"iya, iya ini gue sama Revan udah nyampe―" terdengar suara omelan di ujung telepon.
Aku sedang berjalan beriringan dengan Revan di GI, seperti yang sudah kami rencanakan. Sekarang sudah hampir pukul 11.45. Itu artinya, siap-siap diamuk Fania.
"―iya lo sama Bayu dimana Fan?―" aku melirik jam tanganku sekilas, kemudian menengok Revan yang masih anteng berjalan di sebelahku.
"iya sorry, sorry― biasalah, gangguan pencernaan" kataku tidak sepenuhnya bohong.
"oke gue kesana― iya tunggu― gak lama kok Fan―"
"GUE TUJES LO PAKE HEELLS 17 CENTI GUE!!!" aku menjauhkan ponselku dari telinga. Tidak mau gendang telingaku menjadi korban lengkingan suara Fania.
"beneran lo pake hells segitu?" tanyaku.
"ya enggaklah dodol, gue aja cuma make converse. udah buruan kesini" katanya dengan nada lebih pelan.
"iya-iya kita kesana nih"
"awas aja lo sampe lam―"
Tut.
Sebelum Fania mulai meneriakiku dari ujung sambungan lagi, lebih baik sambungannya ku putus lebih dulu. Aku menang 1-0, kawan.
Aku memasukkan ponselku kembali ke dalam tas slempang coklat yang kubawa.
"Apa katanya?" Tanya Revan. Sesuai janjinya, ia menjemputku tadi. Setelah hampir 15 menit menunggu, aku tak kunjung bangun.
Salahkan alarmku.
Ia tidak bersalah.
Aku sudah mengaturnya pukul 10.
Tapi kau mematikan ponselmu total malamnya, Kharinta. Ingat?
Baiklah. Aku selalu tidak menyukai perdebatan antara aku―dan pikiranku.
“udah di toko buku mereka” jawabku pada akhirnya.
"kenapa toko buku? kenapa gak bioskop kek gitu?" protes Revan.
"lah, mana gue tau?"
Untungnya tadi pagi Revan sabar menungguku. Meski ia terlihat cuek diluar, aku tau sebenarnya ia sungguh perhatian.
"gara-gara lo nih, jadi kehilangan banyak waktu kan kita" cibirnya.
Atau aku perlu menarik ucapanku tadi.
"yelah, biasalah tuan putri kan butuh tidur yang cukup" jawabku cukup asal untuk membuat Revan tertawa.
"haha putri apaan? putri malu?" ia mengacak-ngacak rambutku yang sudah kusisir rapi.
"woi Van, berantakan nih jadinya" aku berusaha merapikannya kembali. Menyisirnya menggunakan jari-jariku
"lagian nih ya, bangun jam segitu tuh bukan istirahat cukup" jeda sejenak. Ia menoleh ke arahku. "tapi itu mah kebo" kemudian ia tertawa lagi.
aku mencubit pinggangnya ,"sembarangan" kataku.
"eh-eh ampun iya ampun" ringisnya.
Tanpa sadar langkah kami sudah berhenti di depan tempat yang dimaksud.
Aku selalu menyukai aroma toko buku. Wangi kertas-kertas cetakan, dengan tinta yang melekat di atasnya. Bau buku-buku yang mampu menggoyangkan kantongku dan imanku untuk membelinya. Salah satu tempat favorit setelah kamarku dan kamar Fania.
"wei" tepukan di bahuku sontak membuatku menoleh kearahnya.
Fania dan Bayu.
Alhasil, aku hanya dapat tersenyum lebar, memamerkan deret gigiku agar tidak dimarahi oleh keduanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNSPOKEN [edited soon]
Teen Fiction"Karena tidak semua kata hatimu dapat kau suarakan"