[💕HAPPY READING 💕]
[✨Jangan lupa untuk berikan vote dan juga comment✨]Hari itu, rumah yang biasanya tenang mendadak ramai. Dari kejauhan, deru mobil terdengar mendekat, dan suara-suara obrolan samar mulai masuk ke dalam rumah. Saka, yang sedang duduk di ruang tamu sambil membaca, mendongak saat mendengar suara itu. Dia mengernyit, merasa sedikit khawatir.
“Siapa yang datang, ya?” gumamnya pelan.
Tak lama kemudian, pintu rumah diketuk beberapa kali. Saka bangkit, melangkah dengan tenang menuju pintu depan. Begitu dibuka, wajah kerabat yang lama tak dilihat muncul di hadapannya, paman dan bibi dari pihak ibu, yang selama ini jarang sekali berkunjung. Di belakang mereka, ada beberapa saudara sepupu yang ikut datang.
“Oh, Paman! Bibi! Kalian datang?” Saka berusaha terdengar ramah, meski ada perasaan aneh yang mengganggu di hatinya.
“Ya, Saka. Kami mampir sebentar, kebetulan lagi ada urusan di kota ini,” jawab pamannya sambil tersenyum tipis.
Bibi yang berdiri di sampingnya mengangguk pelan. "Lama banget kita nggak ketemu, ya. Gimana kalian di sini? Baik-baik aja?"
Saka memaksakan senyum, berusaha menyembunyikan perasaannya. "Iya, kita baik-baik aja. Silakan masuk, Paman, Bibi. Kalian pasti lelah dari perjalanan."
Paman dan Bibi masuk, diikuti oleh saudara-saudaranya yang tampak sedikit canggung. Yosan, yang sedang duduk di meja makan sambil menulis sesuatu, melirik ke arah tamu yang masuk dengan tatapan dingin. Dia tidak pernah benar-benar suka dengan keluarga dari pihak ibu. Ada perasaan tidak nyaman yang selalu mengiringi setiap kedatangan mereka.
Rio dan Jevan, yang sedang bermain di lantai ruang tengah, berhenti sejenak saat melihat tamu. Mereka memandang ke arah Saka dengan tatapan bertanya-tanya.
“Saka, Yosan, gimana kabar kalian? Udah lama banget nggak ketemu,” kata salah satu sepupu mereka, mencoba mencairkan suasana yang terasa kaku.
“Kami baik,” jawab Saka singkat, berusaha tetap ramah meski suasana hatinya mulai tidak enak. "Kalian sendiri gimana?"
“Oh, biasa aja. Masih sibuk dengan kerjaan dan urusan rumah. Tapi ya, kita sempatin buat mampir ke sini,” jawab sepupunya sambil tersenyum tipis.
Yosan diam di tempatnya, tidak tertarik untuk menyambut atau berbasa-basi. Dia hanya melanjutkan apa yang sedang dia kerjakan, seolah-olah kedatangan mereka tidak penting.
Namun, suasana canggung itu mulai terpecah ketika bibi tiba-tiba berbicara dengan nada yang lebih serius. "Saka, Yosan, kalian ini udah lama hidup tanpa orang tua. Bibi sama paman udah lama mikirin, gimana kalau kalian ikut pindah ke rumah kami? Kalian kan masih butuh bimbingan orang dewasa."
Saka terdiam sejenak, terkejut dengan pernyataan itu. Dia menatap Yosan, yang langsung mengangkat wajahnya dengan ekspresi kaku. "Kami baik-baik aja di sini, Bibi. Terima kasih atas tawarannya, tapi kami nggak perlu pindah."
Bibi menghela napas panjang, seolah tidak puas dengan jawaban itu. "Tapi, Saka, kalian masih muda. Hidup sendirian kayak gini nggak baik. Kalian butuh keluarga."
Yosan, yang sedari tadi berusaha menahan diri, akhirnya angkat bicara. "Kami nggak sendirian, Bibi. Kami punya satu sama lain. Dan kami udah cukup dewasa buat urus diri sendiri."
Nada suaranya terdengar tajam, penuh dengan ketegangan yang sudah lama dia rasakan setiap kali berbicara dengan kerabat dari pihak ibu. Saka yang merasa suasana mulai memanas, berusaha menenangkan.
"Yosan, tenang. Bibi cuma khawatir. Kita harus hargai niat baik mereka," kata Saka sambil menatap Yosan, berharap dia tidak memperkeruh keadaan.
Namun, Yosan tidak mau mendengarkan. “Khawatir? Mereka nggak pernah ada buat kita waktu kita bener-bener butuh. Sekarang mereka dateng dan mau ngajak kita pindah? Setelah semua yang kita lalui sendirian?”
Wajah paman berubah tegang mendengar ucapan Yosan. “Yosan, jangan bicara kayak gitu. Kami ini keluarga. Kami selalu peduli sama kalian.”
Yosan tertawa kecil, tapi tidak ada kehangatan dalam tawanya. "Peduli? Dimana peduli kalian waktu Mama dan Papa meninggal? Kalian nggak pernah dateng, nggak pernah tanya kabar. Dan sekarang, tiba-tiba kalian muncul dan bilang kami harus ikut kalian? Kalian pikir kami apa? Barang yang bisa dipindah-pindahin semau kalian?"
Saka merasa panik melihat suasana yang semakin panas. Dia tahu Yosan marah, dan itu membuat situasi jadi jauh lebih buruk. “Yosan, cukup. Kita nggak usah berdebat soal ini.”
Tapi Yosan tidak berhenti. "Mereka dateng ke sini, terus bilang mereka peduli. Tapi nyatanya? Dimana mereka selama ini?"
Bibi, yang terlihat semakin tersinggung, mencoba menjelaskan. "Kami juga punya hidup, Yosan. Kami nggak bisa selalu ada di sini. Tapi itu bukan berarti kami nggak peduli."
Yosan menggeleng dengan mata yang berkilat marah. "Itu cuma alasan. Kalau kalian beneran peduli, kalian nggak perlu nunggu sampai sekarang buat dateng."
Rion, yang selama ini diam, tiba-tiba ikut bicara, suaranya rendah tapi penuh ketegasan. “Aku setuju sama Yosan. Kalian nggak perlu muncul sekarang dan pura-pura peduli. Kita udah cukup dewasa buat tahu mana yang tulus dan mana yang cuma basa-basi.”
Saka merasa seluruh tubuhnya tegang. Dia tidak ingin pertengkaran ini terus berlanjut, tapi dia juga tahu Yosan dan Rion tidak akan mendengarkan siapapun sekarang. Dengan suara pelan, dia mencoba mengakhiri perdebatan.
“Kami udah bahas ini sebelumnya. Kami nggak akan pindah dari sini. Ini rumah kami, dan kami akan tetap di sini,” kata Saka, suaranya tegas meski tenang.
Paman dan bibi saling berpandangan, seolah tidak percaya bahwa mereka benar-benar ditolak. Akhirnya, paman berbicara lagi. “Baik, kalau itu keputusan kalian. Tapi jangan salahkan kami kalau nanti kalian merasa kesulitan.”
Yosan memutar matanya dengan kesal. “Kami udah susah selama ini, Paman. Kami nggak perlu ada orang lain buat bikin hidup kami lebih susah lagi.”
Saka menatap Yosan dengan mata yang penuh peringatan, berharap adiknya bisa menahan diri. Tapi dia tahu bahwa Yosan sudah terlalu marah untuk mundur sekarang.
Akhirnya, bibi berdiri dengan wajah dingin. “Baiklah, kalau kalian merasa sudah bisa hidup sendiri. Tapi ingat, kami datang dengan niat baik. Jangan sampai kalian menyesal nanti.”
Saka hanya bisa mengangguk pelan, mencoba tetap sopan meski suasana hatinya kacau. "Terima kasih udah mampir. Kami hargai tawarannya."
Dengan sedikit huff, paman dan bibi serta saudara-saudaranya beranjak pergi. Suasana di rumah terasa jauh lebih tegang setelah mereka pergi, dan Saka bisa merasakan energi negatif yang tertinggal di antara mereka.
Setelah pintu tertutup, Yosan langsung melemparkan pensilnya ke meja dengan keras. “Gila, mereka pikir kita apaan? Barang yang bisa mereka pindahin sesuka hati?”
Rion duduk dengan wajah yang penuh kemarahan juga. “Aku bener-bener nggak habis pikir, Saka. Kenapa mereka tiba-tiba dateng kayak gini?”
Saka menghela napas panjang, merasa lelah dengan semua yang baru saja terjadi. “Mungkin mereka cuma khawatir. Tapi kamu juga bener, Yos. Mereka nggak ada waktu kita bener-bener butuh.”
Yosan berdiri dari kursinya, berjalan mondar-mandir dengan gelisah. “Khawatir? Mereka khawatir sama diri mereka sendiri. Mereka takut kita jadi beban buat mereka, makanya mereka pengen kita pindah.”
Saka menatap Yosan dengan lembut, meskipun dia tahu adiknya masih marah. "Kita nggak perlu mikirin itu sekarang. Yang penting, kita udah kasih tahu apa yang kita mau. Kita di sini, dan kita akan tetap di sini."
Yosan akhirnya duduk kembali, meskipun ekspresi wajahnya masih belum tenang. “Iya, tapi aku beneran capek sama semua omongan basa-basi mereka. Aku nggak mau mereka balik lagi.”
Saka tersenyum tipis, meski hatinya juga terasa berat. "Mereka mungkin nggak akan balik lagi setelah ini."
•
•
•
•
•
TBC
[💕TERIMAKASIH BAGI YANG SUDAH BERKENAN MEMBACA CERITA INI 💕]
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐃𝐢 𝐁𝐚𝐥𝐢𝐤 𝐏𝐢𝐧𝐭𝐮 𝐑𝐮𝐦𝐚𝐡
Teen Fiction[ON GOING] "Rumah bukan cuma sekedar bangunan, tapi tempat kita buat pulang. Tempat dimana kita bisa ngerasa aman, damai, tanpa takut apapun. Nggak peduli gimana kerasnya dunia di luar, selama kita bareng-bareng, semua bisa kita lewatin." - Saka • •...