6

56 14 1
                                    

[💕HAPPY READING 💕]
[✨Jangan lupa untuk berikan vote dan juga comment✨]

Siang itu, hujan rintik-rintik membasahi atap rumah mereka. Suasana di dalam rumah begitu tenang, hanya suara gemericik air hujan yang menemani pikiran Yosan yang berkecamuk. Dia duduk di sudut kamarnya, memandang keluar jendela, mengingat masa-masa yang telah lama hilang. Masa-masa di mana mereka semua masih lengkap—orang tuanya masih hidup, rumah mereka penuh dengan canda tawa, dan tak ada beban berat di pundaknya.

Yosan menghela napas panjang, menundukkan kepalanya. Ingatannya kembali ke masa kecil mereka, saat orang tua mereka selalu ada di sisinya, memberikan pelukan hangat dan dukungan tanpa henti. Tapi kenangan indah itu selalu berakhir dengan rasa sakit yang sama. Kenyataan bahwa orang tua mereka sudah tiada, dan Satya... Satya yang menurutnya menjadi penyebab semua ini.

Dalam keheningan itu, Satya tiba-tiba masuk ke kamar Yosan dengan langkah kecilnya. Anak bungsu itu masih polos dan lugu, tidak mengerti apa yang sesungguhnya ada di pikiran Yosan. Dia mendekat dengan hati-hati, membawa sebuah mainan di tangannya.

"Kak... bisa temenin aku main?" suara Satya terdengar lirih, hampir tidak terdengar di antara suara hujan yang mengguyur. Dia menatap Yosan dengan penuh harap, tanpa tahu apa yang sedang berkecamuk di hati kakaknya.

Yosan mendongak, menatap Satya dengan tatapan dingin. Ada sebersit rasa kasihan pada adiknya yang masih terlalu kecil untuk mengerti segalanya, tapi di sisi lain, kemarahan dan kebencian dalam dirinya tak bisa hilang begitu saja.

"Kamu... kenapa gak main sendiri aja?" Yosan akhirnya menjawab, suaranya datar, tanpa ekspresi.

Satya tampak kecewa mendengar jawaban itu, tapi dia tetap mencoba tersenyum kecil. "Aku cuma mau Kak Yosan temenin... biar gak sendirian."

Yosan memejamkan matanya sejenak, mencoba menahan gejolak emosinya. Dia tahu Satya tidak salah, anak itu bahkan mungkin tidak ingat kejadian tragis yang merenggut nyawa orang tua mereka. Tapi di dalam hati Yosan, rasa bersalah itu seakan selalu dia timpakan pada adiknya.

"Satya..." suara Yosan terdengar lebih keras dari yang ia maksudkan. Dia membuka matanya dan menatap Satya tajam. "Kamu tau gak... kalau Mama sama Papa gak pergi buat jemput kamu waktu itu, mereka masih ada di sini. Kamu ngerti gak itu?"

Satya terdiam, wajahnya memucat. Dia tidak pernah mendengar Yosan berbicara seperti ini sebelumnya, apalagi dengan nada yang penuh dengan amarah. Matanya mulai berair, tapi dia tidak tahu harus menjawab apa. Dalam benaknya, Satya tahu bahwa ada sesuatu yang salah, tapi dia tidak mengerti kenapa kakaknya marah padanya.

"Ka... Kak Yosan, aku... aku gak..." Satya mulai terisak, matanya berkaca-kaca. "Aku gak bermaksud..."

Yosan mengangkat tangannya, menghentikan kata-kata Satya. "Kamu gak bermaksud, iya. Kamu gak ngerti. Tapi tiap kali aku liat kamu, aku inget mereka. Kamu ngerti gak betapa sakitnya itu?"

Satya mulai menangis, air matanya mengalir deras di pipinya. "Kak... aku gak mau Mama sama Papa pergi... Aku sayang sama mereka... aku sayang sama Kakak juga..."

Tangisan Satya yang pecah membuat hati Yosan bergejolak. Ada bagian dalam dirinya yang merasa bersalah karena mengatakan hal-hal kasar seperti itu pada adiknya yang tidak bersalah. Tapi di sisi lain, dia tidak bisa menahan rasa benci yang terus tumbuh dalam dirinya.

"Kalau kamu sayang sama mereka... kenapa mereka harus pergi gara-gara kamu?" Yosan berucap pelan, tapi setiap kata terasa seperti pisau yang menusuk.

Satya semakin menangis, tubuhnya gemetar. "Aku... aku gak mau Kak... aku gak mau mereka pergi..."

Yosan berdiri dari duduknya, mengarahkan tatapannya keluar jendela, mencoba menghindari melihat wajah adiknya yang penuh dengan air mata. Dia tahu apa yang dia katakan sangat kejam, tapi rasa sakit dan dendam dalam dirinya tak bisa ia bendung.

"Pergi, Ta," Yosan berkata akhirnya. "Aku gak bisa liat kamu sekarang."

Satya yang masih menangis pelan-pelan mundur, meninggalkan kamar kakaknya. Tangisannya yang tertahan terdengar semakin jauh, hingga akhirnya hening kembali menyelimuti ruangan itu. Yosan memejamkan matanya, dadanya terasa sesak.

Kenapa harus begini? Kenapa harus ada perasaan benci ini? Dia tahu, jauh di dalam hatinya, dia tidak ingin menyalahkan Satya. Anak itu tidak pernah meminta untuk dilahirkan, tidak pernah meminta untuk menjadi penyebab kepergian orang tua mereka. Tapi rasa kehilangan itu terlalu besar, dan entah bagaimana, Yosan selalu merasa Satya adalah pengingat dari segala penderitaan yang ia rasakan sejak kecelakaan itu terjadi.

Yosan berjalan menuju ranjangnya, duduk dan memandang foto lama yang tergantung di dinding kamarnya—foto keluarga mereka saat semuanya masih lengkap. Wajah orang tua mereka tersenyum, dan Yosan yang masih kecil berada di tengah, digandeng oleh ayah dan ibunya. Di sebelah mereka, Saka dan Rion berdiri dengan senyuman bangga, sementara Satya, yang masih bayi saat itu, digendong oleh ibunya.

Air mata yang selama ini ia tahan perlahan mengalir. Yosan menatap foto itu dengan penuh kerinduan. Ia merindukan mereka. Merindukan canda tawa keluarga yang tak akan pernah kembali. Tapi setiap kali ia mencoba mengingat kenangan itu, bayangan kecelakaan yang merenggut nyawa mereka selalu muncul, bersama dengan rasa bersalah yang ia timpakan pada Satya.

"Kamu harusnya gak salah, Sat..." gumam Yosan pelan, suaranya hampir tak terdengar. "Tapi aku... aku gak bisa lupain semuanya..."

Di luar kamar, Satya duduk di tangga, menangis sendirian. Tangisannya terisak-isak, suaranya lirih. Dia tidak mengerti mengapa Yosan membencinya begitu dalam. Dia hanya tahu bahwa setiap kali Yosan melihatnya, kakaknya itu selalu menjadi marah. Padahal, Satya hanya ingin dekat dengan kakaknya, ingin merasakan kehangatan keluarga yang kini terasa hilang.

"Kak Yosan... aku sayang Kakak..." isak Satya pelan.

Saka yang baru saja pulang dari luar, melihat Satya menangis di tangga. Dia mendekat, berjongkok di samping adik bungsunya, lalu mengusap punggungnya dengan lembut.

"Satya, kenapa kamu nangis?" tanya Saka dengan suara penuh kekhawatiran.

Satya mengusap air matanya dengan punggung tangan. "Kak... Kak Yosan... dia marah..."

Saka terdiam sejenak, matanya melihat ke arah kamar Yosan yang tertutup rapat. Ia sudah sering melihat pertengkaran kecil antara Yosan dan Satya, tapi kali ini sepertinya lebih dari sekadar masalah sepele.

"Kak Yosan gak marah sama kamu, Sat... dia cuma lagi banyak pikiran," kata Saka akhirnya, mencoba menenangkan Satya.

"Tapi... tapi Kak Yosan selalu marah kalau liat aku... dia bilang... dia bilang Mama sama Papa pergi gara-gara aku..." suara Satya semakin lirih, matanya penuh dengan air mata.

Hati Saka terasa remuk mendengar itu. Dia tahu Yosan menyimpan banyak kemarahan dan kesedihan sejak kematian orang tua mereka, tapi dia tidak pernah menyangka bahwa adiknya akan meluapkannya kepada Satya. "Satya, kamu gak salah... itu bukan salah kamu. Kamu gak boleh mikir kayak gitu."

Satya hanya diam, masih terisak dalam tangisannya. Saka menghela napas panjang, lalu memeluk adiknya dengan erat, mencoba memberikan rasa aman yang selama ini hilang.

"Kita semua kehilangan, Sat... tapi kamu gak boleh ngerasa bersalah. Kakak ada di sini buat kamu, kita semua ada buat kamu," bisik Saka lembut, mencoba menenangkan hati kecil Satya yang hancur.

Dalam pelukan Saka, Satya mencoba menenangkan dirinya, tapi rasa bersalah itu masih terus menghantuinya. Dia hanya anak kecil yang tidak mengerti, tetapi rasa sakit dan kesedihan yang ia rasakan seakan tidak pernah mau pergi.

Sementara itu, di dalam kamarnya, Yosan menatap foto keluarganya sekali lagi. Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya tumpah.

TBC

[💕TERIMAKASIH BAGI YANG SUDAH BERKENAN MEMBACA CERITA INI 💕]

𝐃𝐢 𝐁𝐚𝐥𝐢𝐤 𝐏𝐢𝐧𝐭𝐮 𝐑𝐮𝐦𝐚𝐡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang