Bab X

148 18 2
                                    

Kesibukan Pansa semakin menggunung. Pansa menatap iPadnya, melihat kalender jadwal yang berisikan coret-coretannya setiap tanggalnya. Tidak ada hari libur, kecuali Minggu yang selalu ia kosongkan untuk istirahat. Ia benar-benar stress, apalagi pekan ujian sudah di depan mata. Ia pun mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar. Ia menghela napas. 

Asbak rokok penuh dengan puntung dan abu di bawah tempat tidur, gelas-gelas kopi yang kosong, kasur dan selimut tidak beraturan, tumpukan buku yang berserakan, bahkan ratusan kertas berhamparan dimana-mana. Kamarnya bak kapal pecah. Pansa yang dulunya suka kerapihan, ia pasti akan teriak jika kamarnya berantakan. Kini, ia melihat kamarnya dengan tatapan biasa. Pansa heran dengan dirinya sendiri, ternyata ia masih bisa hidup di dalam kamar yang berantakan dan jorok. 

Matahari semakin naik. Cuacanya sudah panas, tetapi udara dingin masih menusuk kulit. Seseorang mengetuk pintu kamar Pansa. Ia berjalan dengan lelah, pintunya ia buka sedikit. Mas Nani yang mampir. 

"Ada apa, Mas?"

"Raden belum keluar kamar dari kemarin, ini saya bawakan makanan buat Raden. Tadi habis keluar sama istri." Mas Nani menyerahkan bungkusan plastik kepada Pansa. 

Pansa menghela napas, menyambut plastik itu sambil tersenyum. "Iya, Mas. Kemarin saya nggak masuk kuliah dulu. Matur nuwun sanget, nanti kulo dhahar. Stok makanan di dapur masih ada?"

"Masih, Raden."

"Tunggu sebentar, Mas."

Pansa menaruh bungkusan plastik itu di meja belajarnya, kemudian ia meraih dompet miliknya. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang, lalu kembali ke pintu. 

"Mas, hari ini ndak usah jaga kos dulu ya? Ajaklah Mbak Jami jalan-jalan, lagipula Mas Nani dan Mbak Jami pasti ingin berduaan. Ini uang pemberian saya, pakai saja untuk belanja kebutuhan istri. Ndak usah sungkan, hari ini saya yang jaga kos."

Mas Nani menyambut pemberian Pansa dengan sungkan, "Matur nuwun, Raden... Saya izin pamit dulu." Dalam hatinya, ia bersyukur memiliki majikan seperti Pansa dan ia sangat amat menghormatinya walau Pansa lebih muda daripadanya. Saking baiknya, Pansa memberikannya libur pun ia sungkan untuk menerima. 

===

Pansa merapikan kamarnya. Ketika kamarnya sudah cukup rapi, ia membawa ember berisikan gelas dan piring bekas ia pakai ke dapur bersama. Saat mencuci piring, terdapat perempuan yang sedang duduk di meja makan. Pansa sudah selesai mencuci dan mulai membasuh tangan. Ia mengambil sesuatu di kulkas, sekotak susu. Lalu, ia duduk bersama gadis itu. Melihat kecanggungan itu dari wajah itu, Pansa mulai berbasa-basi. 

"Bengong saja, Mbak?"

"Ehh... Ndak kok, Mas. Saya cuma bingung makan apa."

Pansa terseyum, "Disini sudah disiapkan sembako dan mie instan untuk anak-anak kost, Mbak. Kalau bingung, ambil saja dan tinggal masak. Sudah diantisipasi sama pemilik kos ini biar anak-anak kos ndak kelaparan."

"Wah, baik banget pemilik kos nya. Pantesan, kos ini selalu penuh. Nggak heran sih..."

Pansa tertawa kecil, "Kuliah di jurusan apa, Mbak?"

Gadis itu menegakkan badannya. "Saya di jurusan Kedokteran Gigi, Mas. Baru semester dua. Mas nya? "

"Saya anak FH, semester 4."

Gadis itu menjulurkan tangannya, ingin berkenalan dengan Pansa. "Namaku Tu, Mas."

Pansa menyambut tangan itu, ia sangat enggan untuk menerimanya. Tetapi ia menyambut tangan itu, "Nama saya Raden." Entah kenapa ia menyebut namanya yang biasa Mas Nani dan Mbak Jami panggil, bukan nama sebenarnya. 

"Raden? Wong ningrat kah? Hahaha... " canda Tu. 

Pansa tersenyum, tidak menanggapi. "Saya izin ke kamar dulu ya. Senang berkenalan denganmu, Tu."

Setelah Pansa pergi, Tu bertingkah seperti anak remaja. Mukanya sangat merah, menahan malu karena habis berkenalan dengan orang cakep.

"Duh, cakep banget Mas Raden... Apa gue ngejar aja kali ya? Eh, tapi kok mukanya nggak asing? Ah, bodo amat deh." Gumam Tu. Ia beranjak untuk mengambil mie dan telur, berencana untuk memasak.

===

"Halo, Racha. Gimana kuliahmu?"

"Kakkkk... Aku lelaaah... Tugasnya banyak banget pake parah." teriak Racha dari ujung telepon. 

"Baru juga semester dua, sudah ngeluh. Kamu udah dapet teman belum?"

"Udah kok udah, temen-temen di kampus pada baik kok.  Kakak sendiri gimana? Kakek gimana?"

"Semua aman terkendali kok, Racha. Kakek menanyakan kabarmu, beliau ingin kamu memainkan pianonya lagi."

"Huft, nanti Racha sempetin ke Jogja deh. Aku disini masih keteteran kuliah, kak. Masih adaptasi."

"Dinikmati saja kuliahnya, Racha. Kalau capek, kan bisa jalan-jalan. Kakak sudah fasilitasi mobil dan motor lho. Jangan lupa apa-apa tuh bilang ke Mas Pakin dan Mbak Jan kalo pulang telat. Kakak nggak bisa awasi kamu terus, Racha. 

"Ckck, iya, kakakku tersayang..."

Tiba-tiba Pansa ingin iseng ke Racha, "Racha, mengenai profit resto dan kos-kosan..."

"KAK PANSA, BISA NGGAK OMONGIN ITU NGGAK?! HAYATI LELAHHH...." rengek Racha.

"Hahahaha, nggak kok. Kakak cuma iseng."

Ada keheningan sesaat. Racha memulai obrolannya. 

"Love ngekos di tempat kita, kak."

Pansa terdiam. Ia sangat kaget dengan perkataan Racha. Ia menengok pajangan salib di tembok kamarnya, terheran-heran bagaimana Tuhan menciptakan plot twist di hidupnya. 

"Halo? Halo, Kak? Kak Pansa?"

"Eh? Iya, Racha. Oh ya? Gimana kabar Love, Racha? "

"Dia semakin cantik lho, kak... Emang kakak nggak mau ketemu calon istri? Eh?"

Intonasi Pansa mulai berubah, sedikit serius. " Kamu kasih tahu apa aja ke Love tentang kakak, Racha?"

"Hmm... Racha cuma bilang kakak di Jogja dan bilang kalo kakak baik. Emang kenapa?"

"Kamu belum kasih kontak kakak ke dia, kan?"

"Belum, tapi rencananya mau ngasih."

"Jangan dulu." titah Pansa. 

"Lho, kenapa, kak? Kalian udah lama lho nggak kontakan. Kakak lupa kah gimana kondisi Love pas aku dapetin info dari sahabatku yang lain?"

Pansa terdiam, ia tahu gimana Love seringkali menangisi dirinya setelah ia pergi.

"Pokoknya jangan dulu. Kamu jangan kasih kontak kakak ke Love. Nanti biar kakak hubungi dia, tolong kirimin nomor wasapnya ya?"

"Huh, iya-iya. Yaudah, aku mau ke kampus dulu ya. Nanti aku kabari lagi. Dadah, kakak! Love you."

"Hmm." Pansa mematikan telepon. 

Setelah tahu keberadaan Love, ia sangat senang. Kali ini, ia harus bertemu dengan wanitanya yang sangat ia cintai. Ia pun mulai menyusun rencana untuk bertemu dengan Love. Ia pun menelpon seseorang. 

"Halo? Ini saya, Pansa Vosbein Atmadja."

"..."

"Rumah itu masih dibersihkan ndak ya?"

"..."

"Bulan depan, saya berencana untuk liburan. Tolong disiapkan ya?"

"..."

"Nanti saya liburan dengan adik saya dan beberapa teman dekat. Untuk tanggalnya, nanti saya beritahu. Rencananya, liburannya tiga hari dua malam."

"..."

"Oke, makasih ya. Nanti kabari ke saya kalau ada apa-apa." Pansa mematikan teleponnya. Kali ini, Pansa ingin membuat pertemuannya dan Love istimewa. 

Datang, Pergi, dan KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang