Bab XVII

203 19 5
                                    

Setiap momentum apapun, Pansa tidak ingin dirayakan oleh banyak orang, kecuali keluarga dan teman-teman terdekat. Ia teringat terakhir kali Pansa dirayakan ketika ulang tahunnya ke 18 tahun bersama Ayah, Ibu, dan Racha di rumah tercinta. Sederhana saja, makan malam keluarga dengan banyak makanan. Itu saja.

Pansa telah menyelesaikan kewajibannya menjadi mahasiswa. Sidang skripsinya berjalan mulus, bahkan para dosen memuji hasil kerja kerasnya. Hal yang paling melegakan adalah Pansa tidak harus merevisi masukan dari dosen, sehingga ia hanya perlu merapikan karyanya. Hanya Namtan dan Ajrin yang menghadiri sidang skripsi Pansa, sebab Pansa selalu merahasiakan momen pentingnya.

Saat keluar dari ruangan, Tiga Ksatria Hukum itu saling berpelukan. Tak menyangka Pansa yang pertama sidang skripsi disaat kesibukannya sangat di luar nalar mahasiswa.

"Selamat, Pansa! Anjir, kamu kok bisa duluan sih sidangnya?! Nggak rela sumpah!" ujar Namtan.

"Lagipula, kalian berdua sudah dijadwalkan sidang bulan depan kan? Yang penting wisudanya bareng ini."

"Tetap saja, Pan. Tanggal lulus kamu kan lebih awal dibandingkan aku dan Namtan." Ajrin menjitak kepala Pansa.

"Sakit, Jrin!" Pansa mengaduh kesakitan.

Pansa mengecek handphonenya, terdapat beberapa notifikasi WhatsApp yang menumpuk. Salah satunya adalah Ciize, memintanya untuk segera kembali ke kantor.

"Saya pergi dulu. Ada hal yang mau saya selesaikan. Nanti malam jam 9 di Fight Club. Bills on me." buru-buru Pansa meninggalkan dua sekawannya yang masih bingung tanda tanya.

===

"Ada apa sampai Bapak jauh-jauh dari Jakarta kesini?"

Pansa telah sampai di ruangannya dengan pakaian cukup santai, berbeda dengan lawan bicaranya yang berpakaian necis. Pansa mempersilakan lelaki paruh baya untuk duduk, diikuti oleh Pansa yang duduk di singgasananya. Di ruangan itu, terdapat Ciize yang senantiasa di belakang Pansa.

"Bukankah kita tetap melanjutkan jual beli tanah 10 hektar yang di Rembang?"

Pansa mengerti arah pembicaraan yang dimaksud Bapak Sagara, rekan bisnisnya yang cukup licik.

"Sesuai dengan perjanjian jual beli di antara kita, Bapak sendiri melakukan wanprestasi karena Anda tidak melakukan apa yang sesuai diperjanjikan. Saya sendiri sudah membayar 5 miliar secara tunai tiga bulan yang lalu, tetapi sertifikat kepemilikan tanah itu belum diserahkan kepada saya." tegas Pansa.

"Tenang saja, sertifikatnya masih dalam proses, Bapak. Anda duduk tenang saja dan terima jadi." ucap Pak Sagara dengan politis.

Pansa memberikan kode kepada Ciize, kemudian Ciize memberikan beberapa berkas.

"Lalu, apakah Bapak bisa menjelaskan tentang ini?" Pak Sagara mengambil beberapa berkas dan membacanya. Tangan Pak Sagara bergetar dan membuang berkas itu ke sembarang arah.

Pansa berdiri dari kursinya, berjalan pelan sambil memandang Pak Sagara. Saat Pansa berada di belakang Pak Sagara, ia membisikkan sesuatu.

"Bapak diam-diam menyewakan lahan itu kepada pihak lain tanpa sepengetahuan saya. Jika Bapak tidak menyelesaikan ini dalam dua bulan, saya dapat menggugat Anda dengan Perbuatan Melawan Hukum dengan unsur penggelapan. Jangan berani-beraninya melawan saya, Pak. Saya tidak sebodoh itu." ancam Pansa dengan berbisik. 

Bapak Sagara menggebrak meja Pansa keras dan meninggalkan ruangan Pansa dengan penuh amarah.

"Ciize, saya minta tolong untuk mencari tahu tentang Pak Sagara dan perusahaan yang bekerjasama dengannya." perintah Pansa.

Datang, Pergi, dan KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang