2

62 16 0
                                    

[💕HAPPY READING 💕]
[✨Jangan lupa untuk berikan vote dan juga comment✨]

Pagi itu Satya terbangun dengan perasaan berat yang seolah menimpa dadanya. Mimpi semalam masih terasa begitu nyata. Kenangan tentang orang tua dan seluruh keluarganya berkumpul di meja makan membuatnya merasakan kehangatan sejenak, tapi ending dari mimpi itu selalu membawa kesedihan yang sama. Kenyataan bahwa mereka tidak lagi ada di dunia ini.

Ia duduk di pinggir kasur, menatap lantai kamar yang dingin. "Apa ada yang dengar aku?" gumamnya pelan. Satya menarik napas panjang, merasa seolah-olah ia berada di dunia yang lain, jauh dari saudara-saudaranya yang masih bersamanya sekarang.

Pagi itu, ia turun ke ruang makan, wajahnya pucat, langkahnya pelan. Rumah mereka masih sunyi. Seperti biasa, Saka sudah bangun lebih dulu dan sibuk di dapur, menyiapkan sarapan untuk adik-adiknya. Rion masih belum muncul dari kamar, mungkin masih tertidur lelap seperti biasa, tenggelam dalam dunianya sendiri. Yosan? Satya tidak tahu. Yosan jarang berbicara padanya kecuali terpaksa. Jevan dan Rio, mungkin masih saling mengejek di kamar.

“Aku terjebak di sini,” Satya bergumam lagi, tapi tidak ada yang mendengar. Ia duduk di kursi ruang makan, pandangannya kosong.

Tak lama kemudian, Saka keluar dari dapur sambil membawa piring-piring sarapan. Wajahnya terlihat cerah, meski jelas ada sedikit guratan lelah di matanya.

“Pagi, Satya. Kamu udah bangun?” Saka menaruh piring di meja dan duduk di seberangnya. “Kamu kenapa? Mimpi buruk lagi?”

Satya hanya mengangguk pelan. "Iya, Kak."

Saka menatapnya dengan tatapan khawatir, tapi ia tahu adiknya tidak suka terlalu banyak ditanya soal mimpinya. “Ya udah, makan dulu ya. Kakak udah bikin nasi goreng, kesukaan kamu.”

Satya meraih sendoknya dengan gerakan lambat. Ia mengambil sedikit nasi, tapi tidak benar-benar memakannya. Saka menghela napas panjang. Ia tahu sesuatu sedang mengganggu Satya, tapi ia juga tahu memaksa adiknya berbicara tidak akan menyelesaikan masalah.

"Satya, kamu nggak perlu takut. Mimpi itu cuma bunga tidur. Kamu tahu kan, Kakak selalu ada buat kamu?" Saka berkata, berusaha menenangkan.

"Aku tahu, Kak," jawab Satya pelan. "Tapi... rasanya aneh aja. Kayak aku nggak bisa lepas dari pikiran itu."

Sebelum percakapan mereka bisa berlanjut, Rion akhirnya muncul dari kamarnya, rambutnya berantakan, dengan headphone masih melingkar di lehernya. "Pagi," gumamnya tanpa semangat. Ia langsung duduk di meja tanpa banyak bicara, mengambil piring nasi goreng dan mulai makan.

Saka menatap Rion dengan cemberut. "Kamu tuh bisa nggak sih sekali-sekali ngomong lebih dari satu kata kalau pagi?"

Rion mengangkat bahu. "Ngapain ngomong kalau nggak penting? Lagian, sarapan kan cuma buat makan, bukan ngobrol."

Saka mendesah, lalu mengalihkan perhatian ke Satya lagi. "Sat, nanti kamu mau berangkat jam berapa? Kakak bisa anterin kalau mau."

Satya menggeleng. "Aku jalan aja, Kak. Nggak apa-apa."

Di saat itu, Jevan dan Rio berlari-lari kecil dari kamar mereka, berlomba siapa yang lebih cepat sampai ke meja makan. “Aku menang!” Rio berseru dengan senyum lebar di wajahnya.

Jevan tertawa kecil. “Cuma karena aku nggak niat aja, Rio. Kalo aku serius, kamu udah kalah dari awal!”

Saka tersenyum melihat mereka berdua. "Udah-udah, ayo makan dulu. Kakak udah bikin sarapan, nih."

Jevan mengambil tempat di samping Satya dan menyadari ada sesuatu yang berbeda dengan adiknya pagi itu. “Satya, kamu kenapa? Kelihatannya kaya lagi sedih deh,” tanyanya, nada suaranya lembut tapi penuh perhatian.

𝐃𝐢 𝐁𝐚𝐥𝐢𝐤 𝐏𝐢𝐧𝐭𝐮 𝐑𝐮𝐦𝐚𝐡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang