sepuluh

842 49 8
                                    

Sore ini, aku duduk ditepi jendela kamar. Menikmati suara rintik hujan yang membawaku pada lamunan. Masih teringat jelas di kepalaku perkataan revan kemarin. Segala hal jadi terasa berat di ingatanku. Ku sentuh kaca jendela yang sudah mulai berembun. Dingin. Seperti perasaanku kini.

**Unspoken**

"Kita kapan mau kerja kelompoknya ta?" aku dan fania sedang berjalan di koridor samping lapangan. Dari kemarin hujan terus membasahi ibu kota. Membuat kami terjebak di sekolah sampai rintiknya henti karena sialnya, tidak ada satupun dari kami yang membawa payung.

Sedari tadi fania masih membahas tentang tugas kelompok kami. Tapi pikiranku tidak tertuju padanya. Aku mengamati bulir-bulir hujan yang jatuh di atas lapangan, membuat genangan air disekitarnya bergerak membuat bulatan-bulatan. Rasanya tenang sekali bisa duduk diam ditemani hujan.

"WOOY KACANG BANGET NIH YAAAA..." Kututup sebelah kupingku menghindari kerasnya teriakan fania. "Kesambet lo ye gue ga nanggung".

"yaelah" kataku.

"yaelah doangg?! gue udah ngomong panjang lebar cuma lo tanggepin dengan kata yaelah?! bunuh gue di rawa rawa taa @#$%&*-=()"

"Lebay. Dah balik yok udah tinggal gerimis dikit doang" kataku sambil menarik tangannya untuk mengikuti langkahku.

Dalam perjalanan pulang, aku masih lebih banyak diam. Mungkin hal itu yang membuat fania heran dan risih. Akhirnya ia bertanya, "ta--"

"hm"

"lo masih kepikiran yang revan bilang soal zeva sama raka?"

"Hm" Aku berjalan menunduk, mengamati sepatuku menyusuri jalan yang tergenang air, melihat bayangan kami yang terpantul.

"Lo tuh ya, gue berasa ngomong sama manekin daritadi" aku masih diam, rasanya hanya ingin terus berpikir dan berpikir sampai-sampai aku tak memperhatikan jalan.

"Ta awas!!--" tiba-tiba aku merasa terdorong ke belakang. suara klakson mobil yang panjang dan keras menyadarkanku. Aku benar-benar ceroboh.

kulihat fania sedang meminta maaf pada si pengemudi. Setelah itu ia berbalik dan berjalan ke arahku.

"Kharintaa lo masih idup kaan?! Nih nih liat jari gue berapaa?!" ia terlihat panik. Seperti biasa.

"sepuluh"

"HAAHH?!?! RINTAA SERIUUSS"

"haha...iya dua. Gue becanda"

"anjir sialan lo, panik gue"

**Unspoken**

Sekarang kami sudah berada di kamarku--tepatnya di tempat tidurku. Dan fania masih menunggu jawabanku.

"Iya gue masih kepikiran fan, apa bener yang dibilang revan kalo zeva itu manfaatin raka? tapi buat apa?"

Fania terlihat seperti berpikir atau menimbang-nimbang apa yang ingin ia katakan, "gue juga gatau. Tapi yang gue tau zeva itu ambisius banget. Secara dia anak satusatunya"

"apa hubungannya?" tanyaku.

"anak pertama mendapat segalanya bukan?"

Aku berpikir, Mas razan memang disayang, kepentingan kuliahnya selalu diprioritaskan, kebutuhannya selalu cepat dipenuhi, tapi ia tidak seambisius itu, aku tidak yakin.

"tau darimana?"Kataku pada fania.

"Hipotesis, babe"

setelah itu pembicaraan kami tentang zeva-raka-dan revan dihentikan karena fania tidak ingin melihatku yang terus berpikir. Entah aku harus setuju atau tidak, tapi yang jelas ia terlalu pandai mengalihkan topik sehingga akupun ikut teralihkan. selalu tidak pernah keberatan untuk bicara dengannya tentang apapun.

UNSPOKEN [edited soon]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang