𝐗𝐈 : Kabar yang Ditunggu Tunggu.

20 8 0
                                    

──────⊹⊱✫⊰⊹──────

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

──────⊹⊱✫⊰⊹──────

Evan berjalan dengan langkah terhuyung-huyung, setiap gerakannya disertai rasa sakit yang menyengat di seluruh tubuh. Udara malam yang dingin terasa menusuk luka-lukanya, dan detak jantungnya semakin cepat, seolah menyadari keadaan genting yang dialaminya.

Manor yang megah dan angkuh berdiri di hadapannya, tetapi semua keindahan itu terasa samar. Darah mengalir dari luka di tubuhnya, menetes di lantai yang berkilau. Setiap tetes yang jatuh meninggalkan jejak merah pekat yang kontras dengan warna bersih lantai tersebut.

Setelah berjuang melawan rasa sakit, dia berhasil mencapai pintu depan. Dengan napas terengah-engah, dia meraih gagang pintu, merasakan dinginnya logam. Kemudian mendorong pintu dan melangkah masuk.

Begitu memasuki manor, Evan terhenti sejenak, terkejut oleh betapa sunyinya tempat ini. Dia berharap ada seseorang menantinya di dalam, tetapi semua yang dia dengar hanyalah detakan jam yang menggema di dinding.

Setiap napasnya terasa berat, dan kepalanya mulai berputar. Dia jatuh berlutut, menyentuh lantai dengan telapak tangan yang berlumuran darah. Kegelapan mulai menyelimuti pandangannya, dan suara-suara samar mulai menghilang.

"Evan!" seru Percival, suara yang penuh kepanikan dan kekhawatiran memecah keheningan. Evan merasakan sentuhan hangat di bahunya, tubuhnya lemas, segalanya mulai menjadi gelap.

Dalam keadaan setengah sadar, dia mendengar Percival yang bertanya. "Apa yang terjadi? Evan, tetap terjaga!" suaranya menggema, mencerminkan rasa khawatir yang mendalam.

Kepala Evan berputar, pikirannya dipenuhi dengan kekacauan. Dia ingin memberi tahu Percival bahwa dia baik-baik saja, tetapi kata-kata itu terjebak di tenggorokannya. Alih-alih, semua yang bisa dia lakukan hanyalah berusaha untuk tetap terjaga.

Percival berlutut di sampingnya, wajahnya terlihat cemas. "Tahan sebentar, aku akan membantumu. Jangan tutup matamu!"

Mendengar suara sepupu nya, Evan merasa seolah ada cahaya di kegelapan. Mungkin, dia masih memiliki harapan untuk bertahan.

Dan kemudian, semuanya menjadi gelap.
ㅤㅤ

| - SWEET SORCERY - |

Perlahan membuka matanya, Evan merasakan cahaya lembut yang masuk ke indra pengelihatan nya. Rasa nyeri di seluruh tubuhnya membuatnya mengerang pelan. Saat kesadarannya kembali, ia menyadari bahwa ia sudah berada di kamarnya, ranjang besar tempatnya biasa beristirahat.

Tubuhnya terasa lebih ringan, dan ketika ia memeriksa, ia mendapati baju lamanya telah diganti dengan yang baru dan bersih, aroma obat yang familiar menyeruak di sekelilingnya.

Dia berusaha menggerakkan tubuhnya, tetapi rasa sakit yang menjalar dari luka-lukanya membuatnya terpaksa berhenti. Di kamar ini, ia bisa mendengar suara orang-orang yang sedang berbincang. Suara yang samar-samar itu terdengar seperti percakapan penuh kekhawatiran.

Sweet Sorcery. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang