10

41 9 0
                                    

[💕HAPPY READING 💕]
[✨Jangan lupa untuk berikan vote dan juga comment✨]

Yosan menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Namun, begitu mereka sampai di rumah, amarah yang dia tahan sepanjang perjalanan langsung meledak. Belum sempat mobil diparkir dengan benar di halaman rumah, Yosan sudah membuka pintu dan menyeret Satya keluar dari mobil dengan kasar.

“Kamu ini kenapa sih selalu bikin masalah?!” bentak Yosan, menarik tangan adiknya dengan kekuatan penuh. “Aku capek, Satya! Capek ngurusin kamu yang selalu bikin kita khawatir! Kamu itu udah besar, Satya, bukan anak kecil lagi!”

Satya yang tampak bingung hanya bisa mengikuti langkah kakaknya. Dia merasa berat di hati karena tahu semua ini gara-gara dirinya lagi, tapi dia tidak tahu harus bagaimana.

“Maaf, Kak...” bisik Satya, suaranya nyaris tak terdengar.

Namun, Yosan terlalu marah untuk mendengar. Dia terus menarik Satya sampai ke kamar. Begitu mereka masuk, pintu langsung dibanting dengan keras, hingga membuat suara dentuman yang menggema di rumah.

“Dengar, Satya!” Yosan berteriak, wajahnya merah padam. “Aku nggak tahu harus gimana lagi ngomong sama kamu! Kamu terus-terusan bikin kita semua khawatir! Kita ini semua udah capek, Satya! Kamu ngerti nggak?!”

Satya mundur selangkah, menatap kakaknya dengan mata berkaca-kaca. “Aku... aku nggak bermaksud, Kak... Aku beneran nggak mau bikin kalian susah...”

“Bilang nggak mau, tapi kamu terus aja ngelakuin hal yang bikin masalah!” balas Yosan dengan tajam. “Kamu pikir gampang ya hidup kayak gini? Kamu pikir kita bisa selamanya sabar ngurus kamu?”

“Kak...” Satya merespon dengan suara gemetar, tangannya menggenggam ujung bajunya. “Aku nggak mau kalian ngerasa terbebani karena aku... Aku mau bantu kalian..”

“Bantu?!” Yosan tertawa sinis, matanya melotot. “Bantu apa, Satya?! Kamu cuma bikin semuanya tambah rumit! Kamu bikin Rion stres, Jevan bingung, aku... aku nggak tahu harus ngapain lagi buat kamu!”

Satya menundukkan kepalanya. Dia tahu kakaknya marah besar, tapi dia tidak tahu bagaimana caranya untuk membuat semuanya lebih baik. Air mata mulai menggenang di sudut matanya, namun dia menahannya. Dia tidak mau terlihat lemah di depan Yosan, meskipun hatinya hancur mendengar semua itu.

“Kak, aku beneran nggak bermaksud... Aku janji... bakal lebih baik...” kata Satya dengan suara serak. “Aku cuma mau kalian bahagia…”

“Bahagia?! Bahagia?!” Yosan mengulang kata itu dengan amarah membuncah. “Apa kamu ngerti arti bahagia? Kamu pikir kita bisa bahagia kalau kamu terus-terusan bikin masalah?! Kamu pikir aku nggak capek ngurusin semua ini? Aku juga punya perasaan, Satya! Aku capek harus jadi kakak yang selalu ngelurusin semua masalahmu!”

“Kak...” Satya mulai menangis, air matanya akhirnya jatuh. “Aku... aku nggak mau bikin Kakak marah... Aku cuma... cuma mau kalian nggak sedih lagi...”

“Aku marah karena kamu nggak ngerti-ngerti, Satya! Aku udah bilang berkali-kali, berhenti bikin masalah! Tapi kamu nggak pernah denger!” Yosan berjalan mendekat, berdiri di depan Satya dengan tubuh bergetar oleh emosi.

“Kak...” Satya mencoba untuk mengatakan sesuatu, namun tiba-tiba dia merasa pusing. Kepalanya terasa berat, pandangannya mulai kabur.

Yosan yang sedang dalam keadaan marah tidak menyadari perubahan itu. “Dengar, Satya! Kalau kamu terus begini, aku nggak tahu lagi harus gimana ngurus kamu! Aku mungkin nggak bisa...”

Tiba-tiba, Satya terhuyung-huyung, lalu tubuhnya ambruk ke lantai. Yosan terdiam sejenak, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Dia melongo, melihat adiknya terbaring di lantai dengan darah mulai mengalir dari hidungnya.

“Satya?!” Yosan berteriak, panik. Dia berlutut di samping adiknya dan mengguncang tubuh kecil itu. “Satya! Bangun! Kamu kenapa?!”

Tidak ada respons. Satya tetap tidak sadarkan diri, darah terus mengalir dari hidungnya, membasahi karpet. Yosan mulai gemetar. Semua amarah yang tadi membakar dadanya seketika sirna, digantikan dengan rasa takut yang mendalam.

“Satya! Tolong, bangun!” Yosan mengguncang tubuh adiknya dengan lebih keras, suaranya bergetar. “Jangan begini... Tolong, bangun, Satya! Aku... aku nggak bermaksud ngomong kayak tadi! Aku marah, aku hilang kendali, tapi aku nggak beneran maksud...”

Namun, tubuh Satya tetap tak bergerak. Yosan mulai panik, pikirannya berputar-putar dengan cepat. Dia harus melakukan sesuatu. Dia harus menyelamatkan Satya. Tapi bagaimana? Dia tidak bisa membiarkan saudara-saudaranya tahu kalau dia yang menyebabkan ini. Mereka tidak akan pernah memaafkannya.

Dengan susah payah, Yosan mengangkat tubuh Satya yang lemas dan membaringkannya di tempat tidur. Dia membersihkan darah yang masih mengalir dengan lengan bajunya, lalu menutup hidung Satya dengan tisu yang ada di meja. Tangannya gemetar saat dia melakukan semua itu, dan pikirannya dipenuhi rasa takut.

“Satya... tolong... jangan kayak gini...” Yosan berbisik, air mata mulai menetes dari matanya. “Aku bener-bener nggak tahu harus gimana kalau kamu kenapa-kenapa...”

Dia berdiri sejenak, menatap wajah adiknya yang pucat. Nafas Satya terdengar pelan, nyaris tidak ada. Yosan merasa seluruh dunianya hancur. Semua kata-kata yang dia ucapkan tadi terasa sangat salah sekarang. Dia tidak seharusnya marah. Dia seharusnya lebih sabar, lebih mengerti. Tapi sekarang, dia takut semuanya sudah terlambat.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat. Rion muncul di ambang pintu, terlihat khawatir. “Yos, kamu kenapa teriak-teriak tadi? Ada apa sama Satya?”

Yosan segera berbalik, berusaha terlihat tenang. “Nggak... nggak ada apa-apa, Rion,” jawabnya gugup. “Satya cuma... dia capek, jadi aku suruh dia istirahat.”

Rion melangkah masuk ke kamar, menatap Satya yang terbaring diam di kasur. “Capek? Tapi kenapa dia kelihatan pucat banget?”

Yosan merasakan detak jantungnya semakin cepat. “Dia... dia cuma kecapekan. Mungkin karena tadi dia agak stres...”

Rion menatap Yosan dengan curiga, tapi dia tidak berkata apa-apa. “Oke... tapi kalau dia nggak bangun-bangun, kita harus bawa dia ke dokter. Aku nggak mau ngambil risiko.”

Yosan mengangguk cepat. “Iya, iya. Nanti aku liat dulu. Kalau besok dia masih kayak gini, kita bawa dia ke dokter.”

Rion mendekati Satya, menunduk sejenak untuk memeriksa wajah adiknya. “Tapi serius, Yos... Dia kelihatan nggak baik-baik aja.”

Yosan menelan ludah, hatinya semakin berat. Dia tidak bisa membiarkan Rion tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Aku bakal jaga dia malam ini, oke? Kamu... kamu nggak usah khawatir. Kalau ada apa-apa, aku langsung panggil kamu.”

Rion menatap Yosan dalam-dalam, seolah mencoba mencari kebohongan di matanya. Tapi akhirnya, dia menghela napas dan mengangguk. “Oke... tapi kalau ada apa-apa, jangan ragu buat bilang, Yos.”

Setelah Rion pergi, Yosan menutup pintu dengan pelan. Dia kembali ke sisi Satya, duduk di tepi tempat tidur. “Satya... aku nggak tahu lagi harus gimana... Aku beneran takut kamu kenapa-kenapa...”

Dia menggenggam tangan Satya, merasakan betapa dinginnya tangan itu. “Aku nggak bisa kehilangan kamu, Satya... Aku nggak bisa...” bisiknya, suaranya parau oleh rasa bersalah yang menghantui.

Air mata Yosan jatuh tak terbendung, menetes ke tangan Satya yang terkulai lemas.

TBC

[💕TERIMAKASIH BAGI YANG SUDAH BERKENAN MEMBACA CERITA INI 💕]

𝐃𝐢 𝐁𝐚𝐥𝐢𝐤 𝐏𝐢𝐧𝐭𝐮 𝐑𝐮𝐦𝐚𝐡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang