02. Sang Penari

195 35 7
                                    

Brak!

Nino terperanjat mendengar suara pintu yang ditutup kencang. Ia yang tengah menyapu itu pun segera berjalan ke arah depan, dan menemukan sang ayah yang terlihat penuh lebam di wajah serta berjalan terhuyung-huyung.

"Astaga," gumam Nino pelan, buru-buru ia mendekat dan membantu orang tua satu-satunya itu untuk duduk di kursi.

"Ayah?! Ayah kena—"bibirnya mengatup rapat tiba-tiba sebelum ia menyelesaikan ucapannya. Bau alkohol yang menyengat sudah cukup membuat Nino sedikit paham dengan apa yang terjadi sebelum ini. Alih-alih penasaran, ia malah segera beranjak ke dapur untuk mengambil segelas air minum untuk sang ayah.

Jam berdenting lemah saat ia berjalan menuju belakang rumah. Baru pukul sembilan malam, agak aneh dirasa untuknya yang mendapati sang ayah sudah pulang. Padahal biasanya lelaki itu baru akan kembali ketika hari sudah beranjak pagi.

Apa yang sudah terjadi?

"Diminum dulu airnya, Yah," ucap Nino sembari menyodorkan gelas yang ia bawa.

Tak ada jawaban, ayahnya hanya diam namun bibirnya menggerutukan sesuatu yang entah apa, hingga akhirnya Nino pun meletakkan gelas yang ia bawa ke meja.

"Mm ... apa Ayah lapar?" tanya si anak kemudian, dan detik berikutnya tatapan sang ayah pun beralih ke wajahnya, membuatnya sedikit terperanjat lalu tertunduk takut. "Aku sudah masak makan malam, Ayah mau makan?" cicitnya kecil.

Lima tahun berlalu, sejak sang ibu meninggal dunia akibat komplikasi penyakitnya sendiri, Nino merasakan perbedaan yang begitu nampak kentara pada ayahnya ini. Beliau yang dulu ia kenal baik dan humoris berganti menjadi pemarah lagi pemabuk.

Mencium alkohol yang menyengat dari tubuh sang ayah sudah cukup membuat Nino sedikit cemas karena takut akan dijadikan bulan-bulanan dari amarahnya lagi. Terlebih sekarang pulang dengan wajah babak belur begini.

Namun diluar dugaan, alih-alih memukul wajah sang anak seperti yang sudah-sudah lelaki itu malah menanyakan sesuatu yang membuat Nino terkejut mendengarnya.

"Kamu masih mengajar tari di sanggar kumuh itu?" tanyanya tiba-tiba.

Nino tertegun seketika dan terdiam beberapa saat sebelum menganggukkan kepala meski sedikit ragu. "Iya ... masih, Ayah."

"Apa tidak muak mengurus anak-anak kecil yang rusuh dan susah diatur begitu?" tanya sang ayah lagi. "Kenapa tidak cari pekerjaan lain?"

Besar kecilnya Nino sadari kalau sepertinya ayahnya ini sedang tidak mabuk walau tercium bau alkohol yang menyengat dari tubuhnya kini.

"Aku sudah mencoba cari kerjaan lain di beberapa situs, tapi belum ada panggilan," jawab Nino pelan.

Lelaki paruh baya tersebut mendecih pelan, lalu menyahuti, "Apa sih yang bisa diharapkan dari—" Namun belum sampai kalimatnya terucap sempurna ia sudah lebih dulu terdiam.

"Dari?" Nino bergumam tak mengerti.

"Lupakan," kelit sang ayah enggan menjawab. Ia sepertinya tengah menyembunyikan sesuatu. Tangan itu kemudian mengambil air di gelas yang dibawakan anaknya sebelum meminumnya hingga tinggal setengah.

"Bangunlah," titahnya tiba-tiba pada si anak yang nampak duduk melantai di seberang meja.

"Ha?" Nino agak terkejut, tapi ia akhirnya menurut; bangun dari posisinya dan berdiri tegap dengan kedua tangan bertautan di depan.

"Kamu bisa menari tiang?" tanya ayahnya lagi, kali ini topiknya berganti.

"Menari ... tiang?" Tapi Nino tak mengerti.

Red Angel Dancing On The Bed [Banginho]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang