?--"

Aku mengangguk, "Ya, kita sepupu"

"Wow, okay go on" Perintahnya yang sepertinya mulai tertarik dengan topik ini.

Aku berdeham melegakan tenggorokanku, "Bokapnya meninggal dan Zeva sangat desperate. Secara, dia anak satu-satunya dan dia deket banget sama Om Tyo--bokapnya. Dari situ, nyokap gue selalu nyuruh gue nemenin Zeva karena mamanya sibuk banget. Mamanya Zeva itu model dan wanita karir yang hebat, Tante Sania ngurusin perusahaan Om Tyo setelah keperian beliau dan dia selalu bolak-balik luar negeri-Jakarta jadi Zeva sering sendirian, paling sama si Mbok doang dirumah...

UNSPOKEN [edited soon]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang