05. Sebutir Peluru

191 36 6
                                    

Lapar dan sakit, Nino benar-benar tak tahu harus bagaimana saat ini selain berusaha lari dari rumah hitam tempatnya disekap. Ia ingin pulang. Ia ingin berbaring di tempat tidurnya yang keras seperti papan kayu, dan menyantap mie rebus dengan saus cabai hingga perutnya mulas. Ia hanya ingin itu. Tapi takdir Tuhan justru membuatnya harus bersusah payah menerjang ribuan batang pohon di tempat antah berantah yang Nino sendiri tak tahu di bagian mana dari kota Stayville saat ini.

Kaki polos tanpa alas, gemerincing gelang dan perhiasan mencolok, pakaian tipis yang tak menghalau udara dingin sama sekali, ditambah buta arah dan tak tahu harus ke mana, Nino benar-benar tersesat dalam keadaan yang sungguh mengenaskan. Sesekali ia tergelincir atau terpeleset karena menginjak tanah yang licin, tapi beruntung tak sampai benar-benar terjatuh.

Lari, lari, lari, lari sejauh mungkin, lari sampai ia menemukan seseorang atau apa pun yang bisa menolongnya nanti. Nino benar-benar putus asa saat ini.

Lelehan air mata terus jatuh mengalir di pipinya, rasa sakit di tubuh akibat pukulan Chris tak sebanding dengan rasa kecewa yang ia rasa kendati perangai sang ayah.

Benar-benar tak bisa dipercaya, bagaimana mungkin lelaki yang seharusnya melindungi dan mengayomi anaknya sendiri justru dengan tega menjualnya pada lelaki asing hanya karena ... hutang?

Nino sudah tak lagi mengenal sosok yang sedari lahir dipanggil 'Ayah' itu. Yang ia kenali sekarang hanyalah lelaki bejat, pemabuk, dan tukang aniaya yang bersembunyi di balik rupa ayahnya.

Apa salahnya? Apa salah Nino sebenarnya?

Kaki yang terus berlari, napas yang terengah-engah, keringat basah bercucuran di wajah, rasa panik dan ketakutan yang tak terhingga membuat Nino tak sadar kalau dari kejauhan seseorang sedang memerhatikan dirinya.

Sampai tiba-tiba ada suara kencang memekakkan telinga terdengar, dan tanpa diduga sebuah timah panas menembus salah satu bagian tubuhnya, membuatnya terjerembab jatuh ke tanah basah.

Darah kental seketika mengalir dari lubang kecil di atas permukaan kulit seputih pualam, merembes keluar dan turun membasahi bumi. Nino meringis pelan di antara dedaunan kering yang berserakan. Pohon-pohon yang mengelilinginya nampak bergoyang-goyang seolah tengah menertawakan lantaran ia tak sanggup lagi melanjutkan langkahnya.

Tatapannya kini nampak kosong dengan embusan napas yang tersengal-sengal. Semuanya terasa kembali berputar di kepala dan seperti menikamnya.

"Eughh ... tol-long ..." rintihnya, sebelum gelap lagi-lagi datang merenggut kesadarannya.

Sakit sekali. Nino tak tahu, apakah umurnya hanya sampai di sini?

👼🏻👼🏻👼🏻

Wuuussshhh ....

Angin musim gugur bertiup kencang menerpa untaian helai rambut pirang seorang pemuda manis, yang tengah berdiri di sebuah gedung tinggi menunggu taksi. Ia merapikan mantel dan syal yang dipakainya, berusaha menghalau udara dingin yang menjilat kulit. Padahal jam baru menunjukkan pukul sepuluh pagi, tapi cuaca yang mendung dan sinar matahari yang tertutup awan membuat temperatur suhu terasa semakin turun.

"Ini masih awal musim gugur, belum sampai turun salju tapi sudah dingin sekali," gumamnya. Dalam hati sedang memikirkan apakah ia perlu memakai sarung tangan atau tidak.

Belum sampai taksi yang ditunggu-tunggu datang tiba-tiba ponsel dalam saku mantelnya berdering nyaring, dan kala dilihat pada layarnya yang berkedip ia mendapati ada nama saudara tertuanya di sana. Buru-buru digeser ikon hijaunya untuk menjawab panggilan tersebut.

"Frinz," panggil sang kakak.

"Ya, Chris? Ada apa?" jawabnya seketika.

"Pulang sekarang, aku butuh kamu secepatnya," titah si sulung di ujung sana.

Red Angel Dancing On The Bed [Banginho]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang