Bab XVIII

175 17 1
                                    

"Pansa, berikut adalah data-data perusahaan milik Pak Sagara beserta perusahaan yang bekerjasama dengannya." Laki-laki berkacamata menyerahkan sejumlah berkas map hitam kepada Pansa. Di dalam ruangannya, terdapat tiga orang yang tengah berkumpul, termasuk Pansa dan Ciize.

"Bisakah kamu menjelaskan kepada saya, Win?"

Win membenarkan kacamatanya, "Perusahaan Pak Sagara sendiri seringkali bebas dari hukum, Pak. Perusahaannya sendiri beberapa kali digugat oleh perusahaan kompetitornya atas wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Akan tetapi selalu berakhir damai melalui mediasi pengadilan. Kalau dilihat dari prosedur hukum, mungkin tampak biasa saja, hanya saja..."

Win ragu untuk melanjutkannya. Pansa dan Ciize mengerutkan dahi, penasaran dengan cerita selanjutnya.

"Hanya beberapa waktu setelah menyelesaikan kasus itu, sering ada kasus pembunuhan staff penting di perusahaan kompetitornya yang pernah berhubungan langsung dengan Pak Sagara. Tetapi, berita itu tidak tersiar lama."

Pansa dan Ciize saling memandang, memberikan sinyal bahwa memberikan pemikiran yang sama.

"Lalu, gimana dengan struktur perusahaannya, Win?" ucap Ciize.

"Setelah saya telusuri, Pak Sagara hanya sebagai komisaris. Untuk direktur, perusahaannya dipimpin oleh Pak Nanon, putranya. Saat ini, perusahaannya sedang bekerja sama dengan beberapa perusahaan sebagaimana telah saya list-kan. Salah satunya adalah Pattra Company yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan Pak Sagara."

Pansa memeriksa kembali berkas-berkas yang diserahkan kepada Win. Seketika, ia berpikir cukup lama. Ia pernah mendengar nama Nanon, tetapi ia sendiri lupa dengan sosok itu.

"Baiklah, sudah sebulan ini, Pak Sagara belum menghubungi kita terkait jual beli tanah itu. Tolong follow up orang itu, Win. Jika tidak ada kemajuan, kita gugat beliau. Tim legal bersama saya akan diskusi untuk mempersiapkan surat gugatan." jelas Pansa.

"Baik, Pansa. Saya pamit undur diri."

Win meninggalkan ruangan, hanya Pansa dan Ciize yang tersisa. Pansa tenggelam dalam pikirannya, sehingga Ciize harus menyadarkannya.

"Heh, Pansa. Apa rencanamu?"

"Sesuai dengan instruksi tadi, Ize. Kita bertindak."

"Kita harus hati-hati, Pansa. Aku nggak mau ya kalau perusahaan kita ada kasus pembunuhan. Mas Krist akan menyalahkanmu karena aku disini."

"Tenang saja, semuanya akan baik-baik saja."

Ciize menghela napas. Ia berpindah dari kursi menuju sofa yang empuk. Ia mengambil air minum yang sudah tersedia di meja, meminumnya dengan perlahan.

"Pan, gimana hubunganmu dengan Tu?"

Pansa melirik Ciize cepat. Sorot mata Ciize begitu besar dengan rasa ingin tahunya.

"Saya dan Tu baik-baik saja, kami semakin dekat kok."

Ciize tersenyum lebar, "Well, good news for me. Kalau kamu dan Tu bersama, congratulations."

Pansa kembali mengerjakan pekerjaan, tersenyum tipis karena mendengar itu dari Ciize.

"Thanks."

===

Akibat beberapa proyek kerjasama yang ditangani Pansa, membuat Pansa lembur hampir setiap hari. Hari sabtu dan minggu pun ia pakai untuk bekerja tanpa melibatkan karyawannya. Meskipun ia merupakan pemimpin perusahaan, ia tidak ingin mengganggu waktu rehatnya karyawannya.

Tepat pukul sepuluh malam, Pansa tiba di indekos kesayangannya. Mas Nani dan Mbak Jami menyambut hangat kepulangan Pansa. Namun, ia tidak menyangka adik kesayangannya sedang duduk manis di ruang tengah sambil mengobrol dengan Tu. 

"Racha, tumben banget kamu kesini."

Racha dan Tu menghentikan obrolannya. Pansa duduk berhadapan dengan dua perempuan itu. Tak lama, Mbak Jami menyuguhkan secangkir teh vanilla kesukaan Pansa.

"Baru segini kakak baru pulang? Tu sering cerita sama aku kalo kakak suka pulang larut."

"Mau bagaimana lagi? Banyak proyek yang kakak handle. Lagipula, Pakdhe Darman sudah banyak membantu kakak."

Racha menghela napas berat. Ia merasa bersalah karena dirinya tidak membantu Pansa mengelola perusahaan yang dihibahkan oleh kakeknya. Pansa dan Tu saling melirik.

"Aku dan Tu berencana untuk bantu perusahaan, kak. Aku akan buka kantor di Semarang, kebetulan sebelah kos kita ada rumah kosong. Aku mau sewa dengan tabungan profit restoran." pinta Racha. 

Sambil menyesap minuman, Pansa tersenyum dan memperhatikan Racha dan Tu. 

"Sebenarnya, kakak sudah merencanakan itu. Kalau kamu ingin bantu kakak, lebih baik kamu tetap urus indekos dan resto saja. Itu sudah sangat banyak dan merepotkan, kakak nggak mau kamu menelantarkan kuliahmu."

"Tu,  saya tahu kamu khawatir dengan saya. Tetapi, bukankah kuliah kedokteranmu sudah menyita banyak waktumu? Belum lagi koas dan magang kan? Tenang saja ya, saya baik-baik saja." Lanjut Pansa. 

Racha dan Tu tidak bisa berkutik. Sebelum berbicara hal lain, Pansa merasakan adanya keragu-raguan untuk menanyakan hal yang sensitif bagi ketiga orang yang mendiami ruangan itu.

"Bagaimana kabar.... Love?"

Racha terpaku. Dalam lubuk hatinya, ia ingin membicarakan hal ini kepada Pansa. Alasan kedatangannya ke Jogja bukan semata-mata ingin bertemu kakaknya, melainkan membahas tentang keadaan Love. 

Akan tetapi, Racha mempertimbangkan perasaan Tu. Ia tahu hubungan Tu dan Pansa yang kini mulai hidup bersama. Ia tidak ingin menghancurkan hubungan keduanya. Bagi Racha, Tu adalah sosok yang pantas untuk menjadi pasangan sehidup semati Pansa. 

"Akhir-akhir ini, Love sering menghindar aku, Kak. Love yang sekarang sudah berbeda dibandingkan yang dulu. Sekarang, Love ambil percepatan dan segera menyelesaikan studinya. Sejak menikah, ia selalu dikawal. Jadi, Racha sudah nggak bisa ngobrol sama Love."

Tu menambahi, "Beberapa waktu lalu, aku dapat kabar dari ayahku kalau Love sering ke rumah sakit tempat ayah kerja."

Pansa menaikkan alisnya, "Ada apa dengan Love, Tu?"

"Nggak tahu, ayah cuma bilang kalau Love suka ke rumah sakit."

Pikiran Pansa kian berat. Ia menyesal menanyakan hal itu kepada Racha dan Tu.

"Sejak lama ingin menanyakan ini. Kalau boleh tahu, siapa suami Love, Racha?"

"Nanon, anak dari Pak Sagara. Karena itulah, Racha kesini untuk ketemu Kak Pansa."

Datang, Pergi, dan KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang