14. Anak Kucing

221 44 5
                                    

Plop!

Hangat dan lembut, wangi aroma bedak bayi, dan sedikit gelitik seperti ada yang berjalan di pipi.

Nino membuka matanya perlahan, cahaya merah remang senantiasa menyambutnya nyaris setiap kali ia bangun. Namun kali ini berbeda, Nino tak hanya melihat cahaya merah di langit-langit kamar saja, melainkan seraut wajah mungil yang menatapnya intens. Seorang anak kecil.

"Hmp!" Ia terperanjat seketika kala melihat ada anak asing yang tiba-tiba mengusap wajahnya disertai raut sedih yang amat kentara.

"Kamu diculik kakakku ya?" tanyanya.

Kakak? Kakak siapa? Nino tidak tahu kakak yang dimaksudkan si bocah ini siapa?

"Hmmpp!" Ia menggeleng pelan, masih kaget dan sedikit takut karena kemunculan anak ini tiba-tiba, juga panik karena takut kalau nanti si bocah mendadak menyibak selimutnya, sedangkan di balik kain katun lembut itu tubuh bagian bawah Nino tak memakai apa-apa. Bahkan borgol dan besi itu masih menyangga kakinya.

"Jangan digigit bolanya, nanti kamu sakit. Liza bilang aku tidak boleh asal mengigit barang, kuman dan bakteri bisa masuk ke mulut dan bikin badanku sakit," cecar si kecil sambil menoel-noel ballgag yang menyumpal mulut Nino. "Lagian ini bolanya keras."

Jujur, saat ini Nino benar-benar panik dan takut, meskipun entah kenapa ia harus merasakan demikian. Namun mau bagaimanapun mendapati adanya seorang anak kecil masuk dan melihat sosok korban pelecehan seksual langsung sepertinya bukanlah sesuatu yang wajar. Lebih lagi ia mengatakan tentang penculikan.

"Sakit, ya?" tanya si bocah sambil mengusap pipi Nino yang memerah bekas tamparan sang tuan.

Tidak ada jawaban dari yang ditanya, pemuda itu cuma diam dengan embusan napas terengah-engah. "Aku tau kok pasti sakit. Mau aku buka?" tanyanya lagi.

Nino terdiam, ia menatap nanar si bocah namun kemudian mengangguk pelan. Tangan mungil itu lantas terulur hendak meraih pengait di belakang kepala Nino, namun belum sampai menyentuhnya tiba-tiba dari arah pintu beberapa orang mendadak muncul dan berteriak lantang.

"JEO!" teriak Chris sembari masuk bersama Seth dan seorang wanita yang wajahnya familiar.

Jeo? Rasanya Nino pernah mendengar nama itu, tapi ia lupa kapan.

"Astaga!" Seth kaget kala melihat adik dari tuannya itu kini duduk di atas kasur dan seperti sedang mengajak Nino bicara, sedangkan perempuan yang ikut masuk itu segera menggendongnya.

"Chris! Chris! Dia kenapa? Dia gigit bola merah begitu dan diikat ke ranjang! Dia diculik, ya?" cecar si kecil.

"Tidak, tidak ada. Dia tidak sedang diculik, dia ... dia cuma sedang main-main dengan bola mainannya," jawab sang kakak. "Liza bawa Jeo keluar," titahnya kemudian pada si pengasuh.

"Aaaackk ... tidak mau! Turunkan aku! Aku mau di sini!" jerit Jeo sambil meronta-ronta di pelukan Liza.

"Ini bukan tempat buat main, Jeo. Aku kita keluar, kita cari tempat yang lebih bagus untukmu main," cecar si pengasuh.

"TI-DAK-MA-U!!! KALAU INI BUKAN TEMPAT MAIN TERUS KENAPA DIA ADA DI KASUR ITU?! CHRIS BILANG DIA CUMA MAIN SAMA BOLANYA!! KENAPA AKU TIDAK BOLEH?!" jerit si bungsu lagi. "Kalian membohongiku, ya!"

Mendengar itu baik Chris, Liza, Seth yang masih berdiri di depan pintu, pun juga Nino sama-sama kaget dengan ucapannya.

"Tidak, Jeo! Tidak ada yang berbohong. Tapi ini memang bukan kamar untukmu bermain, di sini berbahaya," cecar Chris. Kelepasan.

"Kalau memang di sini berbahaya kenapa dia diikat di kasur?! Kenapa tidak dibiarkan keluar?!" tuntut adiknya. "Kalian pasti menculiknya, iya kan! Aku tahu itu dan aku akan menelpon polisi!" omelnya kemudian sambil mengancam dan berkacak pinggang.

Red Angel Dancing On The Bed [Banginho]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang