Musik jazz mengalun merdu mengisi suasana dalam sepetak ruangan penuh orang-orang. Suara piring yang terantuk sendok dan garpu sesekali terdengar. Hilir mudik lelaki serta perempuan berpakaian seragam datang membawa makanan juga minuman. Dari meja ke meja, dari tamu ke tamu tanpa pilah pilih lebih dulu. Ucapan selamat datang, senyum terprogram, kalimat template, kepala yang mengangguk patuh pun senantiasa menghiasi wajah-wajah lelah mereka, yang kerap dipaksa untuk selalu bekerja dengan optimal tanpa peduli seberapa riuh isi kepala yang menuntut ketidakadilan dari gaji yang tak sepadan.
Sedangkan di belakang nampak sekelompok orang berpakaian putih dengan topi khas tengah sibuk menata piring pula sederet menu yang harus mereka buat secepat mungkin.
Makanan porsi sedikit namun harga selangit bukan hal yang aneh dari tempat ini, karena tentu saja para tamu yang datang bukanlah kalangan orang biasa. Jas rapi nyaris tanpa lekukan sama sekali, suara gemertuk dari sepasang sepatu berhak tinggi, gaun mewah penuh manik-manik, tas mahal, tatanan rambut yang diatur sedemikian rupa, juga aroma parfum menyerbak adalah ciri khas mereka. Bukankah sudah jelas bayangan bagaimana rupa kendaraan yang terparkir di luarnya?
"Oh, lihat siapa yang akhirnya mengajak makan malam denganku?" Suara lembut dari sosok wanita berambut pirang panjang di seberang meja membuat Chris yang baru datang seketika meliriknya.
Rossie, wanita berumur dua puluh delapan tahun itu tersenyum sambil menopang dagu dengan satu tangannya di atas meja. "Kupikir kamu akan melupakan janjimu lagi," cibirnya.
"Kenapa terdengar serba salah sekali menemuimu," sahut Chris sambil membuka buku menu dan memanggil pramusaji terdekat untuk memesan makanan.
"Aku sudah memesankan makanan," ucap Rossie tiba-tiba.
"Aku ingin pencuci mulut," kelit Chris.
Rossie tersenyum kecut. "Aku kaget sewaktu kamu menelpon dan bilang ingin bertemu," katanya.
"Aku butuh udara segar di luar," pungkas Chris.
"Oh ... kupikir kamu sengaja bertemu karena merindukanku."
"Kalau aku bilang iya, nanti kamu bilang aku bohong. Kalau aku bilang tidak, nanti kamu marah," gerutu Chris.
Bersamaan dengan itu seorang pramusaji datang membawa dua piring menu fancy yang seketika dihidangkan di depan keduanya.
"Aku cuma bercanda, kok. Kenapa wajahmu muram begitu?" kelit Rossie. Ia segera menyantap Short Rib Bourguignon dari piringnya.
Hening. Chris tak menjawab sama sekali. Di restoran mewah tempatnya bertemu dengan Rossie ini pikirannya justru terbagi-bagi. Ia memikirkan kendati teror dalam kardus yang Liza katakan sore tadi di rumahnya, ia juga sedang memikirkan bagaimana cara agar Nino tak kabur lagi jika kakinya sudah membaik nanti.
"Kudengar kamu memungut budak dari Red Light? Siapa dia?" tanya Rossie membuka obrolan.
"Bukan siapa-siapa," kelit Chris. Ia meletakkan garpunya yang semula asyik berputar di antara untaian creamy beef fettuccine makan malamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Angel Dancing On The Bed [Banginho]
Fanfiction"You are devil! Fvckin devil!" "Too much info ... the devil is real, and he isn't a little red man with horns and a tail. He can be beautiful---like me---, because he's a fallen angel and he USED to be God's favorite!" "Go to hell!" "Oh, Bunny ... w...