Bab XXIII - Bagian 2

158 34 7
                                    

Pukul sebelas malam, rumah itu sudah kembali sunyi. Panda sudah berada di kamarnya dengan pikiran yang begitu penuh. Ia sendiri tidak tahu bagaimana untuk bertemu dengan Love. Ia merasa hancur berkeping-keping mengenai kondisi Love saat ini. 

Depresi psikotik. Kanker otak stadium awal. Love harus merasakan itu semua sendirian. Di dalam benaknya, ia ingin menghancurkan orang-orang yang sudah membuat kehidupan Love begitu gelap. Saking penuhnya, ia termenung dengan mata yang berair.

Seseorang mengetuk pintu dan membuka perlahan. Tu masuk ke dalam kamar Pansa dan berjalan pelan mendekati Pansa. Tu tahu bagaimana perasaan Pansa saat ini, sehingga instingnya bergerak dengan menghampiri Pansa. 

"Mas... Kamu kepikiran Love?"

Pansa mengangguk pelan, membenarkan pertanyaan Tu. Di sampingnya, Tu menyenderkan tubuhnya. Tangannya mengarahkan kepala Pansa untuk bersandar pada pundaknya. 

"Mas, apakah kamu ingin bertemu Love?"

"Tu, saya tidak pernah memahami isi hati saya. Sudah lama sekali saya nggak bertemu Love. Namun, Tuhan mempertemukan saya dengan Love di persidangan. Rasa getaran di dalam dada itu masih ada."

"Mas, jangan denial ya kalau kamu masih memiliki cinta terhadap Love."

"Tapi, saya mencintaimu, Tu."

"Aku pun juga mencintaimu, Mas. Tetapi, kenyataannya, kita nggak berjodoh kan? Kita nggak memiliki ikatan apapun, tetapi kita saling membutuhkan satu sama lain."

Pansa terdiam. Ia tidak mampu berkata-kata lagi. Pansa merasakan perbedaan getaran suara yang diucapkan Tu. Ada rasa sesak dan kesedihan didalamnya, Pansa tahu itu.

"Mas, saatnya kita saling menuntun untuk menemukan kebahagiaan. Kamu tahu, aku dan Win sudah semakin dekat. Dia benar-benar meyakinkanku kalau ia serius denganku. Tetapi, ia takut padamu."

Setelah mendengarkan penjelasan Tu, ia teringat percakapannya dengan Win setelah rapat. Win meminta izin padanya untuk membawa Tu ke jenjang yang lebih serius. Pansa pun menerimanya dan meminta Win untuk menemui orang tua Tu. Win berterimakasih kepada Pansa dan menurut permintaan Pansa.

"Kamu tenang saja, Tu. Win sudah meminta izin pada saya. Semuanya akan baik-baik saja." Jawab Pansa. 

Tu merasa jauh lebih tenang. Dengan deklarasi itu, Tu mencoba untuk menerima kenyataan bahwa Pansa bukan lagi miliknya. Sudah saatnya Tu mencintai Win sebagaimana ia mencintai Pansa.

"Makasih banyak untuk segalanya, Mas. Sekarang, Mas fokus sama Love. Ia membutuhkanmu."

===

Pansa telah berada di rumah sakit jiwa. Ia memberanikan diri untuk datang kesini setelah seminggu ia pertimbangkan. Saat ia berjalan menuju ruang resepsionis, seorang perawat menyambutnya dengan ramah. 

"Selamat sore, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya ingin menjenguk Love Pattranite Lauraningrum."

"Anda siapanya pasien, Pak?"

"Saya temannya. Saya sudah meminta izin pada orangtuanya."

Perawat itu mengangguk paham dan meminta Pansa untuk menunggu. Tak berselang kemudian, perawat itu menghampirinya.

"Bapak, pasien sedang istirahat makan siang. Silakan tunggu di taman ya, Pak. Nanti perawat disini akan membawa pasien untuk bertemu Anda."

Pansa mengucapkan terima kasih. Saat ia berbalik, Pansa terkejut dengan sosok berjas putih. Wajahnya hampir mirip dengan Pansa, tetapi versi yang berbeda. Perempuan berjas putih itu tersenyum. 

"Halo, Pansa. Sudah lama kita nggak berjumpa."

"Fahlada..."

"Jangan memasang muka kaget begitu, mari kita mengobrol di taman. Sebentar saja. "

Pansa mengangguk dan mengikuti Fahlada. 

===

Saat di taman, Pansa dan Fahlada duduk di sebuah bangku panjang menghadap sebuah hamparan luas. Masing-masing memegang kopi, berusaha untuk menenangkan hati. 

"Ternyata, kamu dokter disini." Pansa membuka obrolan. 

"Yah, aku ditugaskan disini. Sekarang kamu sukses menjadi hakim kan? Sudah kamu injak-injak keluarga itu?"

Pansa memandang sepupunya lekat.  Begitu pula dengan Fahlada. 

"Aku memutus hubungan dengan mereka semua setelah pembagian warisan kakek. Kenapa kamu nggak datang waktu itu?"

"Buat apa? Toh, kamu tetap mengirimkan bagianku kepadaku. Aku sama sepertimu, Pansa. Muak memiliki keluarga gila harta seperti mereka. Aku lebih baik menjauh dan itu dengan persetujuan kakek. Sepertinya, hanya kamu dan Racha yang masih waras kan?"

Pansa memilih untuk diam. Fahlada mengerti arti diamnya.

"Kamu ingin menemui Love kan? Dia pasienku. Suasana hatinya labil dan sering delusi. Semoga dia nggak tantrum saat menemuimu."

Fahlada mengecek jam tangannya, sudah waktunya ia kembali bekerja. Fahlada pamit, bersamaan dengan hadirnya Love yang ditemani seorang perawat.

Perawat itu menuntun Love untuk duduk di samping Pansa, sama-sama menghadap lapangan. Love diam seribu bahasa dengan tatapan kosong, seolah-olah Love tidak menyadari kehadirannya. 

Pansa berdiri dan mulai berlutut di hadapan Love. Kepalanya mendongak sedikit untuk menatap wajah Love yang pucat, sedangkan Love tidak bereaksi.

"Halo, Love. Masih ingat dengan saya? Saya hakim yang menangani kasusmu."

Love bergeming, tidak menunjukkan reaksi apapun. Pansa pun melanjutkan bicaranya sambil menggenggam tangan Love dengan lembut. 

"Semoga kamu nggak lupa dengan saya dan masa-masa kita sewaktu di Dirgantara. Saya merindukanmu, Love."

"Love, mulai detik ini, kamu bisa bergantung dengan saya. Mungkin kamu perlu tahu, Nanon meninggal di penjara karena gagal ginjal. Berita ini belum ada, jadi saya hanya memberitahumu."

"Love, saya belum menikah kok. Jangan khawatir ya, saya akan menunggumu. Saya akan datang kesini seminggu sekali untukmu. Masalah penyakitmu, kita sembuhkan bareng-bareng." Pansa berpindah kembali untuk duduk di samping Love. 

"Love, masih ingat janji saya kalau saya ingin menikahimu? Saya masih memegang janji itu. Saya nggak peduli dengan pandangan semua orang karena kamu seorang janda. Saya juga nggak peduli dengan kedudukan saya selama saya bisa bekerja dengan baik. Maka dari itu, tolong lekas membaik ya?" Ucap Pansa seraya menahan air matanya. Pansa berusaha untuk menetralkan hatinya agar ia bisa berbicara lebih banyak pada Love. 

Selama Pansa berbicara, Love tidak menunjukkan ekspresi apapun. Pansa memilih untuk menceritakan kehidupannya sampai langit sudah menunjukkan semburat jingga. seorang perawat menghampiri mereka berdua.

"Mohon maaf, Bapak. Waktu besuknya sudah selesai. Saya izin membawa pasien ke dalam kamarnya." Perawat itu membantu Love untuk berdiri. 

"Tunggu sebentar."

Pansa berdiri di hadapan Love dan mengambil tangannya, "Minggu depan saya akan kesini lagi. Saya selalu mendo'akanmu." Ucapnya sambil mencium tangan Love dengan lembut.

Kemudian, perawat itu membawa Love masuk ke gedung. Fahlada yang sedari tadi mengamati dari kejauhan cukup terkejut karena Love tidak melakukan apapun. Sejauh ini, Love selalu menyerang orang-orang yang didekatnya, kecuali dirinya dan perawat yang merawatnya. Ia berpikir, Pansa dan Love memiliki hubungan yang tidak biasa. 

Datang, Pergi, dan KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang