Arion duduk di ruang kontrol markasnya, dikelilingi layar monitor yang memproyeksikan rekaman aktivitas di wilayah kekuasaannya. Wajahnya tegang, setiap urat di tangannya mengeras saat ia mendengarkan laporan dari anak buahnya tentang kelompok kriminal baru yang berhasil menyusup ke daerahnya—kelompok yang dikenal sebagai The Rose. Nama itu bukan hanya nama kosong di telinga Arion; ia tahu terlalu baik reputasi gelap mereka, dan yang lebih penting, ia tahu bahwa Liona tau tentang keterlibatan misterius kelompok ini.
“Bos,” suara anak buahnya memecah ketenangan ruang kontrol, “The Rose bukan sembarang kelompok. Mereka menguasai perdagangan wanita penghibur di kawasan ini, dan baru-baru ini mereka juga sukses menyelundupkan senjata ilegal dari luar negeri.” Pria itu terdiam, seolah menimbang kata-katanya, sebelum akhirnya menambahkan, “Berdasarkan informasi terakhir, mereka sepertinya bergerak lebih agresif, bahkan berani menginjakkan kaki di wilayah kita.”
Arion mengangguk pelan, pikirannya bergerak cepat, menganalisis segala kemungkinan dan ancaman yang mungkin muncul. Ia tahu betul bahwa kelompok itu bukan hanya sekedar ancaman—mereka adalah bom waktu yang siap meledak kapan saja.
"Persiapkan semuanya," kata Arion dengan nada tegas, menatap layar monitor di depannya seakan membara oleh tekad yang kuat. “Kelompok itu memiliki potensi besar untuk merusak, dan aku takkan membiarkan mereka bernapas lebih lama lagi di wilayah kita.”
Mata-mata di ruangan itu menahan napas, merasakan atmosfer yang dipenuhi ketegangan dari perintah Arion.
Arion mengalihkan pandangannya, menatap keluar jendela ke arah malam yang sunyi. Ia sadar, keputusan ini bukan hanya soal mempertahankan wilayahnya. Ini adalah soal harga diri, soal memastikan bahwa tidak ada yang bisa menyentuhnya—atau siapapun yang penting baginya—tanpa konsekuensi yang mengerikan.
Di dalam hatinya, Arion tahu bahwa langkah ini mungkin akan membawanya lebih dekat pada kebenaran tentang apa yang Liona katakan tempo lalu dan rahasia tentang kelompok itu. Tapi ia siap menghadapi apapun. Karena, bagi Arion, tidak ada yang lebih berbahaya daripada membiarkan musuh tersembunyi terus bergerak di belakang layar.
Ketegangan di ruang kontrol yang tadinya memuncak perlahan mencair saat seorang wanita berjalan masuk tanpa suara, melangkah melewati anak buah yang segera menunduk memberi hormat. Liona, dengan anggun tapi terlihat lelah, melangkah ke tengah ruangan dan duduk di sofa di sisi ruangan. Ia menghela napas panjang, melepas sedikit beban yang tampak terpendam di balik sorot matanya yang biasanya tajam.
Arion, yang tadinya berdiri di depan monitor, memutar badannya perlahan, mengamati istrinya yang kini berada tak jauh darinya. Wajahnya melunak, dan tanpa berpikir dua kali, ia melangkah menghampirinya. Dengan lembut, tangannya menyusup ke antara helaian rambut Liona, menyampirkan anak rambut yang jatuh ke wajahnya, lalu menatapnya dengan penuh perhatian.
“Ada apa?” tanyanya dengan suara lembut, suaranya nyaris berbisik. Tatapannya dipenuhi kekhawatiran, berbeda dari dinginnya sikap yang ia tunjukkan pada anak buahnya beberapa menit lalu.
Liona menggeleng pelan, namun ada bayangan rasa letih yang terpancar dari wajahnya. Tanpa berkata-kata, ia meraih tubuh Arion dan memeluknya erat, menarik tubuhnya lebih dekat seolah hanya kehadiran Arion yang mampu membuatnya merasa aman. Arion merasakan berat tubuhnya yang bersandar padanya, seakan Liona tengah menumpahkan segala keluh yang selama ini dipendam.
“Aku capek,” ucap Liona lirih, suaranya penuh kelelahan. Kata-katanya sederhana, tapi beratnya terasa hingga ke hati Arion. Ia tahu betapa kuat Liona di mata semua orang, tetapi momen-momen seperti ini menunjukkan sisi rapuh yang hanya dia sendiri yang dapat melihatnya.
Arion membalas pelukan itu, mengusap lembut punggung Liona untuk menenangkan istrinya. “Aku ada di sini,” jawabnya, suaranya tenang namun penuh janji. “Apa pun yang mengusikmu, aku akan pastikan semua aman. Kau tak perlu khawatir.”
KAMU SEDANG MEMBACA
TRANSMIGRASI SANG KETUA 2
Mystery / Thriller❝Menggoda dengan manis, menyerang dengan tajam.❞ -Liona Hazel Elnara