Bab XVI

218 20 3
                                    

Kedekatan Pansa dan Tu telah berlangsung cukup lama. Tu yang telah bersabar mengingatkan Pansa untuk menyelesaikan kuliahnya akhirnya berbuah manis. Besok adalah hari penentuan Pansa untuk menguji skripsinya. Jadwal Pansa lebih awal dibanding Namtan dan Ajrin dua minggu karena mereka masih ada perbaikan dalam analisisnya.

Malam hari, Pansa sedang bersantai di ruang tengah indekos, menonton penghuni lain sedang bermain pingpong. Suasana indekos cukup damai karena sesama penghuni sudah saling kenal dan akrab. Pansa sedang ditemani oleh Mas Nani dengan singkong rebus dan kopi hitam. Asap rokok mengebul di sela jari-jari Pansa dan Mas Nani. Pansa tidak ingin dirinya stress untuk besok, sehingga ia ingin bersantai.

Tu baru saja pulang dari kampusnya dengan wajah masam. Ia hendak menuju kamarnya, ingin rebahan di kasur empuknya.

"Tu..." Pansa memanggil. Tu menoleh, terdapat Pansa yang sedang duduk di sofa sambil tersenyum. Tu hanya membalasnya dengan anggukan dan masuk ke dalam kamarnya. Ia tidak memiliki energi lebih untuk Pansa.

Akhirnya, Tu bisa merasakan kasur empuknya. Merenggangkan badan karena kuliahnya. Tadinya ia seperti mayat hidup, tetapi sudah lebih seperti manusia karena habis mandi. Ia ingin menangis karena tugas dan laporannya tidak kunjung selesai, sehingga ia harus bergadang untuk menyelesaikannya.

Suara ketukan terdengar. Tu menghela napas dan berjalan gontai untuk membuka pintu. Saat ia membuka, Pansa berdiri dengan nampan berisikan nasi goreng, buah anggur, dan teh hangat. Tu terharu dengan act of service yang dilakukan Pansa.

"Tu, saya bawakan makanan untukmu. Kamu belum makan kan?" Tu mengangguk, membiarkan Pansa masuk dan menaruh nampan itu di atas mejanya.

"Dimakan ya? Saya ke ruang tengah dulu." Saat Pansa berbalik, Tu menahan tangannya.

"Mas, bisa temani aku dulu?"

Pansa berpikir sejenak, kemudian ia menganggukan kepala. Pansa duduk di dipan kasur Tu, sedangkan Tu duduk di kursi seberang Pansa dan memakan nasi goreng.

Pansa hanya memperhatikan Tu. Ia menyadari bahwa Tu adalah gadis yang sangat baik dan tulus. Ia juga meneliti gurat wajah Tu yang memiliki campuran Tiongkok dan Thai, menampilkan kecantikannya. Tu tidak menyadari bahwa Pansa memperhatikannya, ia hanya memikirkan bagaimana kuliahnya dan masa depannya. Makan sambil melamun, tak sadar air matanya menetes.

Pansa dengan sigap meraih tisu dan mengelap pipi Tu. Tu tersadar, sedari tadi ia hanya melamun.

"Eh, Mas. Maaf, tiba-tiba aku mewek pas lagi makan. Hehe..." cengir Tu. Pansa hanya diam. Ia mengambil air minum dan meminta Tu untuk meminumnya. Pansa mengajak Tu untuk duduk di sebelahnya, di atas dipan kasur.

"Kamu kenapa, Tu? Hmm?" Pansa memberikan kenyamanan dengan mengelus kepala Tu. Tu memeluk Pansa, ingin menumpahkan kesedihannya.

"Mas Pansa, aku lelah. Aku lelah kuliah kedokteran, belum lagi aku harus koas setelah lulus. Belum lagi aku harus magang. Aku hanya lelah dengan rutinitasku." curhat Tu sambil terisak. Pansa hanya diam, mendengarkan keluh kesah Tu.

"Kamu suka nggak sama jurusan yang kamu ambil?"

"Aku suka, Mas. Sudah jadi cita-citaku."

"Kamu suka nggak kuliah disini?"

"Suka. Aku senang kuliah disini, Mas. Banyak ketemu teman-teman yang dari luar Jakarta. Di Jogja, aku senang bisa jalan-jalan. Apalagi kalau bosan."

"Kalau begitu, jangan pikirkan kesulitan yang kamu rasakan saat ini. Toh, ada kesenangan yang sedang menunggumu. Kalau kamu merasa kesusahan dalam kuliahmu, kamu bisa minta bantuan kakak tingkat. Kamu juga nggak perlu sungkan meminta bantuan saya ya? Besok saya sidang, setelah itu saya punya waktu luang. Jadi, saya bisa temani kamu. Oke?" jelas Pansa.

Datang, Pergi, dan KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang