Krieeeett ....
"Je, aku numpang tidur di sini, ya. Di kam—" belum sampai selesai bicara tiba-tiba Frinz terdiam di ambang pintu kala melihat ada orang lain di kamar si bungsu. "Bunny?" panggilnya seketika.
Nino yang sedang asyik menulis sesuatu di buku pun menoleh ke arahnya, menautkan tatapan sesaat lalu tersenyum tipis. "Hi, Frinz," sapanya pelan.
"Kamu kok di sini?" Frinz masuk dan mengernyit bingung, ia tak mendapati si kecil Jeo di sana. "Mana adikku?"
"Jeo sedang ke dapur mengambil kue katanya. Aku mulai hari ini mengajar Jeo di sini," sahut Nino.
"Mengajar Jeo? Kenapa kamu jadi mengajar adikku?"
"Itu karena ada orang yang mau mencelakakan Jeo sewaktu pergi ke sekolah kemarin. Tuan Chris bilang lebih baik Jeo sekolah di rumah saja, dan Nino menjadi guru bimbingannya."
Tiba-tiba Liza muncul di belakang bersama dengan membawa nampan berisi kue serta jus. Ia lantas meletakan bawaannya ke atas meja sebelum pergi lagi keluar.
"Tapi kenapa Nino? Kenapa bukan memanggil guru privat khusus saja?" tanya Frinz, tapi kemudian ia meralat ucapannya pada si manis. "Jangan tersinggung, aku bukan menolak dirimu menjadi guru bimbingan, tapi adikku itu agar rewel dan aku takut akan merepotkanmu," pungkasnya.
"Aku yang merekomendasikannya pada Tuan, karena Jeo bilang dia menyukai Nino," sahut Liza.
"Bukan masalah, sebelum Jeo pun aku sudah terbiasa mengajar anak kecil," jawab Nino.
"Oh? Kamu guru juga?"
"Ya. Aku mengajar membaca, menulis, berhitung dan juga instruktur tari."
"Frinz! Kamu sudah pulang, ya?" seru si kecil yang tiba-tiba muncul sambil masuk dan membuka pintu kamarnya lebar-lebar.
"Ya, aku baru pulang tadi. Ini aku banyak membelikanmu oleh-oleh," ucap si tengah dan ia memberikan sebuah paper bag yang dibawanya.
"Apa ini? Kamu pemotretan di luar kota dan pulang membawakanku banyak camilan?" Jeo tersenyum lebar melihat ada banyak makanan kecil beraneka warna di dalamnya.
"Sebaiknya kamu sembunyikan, atau Signora Jennie akan marah melihatmu makan cemilan sebanyak itu," bisik Frinz yang seketika membuat adiknya panik.
Frinz lantas duduk di samping Nino, mengabaikan Jeo yang kini sibuk mencari tempat teraman agar bisa menyembunyikan makanan kecil oleh-oleh Frinz itu tanpa diketahui si nyonya kepala pelayan.
"Bagaimana lukamu?" tanyanya kemudian.
"Sudah membaik, hanya masih sedikit sakit jika dibawa berjalan," sahut Nino sembari melanjutkan pekerjaannya; membuat huruf dengan titik-titik di buku tulis ajang si bungsu melatih tangannya agar lancar menulis.
"Aku minta maaf untuk itu," ucap Frinz.
"Untuk itu?" Nino mengernyit bingung. "Untuk yang mana?"
"Membedah kakimu."
"Kamu terpaksa melakukannya, aku memahami posisimu. Kalau aku jadi kamu mungkin aku akan melakukan hal serupa," jawab Nino. "Jeo, ayo coba lagi," panggilnya kemudian pada si kecil.
"Tunggu sebentar!" pekik si empunya nama, masih bingung mencari celah yang pas untuk dijadikan tempat persembunyian makanannya.
"Aku merasa bersalah denganmu. Aku belum pernah melakukan pembedahan secara langsung karena aku masih belajar." Frinz bergumam. "Aku harap kamu tidak membenciku," tambahnya.
"Aku tidak membencimu. Kalaupun ada orang yang harus kubenci ya cuma satu," pungkas Nino.
"Chris?" terka Frinz, tapi tak dijawab sama sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Angel Dancing On The Bed [Banginho]
Fanfiction"You are devil! Fvckin devil!" "Too much info ... the devil is real, and he isn't a little red man with horns and a tail. He can be beautiful---like me---, because he's a fallen angel and he USED to be God's favorite!" "Go to hell!" "Oh, Bunny ... w...