Di tengah pelajaran yang membosankan, Liona mendadak terusik oleh suara jeritan yang menggema dari arah luar. Suasana kelas berubah ricuh seketika; beberapa mahasiswa beranjak dari tempat duduk, berusaha mengintip dari jendela. Liona tetap tenang, hanya mengangkat alis tipisnya sebelum akhirnya ikut melirik ke luar.
Di sana, di sisi lapangan utama, tubuh seseorang tergeletak dengan darah mengalir, menyelimuti rerumputan di sekitarnya. Tatapan Liona yang datar perlahan berubah tajam, matanya menyelidik pemandangan tersebut tanpa ekspresi gentar sedikit pun. Ia memperhatikan sekitar, hingga akhirnya pandangannya naik, menelusuri gedung sekolah sampai ke rooftop.
Di atas sana, seorang gadis berdiri dengan tubuh bergetar, tampak pucat dan ketakutan. Mulutnya bergerak tanpa suara, hanya matanya yang terus menatap tubuh di bawah, seakan tak percaya pada apa yang baru saja terjadi. Bisik-bisik mulai terdengar di antara para mahasiswa di lapangan dan dalam kelas, sebagian dari mereka berpendapat bahwa gadis di rooftop itulah pelakunya, mungkin telah mendorong korban dari ketinggian.
Liona tidak mempedulikan gunjingan itu. Alih-alih, dia hanya menyeringai tipis, berpikir dalam-dalam. Ada sesuatu yang terasa janggal baginya. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia beranjak dari kursinya, berjalan keluar kelas di tengah kerumunan yang histeris.
Liona melangkah dengan tenang melewati lorong-lorong yang sunyi, kakinya membawa dirinya menuju rooftop, meninggalkan gemuruh para mahasiswa yang masih bertanya-tanya di lapangan. Tangga menuju rooftop terasa semakin sepi dan mencekam, setiap langkahnya menggema, seolah memecah kesunyian yang melingkupi tempat itu.
Setibanya di sana, ia melihat gadis yang duduk memeluk dirinya sendiri, wajahnya pucat pasi, tubuhnya gemetar hebat. Gadis itu terlihat hancur, bibirnya bergetar tanpa suara, pandangan matanya kosong, tertuju pada jarak yang jauh. Pemandangan ini tidak membuat Liona terkejut; dia sudah menduga situasinya. Dia berjalan mendekat, setiap gerakannya tenang dan penuh pengendalian, seperti seekor kucing yang mendekati mangsanya.
Setelah berhenti tepat di hadapan gadis itu, Liona menatapnya tanpa ekspresi. Suara lembutnya memecah keheningan, nada suaranya datar namun penuh tekanan.
"Apa yang terjadi?" tanya Liona, sorot matanya tetap terkunci pada gadis itu.
Gadis itu menggeleng pelan, tangisnya semakin menjadi-jadi. Tanpa sepatah kata pun, ia tiba-tiba berdiri dan melangkah cepat menuju pembatas rooftop. Dalam sekejap, tubuhnya sudah berada di tepi, satu tangannya meraih pembatas dengan mata tertutup seakan menguatkan niat untuk melompat.
Mata Liona membulat, adrenalin langsung menyergapnya. Tanpa berpikir dua kali, ia bergerak cepat, tangannya terulur menangkap bahu gadis itu, dan dengan kasar menariknya ke belakang hingga gadis itu jatuh terduduk kembali di lantai rooftop. Gadis itu terkejut, tubuhnya gemetar saat pandangannya bertemu dengan tatapan tajam Liona yang kini penuh emosi.
"Nggak ada gunanya lari kayak gitu," ucap Liona dingin, sembari menahan bahu gadis itu agar tetap di tempatnya. "Kalau nggak bisa jelasin apa yang terjadi, setidaknya jangan tambah masalah."
Gadis itu menatap Liona dengan ekspresi campur aduk, antara ketakutan dan kebingungan, tapi kali ini ia tak mencoba melarikan diri lagi. Isakannya mereda, meskipun tubuhnya masih gemetar. Liona hanya menatapnya tajam, menunggu jawaban yang mungkin bisa memberi petunjuk atas apa yang baru saja terjadi.
Isakan gadis itu mereda, meski masih terdengar tersendat-sendat. Dengan suara yang gemetar, ia berusaha menjelaskan, “B-bukan aku... bukan aku yang dorong dia...” katanya, suaranya hampir tak terdengar. Mata gadis itu masih dipenuhi ketakutan saat dia menatap Liona.
“Dia melompat sendiri... aku nggak dorong dia, aku nggak ngapa-ngapain!” Gadis itu menggeleng keras, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri akan ucapannya. Tatapannya nanar, tak percaya, seakan masih terguncang oleh kejadian barusan.
Liona memperhatikan ekspresi ketakutan itu, sorot matanya tetap tajam namun ada sedikit rasa ingin tahu yang muncul. Dia mengambil napas dalam-dalam, lalu berucap, “Jadi, kamu cuma ada di sana? Cuma lihat dia lompat?”
Gadis itu mengangguk lemah, wajahnya terlihat pucat pasi. “I-ya… aku cuma ada di sana, dia tiba-tiba naik ke pembatas… aku nggak tahu kenapa…”
Liona terdiam, menyerap informasi itu. Ada sesuatu yang terasa janggal baginya, tapi dia menahan diri untuk tidak menunjukkan emosinya. Dia tahu, situasi ini lebih rumit dari kelihatannya, dan dia harus berhati-hati untuk tidak mempercayai siapa pun begitu saja.
“Kalau begitu, kamu perlu tenang, jangan malah bertindak bodoh dengan lompat juga,” ujar Liona, suaranya datar namun tegas.
“Aku takut karna cuma aku yang ada disini, pasti aku yang jadi tersangka!”
Liona memperhatikan gadis itu dengan seksama, tatapannya menajam saat matanya menangkap sesuatu yang terukir di pergelangan tangan gadis tersebut—sebuah tato kecil berbentuk bunga mawar. The Rose. Tanda yang tak asing bagi Liona, tanda yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu yang berada dalam lingkaran organisasi terlarang. Sorot mata Liona berubah semakin dingin, penuh curiga dan perhitungan.
Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Liona menatap lurus ke arah gadis itu, membuatnya semakin gelisah. Gadis itu menggigit bibirnya, kedua tangannya mengepal di pangkuan, berusaha keras menahan diri dari tatapan intimidatif Liona yang begitu menusuk. Ia tak lagi menangis, tapi napasnya masih tersengal, dan tubuhnya gemetar.
"Jadi... anggota The Rose, ya?" ujar Liona dengan nada pelan namun penuh tekanan, membuat gadis itu langsung menegakkan tubuhnya. Wajahnya semakin pucat, dan bibirnya kembali bergetar, seakan ingin menyangkal namun tak punya kekuatan untuk berbohong.
“A-aku… aku cuma ikut… b-bukan seperti yang kamu pikir,” gumam gadis itu, suaranya nyaris tak terdengar.
Liona menyeringai tipis, sebuah senyuman yang tak ramah. “Jadi kamu tahu lebih dari yang kamu ceritakan, kan? Jangan buang waktuku dengan alasan-alasan konyol. Jika kau mau lepas dari masalah ini, lebih baik mulai bicara yang sebenarnya.” Suaranya terdengar tajam dan dingin.
Gadis itu terdiam, matanya terpejam sesaat, seolah berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Akhirnya, dia menatap Liona dengan ekspresi pasrah. “Dia… dia salah satu dari kami. Tapi aku… aku nggak tahu kenapa dia melompat. Kami memang sedang ada masalah, tapi bukan aku yang membuatnya jatuh! Aku cuma di sini untuk—"
“Kamu cuma di sini untuk mengawasi, atau untuk memastikan sesuatu?” potong Liona, tak membiarkan gadis itu menyelesaikan kalimatnya. Liona tahu persis betapa rumit dan berbahayanya organisasi semacam ini, dan dia tak akan membiarkan satu detail pun lolos.
Gadis itu menggigit bibirnya semakin keras, kini terintimidasi oleh tatapan tajam Liona. Rasa takut dan cemas terpancar di wajahnya, namun ia tetap diam, tampaknya masih ada yang ingin ia sembunyikan.
Liona hanya mendengus pelan, menyadari bahwa mendapatkan jawaban darinya tak akan mudah. "Baik, simpan saja kebohonganmu. Tapi ingat, kebohonganmu cuma akan membuatmu makin terjebak," ujar Liona sambil melangkah mundur, masih menatapnya dengan dingin.
Gadis itu menunduk, kedua tangannya mengepal erat, namun kali ini dia tak bersuara lagi. Liona tahu pertemuan mereka mungkin belum selesai di sini.
#tbc
Follow ig: @wiwirmdni21 / @thrillgraceFollow tiktok: @Wiwi Ramadani
Kalau kalian nggak paham sama alurnya tenang aja ya,perlahan-lahan semua akan jelas nanti..
KOMEN DOONG YANG BANYAKKK HIHI😖🖤 SPAM NEXT!!
JANGAN LUPA VOTE🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
TRANSMIGRASI SANG KETUA 2
Tajemnica / Thriller❝Menggoda dengan manis, menyerang dengan tajam.❞ -Liona Hazel Elnara