[💕HAPPY READING 💕]
[✨Jangan lupa untuk berikan vote dan juga comment✨]Setelah perjalanan yang penuh ketegangan, mereka akhirnya sampai di rumah sakit. Saka memarkir mobil dengan cepat dan langsung berlari keluar, diikuti Yosan dan Rion yang menggendong Satya. Suasana rumah sakit terasa mencekam, dan aroma antiseptik memenuhi udara.
“Cepat! Ayo bawa dia ke UGD!” seru Rion, tak sabar lagi. Yosan dan Saka berusaha sekuat tenaga untuk mengangkat tubuh Satya yang semakin lemas.
“Yos, tolong pegang kepalanya! Aku pegang kaki!” Saka memberi instruksi. “Kita harus hati-hati supaya dia nggak jatuh.”
Yosan mengikuti arahan Saka, menjaga kepala Satya agar tidak terguncang. “Satya, kita di sini. Kamu harus bertahan, ya,” bisiknya sambil berjalan cepat menuju pintu UGD.
Setibanya di depan meja resepsionis, Rion langsung berbicara pada perawat yang ada di sana. “Kita butuh bantuan! Adik kami demam tinggi dan tidak sadar!” suaranya penuh kepanikan.
Perawat itu segera mengangguk dan meminta mereka untuk membawa Satya ke ruang UGD. “Bawa ke sini, cepat!” ujarnya sambil menunjuk ruang yang berada di dekatnya.
“Yuk, Satya! Kita bawa kamu ke sini!” Yosan berusaha memberi semangat pada Satya yang tak sadarkan diri. Mereka bertiga mengangkat Satya dan membawanya ke ruang UGD, di mana dokter sudah menunggu.
“Letakkan di sini!” perintah dokter, dan mereka cepat-cepat menurunkan Satya di tempat tidur medis. Dokter memeriksa suhu dan keadaan Satya dengan cepat. “Apa yang terjadi?” tanya dokter, memperhatikan ketiga bersaudara itu.
“Dia demam tinggi dan tidak sadarkan diri di rumah,” jawab Saka, berusaha menjelaskan dengan jelas meskipun napasnya tersengal-sengal.
“Dia juga terus menyebut Mama dan Papa,” Rion menambahkan, air mata menggenang di matanya. “Dia sangat trauma sejak kejadian itu.”
Dokter mengangguk dan mulai memeriksa Satya lebih lanjut. “Kami butuh semua informasi yang kalian bisa berikan. Kapan terakhir kali dia makan atau minum? Apakah dia memiliki riwayat penyakit sebelumnya?” tanya dokter dengan nada serius.
“Dia belum makan dengan baik beberapa hari terakhir, tapi tidak ada riwayat penyakit sejauh yang kami tahu,” Rion menjawab, suaranya bergetar.
“Baiklah, kita akan lakukan pemeriksaan darah dan tes lainnya untuk mengetahui apa yang terjadi,” kata dokter. “Tunggu sebentar, kami akan segera melakukan tindakan.”
Setelah dokter pergi, suasana di dalam ruangan terasa menegangkan. Saka menggenggam tangan Satya, berharap adiknya bisa merasakan kehadiran mereka. “Satya, bangun, ya. Kakak ada di sini,” ucapnya lembut, meskipun hatinya terasa berat.
“Kenapa dia harus mengalami ini semua? Kenapa harus seperti ini?” Yosan berbisik, air matanya mulai mengalir. “Kita sudah kehilangan Mama dan Papa, sekarang adik kita juga...” Suaranya tersendat.
“Yos, jangan berpikir yang buruk. Kita harus percaya dia akan baik-baik saja,” Rion mencoba menenangkan. “Dia kuat, Yos. Dia pasti bisa melalui ini.”
“Bisa? Dia masih kecil, Rion!” Yosan hampir berteriak, frustrasi. “Dia seharusnya tidak mengalami semua ini. Aku nggak mau kehilangan dia juga!”
“Tenang, Yos! Jangan panik. Kita harus tetap positif!” Rion mencoba menstabilkan suasana. “Kita sudah di sini, dan kita akan berjuang untuknya.”
Setelah beberapa menit menunggu yang terasa seperti selamanya, dokter kembali dengan hasil pemeriksaan. “Kami sudah melakukan tes awal. Satya mengalami infeksi, dan demamnya cukup tinggi. Kami perlu memberikan cairan infus dan obat penurun demam untuk menstabilkannya,” jelas dokter.
“Infeksi? Itu berarti dia bisa sembuh?” tanya Saka dengan penuh harapan.
“Ya, tetapi kita harus memantau perkembangannya. Satya mungkin akan membutuhkan waktu di sini untuk pulih,” jawab dokter. “Kalian bisa menemani dia sebentar, tetapi kami perlu mempersiapkan perawatan.”
Yosan dan Rion mengangguk, dan dokter memberi isyarat untuk keluar. “Ayo, kita keluar sebentar,” kata Yosan, mencoba meredakan suasana yang mencekam.
Di luar, mereka berdiri dalam diam. Saka menatap lantai, berusaha menahan air mata yang hendak turun. “Aku merasa ini semua salahku. Aku lalai menjaganya,” ucapnya pelan, suaranya hampir tak terdengar.
“Jangan bilang gitu, Kak! Ini bukan salahmu. Kita semua berjuang untuk dia,” Rion menegaskan. “Kita harus tetap bersatu. Satya butuh kita.”
“Dia terlalu kecil untuk menanggung semua ini sendirian,” Yosan menambahkan, mengusap air mata di pipinya. “Aku ingin dia tahu kalau kita ada untuknya.”
“Dan kita akan selalu ada untuknya,” Saka menambahkan, menatap ke arah pintu UGD. “Aku akan berjuang untuknya. Dia adikku. Kita harus terus berdoa supaya dia cepat sembuh.”
Setelah beberapa saat menunggu, perawat keluar dari ruang UGD. “Kalian boleh masuk, tapi hanya satu orang yang bisa menemani Satya dulu,” ucap perawat. “Silakan bergiliran.”
“Yos, kamu yang masuk dulu,” Rion menyarankan. “Kakak akan tunggu di luar.”
“Kenapa aku? Kalian juga harus menemani dia,” Yosan keberatan.
“Kamu perlu lebih dekat sama dia. Dia perlu tahu kamu ada di sana,” Rion meyakinkan.
Yosan mengangguk pelan, berusaha menguatkan diri. “Baiklah. Aku akan masuk,” katanya, sedikit bergetar. Dia membuka pintu dan masuk ke ruang UGD, mendapati Satya terbaring lemah dengan infus yang terpasang di tangannya.
“Satya, aku di sini,” Yosan berkata pelan, mendekat. “Kakak ada di sini. Kamu nggak sendirian.”
Satya mengerang pelan, matanya masih tertutup. “Mama... Papa...” bisiknya lagi, membuat hati Yosan semakin hancur.
“Satya, lihat kakak! Kita ada di sini. Mama dan Papa sudah tenang, mereka nggak akan ngerasain sakit seperti waktu itu lagi. Kamu harus kuat,” ucap Yosan sambil menahan air mata. “Kita butuh kamu di sini, Satya.”
Yosan meraih tangan Satya, menggenggamnya erat. “Aku janji, kita akan berjuang bersama. Jangan pergi, ya. Kakak nggak mau kehilangan kamu juga. Kita akan lalui semua bersama-sama.”
Setelah beberapa menit, Yosan merasakan jari-jari Satya sedikit bergerak, dan hatinya berdebar. “Satya? Bangun, ya!” Dia mengusap rambut Satya dengan lembut, berharap bisa memberikan sedikit ketenangan.
“Kak...?” Suara Satya terdengar samar, matanya mulai terbuka sedikit. “Kakak... di mana... Mama... Papa?”
“Di sini, Satya. Mama dan Papa ada di tempat yang baik. Kamu harus fokus sama kakak dan berjuang buat sembuh, ya?” Yosan berusaha menenangkan, meskipun suaranya bergetar.
Satya mengangguk lemah, air mata mengalir di pipinya. “Aku... takut...”
“Jangan takut, Satya. Kakak di sini. Kita akan melewati semua ini. Kamu tidak sendirian,” Yosan memegang tangan Satya lebih erat, berusaha memberikan kekuatan.
Kedua bersaudara itu terbenam dalam momen haru yang mendalam, berusaha saling menguatkan di tengah badai yang menerpa. Disaat itu juga, Yosan sadar. Tidak seharusnya ia menyalahkan adiknya atas kematian orangtuanya.
•
•
•
•
•
TBC
[💕TERIMAKASIH BAGI YANG SUDAH BERKENAN MEMBACA CERITA INI 💕]
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐃𝐢 𝐁𝐚𝐥𝐢𝐤 𝐏𝐢𝐧𝐭𝐮 𝐑𝐮𝐦𝐚𝐡
Teen Fiction[ON GOING] "Rumah bukan cuma sekedar bangunan, tapi tempat kita buat pulang. Tempat dimana kita bisa ngerasa aman, damai, tanpa takut apapun. Nggak peduli gimana kerasnya dunia di luar, selama kita bareng-bareng, semua bisa kita lewatin." - Saka • •...