𝐕𝐈𝐈𝐈 : Obrolan di Malam Penuh Kunang-Kunang.

45 8 2
                                    

──────⊹⊱✫⊰⊹──────

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

──────⊹⊱✫⊰⊹──────


Kembali pada Remiel yang selalu sibuk di kios milik keluarganya. Setelah pengajuan kerjasama yang terhitung sudah berjalan lima hari, kios mereka menjadi perbincangan dan tentunya selalu ramai, hingga mengharuskan mereka untuk buka sampai larut malam. Namun, tak banyak yang tahu, pelanggan paling rutin dan tidak terduga adalah Evander Halewood.

Remiel baru saja selesai mengatur stok ramuan ketika bel kecil di pintu berbunyi. Ia berteriak sambil tetap sibuk, "Silakan masuk! Kios masih buka."

Namun, saat menoleh, ia mendapati Evan berdiri di ambang pintu dengan senyum khasnya. "Kau lagi?" Remiel bergumam, setengah bercanda.

Evan tertawa pelan, langkahnya santai saat mendekat. "Kau tahu, aku butuh ramuan penyembuh untuk ayahku... dan mungkin, untuk mengobrol sebentar."

Remiel mendengus pelan sambil pura-pura sibuk memeriksa rak. "Bisa saja mengobrol lewat burung sihir, tak perlu repot-repot datang."

Evan mengangkat bahu, matanya berkeliling, meskipun jelas tujuannya lebih sering melihat Remiel daripada ramuan. "Mengobrol lewat burung sihir tidak bisa membuatku tersenyum seperti ini, Remiel."

Pipi Remiel memerah sedikit, tapi ia menutupi rasa malunya dengan cepat. "Kau ini, selalu pandai bicara."

Evan tertawa lagi, kali ini lebih ringan. "Aku hanya jujur."

Mereka akhirnya duduk di luar kios, menghadap langit malam yang dipenuhi kunang-kunang berpendar lembut. Remiel, masih berusaha menyembunyikan rasa canggungnya, menatap Evan sesekali. "Kenapa kau terus datang ke sini? Bukannya kau sibuk?"

Evan menghela napas pendek, pandangannya lurus ke arah kunang-kunang. "Kadang aku perlu jeda dari semua itu. Kau tahu? Kunang-kunang ini selalu dianggap membawa keberuntungan di tempat asalku."

Remiel tersenyum tipis, menoleh ke arah Evan. "Keberuntungan dalam hal apa?"

Evan berpura-pura berpikir, meskipun senyumnya tak pernah benar-benar hilang. "Katanya, dalam cinta."

Remiel tertawa kecil, menunduk untuk menyembunyikan pipi yang semakin merah. "Kau benar-benar klise."

Evan menatapnya serius sesaat, sebelum tertawa juga. "Mungkin. Tapi ada benarnya. Sejak aku mengenalmu, rasanya malam-malam seperti ini jadi lebih berarti."

Remiel terdiam, bingung harus merespons bagaimana. Meski begitu, ia tak bisa menahan senyumnya yang makin lebar. "Kau benar-benar tahu cara bicara, ya?"

Sweet Sorcery. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang