"Dek Rin, udah jam berapa ini?" suara mama memanggil terdengar dari lantai bawah.
"Bentar Ma―"
Aku menuruni anak tangga dengan tergesa-gesa.
"Pagi pa" sapaku pada lelaki yang kusebut papa itu. Seperti biasa, ia sedang membaca koran sambil menyesap kopi paginya. Kebiasaan akibat kafein yang dari lama disesapnya.
"lama banget sih princess" itu dia Mas Razan. Kakak laki-laki ku yang sok ganteng. Nama lengkapnya Kharazan Dimas Aditama.
Namanya sengaja dibuat mirip denganku―atau namaku yang sengaja dibuat mirip dengannya. Secara, ia lahir 3 tahun lebih dulu dariku.
"Maaaa, aku berangkat dulu yaaa" kataku sambil berjalan ke ruang tamu, mengabaikan ledekkan kakakku.
"eh-eh makan dulu ini sarapannya" dan yang ini mamaku. Mama super cerewet dan paling bawel kalau urusan anaknya ini. Tapi menurutku, dia adalah wanita terhebat. Like mom like daughter― harusnya.
"duuh gabisa nanti telat ma―" aku mengikat tali converse-ku buru-buru.
"ayo, Mas Razan―nanti keburu gerbangnya ditutup"
Aku menenggak susu yang dibawa mama dengan dua kali tegukan. Rekor.
"daa paa, daa maa" setelah salim, aku mencium pipi kanan dan kiri wanita itu, kemudian berangkat sekolah dengan diantar kakak-ku.
samar-samar aku mendengar mama berkata "hati-hati".
**unspoken**
Dan―disinilah aku, di sekolah mungil tengah kota yang katanya favorit. Masa-masa putih-abu-abu yang amat menyenangkan selama dua tahun terakhir. And now, im grade 12!. Gak ada perubahan berarti tentang itu. Masih sama seperti dulu. Bedanya, aku harus mempersiapkan diri untuk Ujian Nasional tahun ini
"Haii Taa, udah liat papan pembagian kelas?" nah, ini dia sahabatku. Fania Sessil Utomo. Dia udah jadi sahabat deketku dari kelas 5 SD. Kemana-mana bareng. Katanya sih kayak amplop sama perangko.
"Belom nih, dimana sih?" ia menunjukkan arah dengan dagunya ke tempat kerumunan orang yang aku yakin sedang melihat papan pembagian kelas. "aduh males banget gue kesananya, liat deh desek-desek gitu" kataku.
"dasar lo ya. kita sekelas, tapi Revan enggak" tuturnya, setelah itu aku hanya ber –oh ria.
"makasih udah liatin nama gue" kataku lalu. Fania memang selalu pengertian.
Revan itu temen deketku sejak SMP, dulu dia duduk di sebelah bangku-ku. Jadi kami sering main bareng. Hobinya basket, dia pernah dicalonin jadi kapten basket, tapi gak mau. Gatau deh kenapa.
"Duduk sini aja yuk Ta" pinta Fania.
"Kejauhan kali dari papan tulis, gak keliatan. Depanan yok" ajak-ku kepada Fania yang sepertinya ingin duduk di belakang. Jarang sekali ia seperti itu. Biasanya ia akan memilih kursi di baris kedua atau ketiga, tapi sekarang ia malah memilih kursi pada baris ke lima. Satu baris dari baris terakhir
Akhirnya, setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, kami memutuskan untuk duduk di bagian tengah kelas―gak terlalu ke depan, gak terlalu ke belakang.
"tumben banget lo minta duduk di belakang" tanyaku setelah kami berdua sudah dalam posisi duduk.
"itu tuhh" ia mengatakannya sambil setengah berbisik padaku. Saat aku melihat arah pandangannya menuju ke Raka yang baru memasuki kelas dan menuju kursinya yang ternyata terletak di depan, aku tahu apa yang terjadi.
"yaelah, belom bisa move on?" sengaja aku sedikit mengeraskan volume suaraku.
"sssttt―pelan pelan Kharinta Deswana" ia memukul bahuku pelan. "kalo orangnya denger gimana? Mati gue ntar"
KAMU SEDANG MEMBACA
UNSPOKEN [edited soon]
Teen Fiction"Karena tidak semua kata hatimu dapat kau suarakan"