Aku sudah duduk di bangku taman, menunggu Revan datang. Tanpa pikir panjang, setelah aku menerima telepon dari Fania, aku langsung menghubungi Revan. Pikiranku kini campur aduk. Aku tau hal ini akan terjadi cepat atau lambat, namun sebagian diriku masih menolaknya.
"Hai, sorry lama," ia langsung duduk di sebelahku.
"Gapapa kok. Congratulation ya Van,"
Kulihat air wajahnya berubah saat aku mengucapkan kata itu.
"Thanks,"
Aku menyimpulkan senyum. Aku harap tidak ada keganjilan disana. Memikirkan Revan dan Zeva sekaligus membuat perutku melilit
"Zeva cantik, pasti udah bikin lo naksir,"
Revan terdiam cukup lama sampai akhirnya ia kembali buka suara.
"Ya," tapi lo tetep yang paling cantik, Ta.
Raut wajahnya tenang dan datar saat mengatakan itu. Sementara hatiku sudah mencelos mendengarnya. Aku ingin berlari sekencang-kencangnya, menyembunyikan diriku dibalik selimut sambil menangis hingga hatiku membaik.
"Gue denger-denger dia anaknya asik banget ya," gak kayak gue.
"Ya," tapi gak seasik lo.
"Lo tau segalanya tentang dia," seperti lo tau segalanya tentang gue.
"Cuma beberapa" gue gabisa ingat apapun saat gue mikirin lo.
"Yaa...semoga kalian awet ya" karena kita tidak pernah.
"Gue harap begitu" bagaimana dengan kita?
"Emm....gue harus pergi sekarang" sebelum gue mulai nangis.
"Yap gue juga" gue harap lo gak nangis
"Daahh" kapan lo liat gue, Revan.
"Hati-hati" gue gak pernah berhenti, Kharinta.
Kami yakin akan ada yang tidak sama lagi.
-
-
**unspoken**
Author's POV
Hari ini adalah perpisahan, mereka akan berlibur setelah 3 tahun menjalani suka-duka di SMA.
"Fan, Rinta mana?" Revan menghampiri Fania yang sedang asik berbincang dengan 2 orang lainnya. Tapi tidak bersama Rinta.
"Loh Van? Lo emang belom tau?" ia malah balik bertanya.
-
-
Revan berlari meninggalkan sekolah, sekarang ia tidak peduli lagi dengan rencana perpisahan dan sebagainya. Yang ia khawatirkan saat ini adalah perempuan yang menulis buku pada lembar hitam yang ia pegang sekarang.
Ia berlari, terus, sekuat tenaga.
"Jam 8 katanya mereka berangkat," suara Fania masih jelas terngiang. Sekarang jam 7.40. Semoga masih sempat.
Tidak ada ojek sepanjang jalan, dan akses ke rumah Rinta memang tidak ada angkutan umum. Tidak peduli. Kalau memang harus berlari, ia akan melakukannya.
"Maaf gue gak ngasih tau, soalnya kata Rinta, dia mau ngasih tau lo langsung―oiya dia nitip ini juga, katanya kasih ini pas perpisahan aja" Buku lembar hitam itu. Revan menggenggamnya erat hingga buku-buku jarinya memutih.
Kenapa anak itu? Kenapa tidak ada yang memberitahuku soal ini, batin Revan.
Ia masih berlari di sepanjang jalan sambil memengang erat buku itu. Ia tidak dapat menahan emosinya. Tidak dapat ia bayangkan bagaimana jika ia tidak sempat.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNSPOKEN [edited soon]
Teen Fiction"Karena tidak semua kata hatimu dapat kau suarakan"