17

32 9 0
                                    

[💕HAPPY READING 💕]
[✨Jangan lupa untuk berikan vote dan juga comment✨]

Satya berjalan perlahan menuju kamar Saka, memikirkan apa yang harus ia katakan. Kejadian tadi siang saat bertemu dengan paman dan bibi terus berputar di kepalanya, membuatnya bingung. Paman dan bibi terus-menerus membujuknya untuk pindah dari rumah, dan itu membuat hatinya tidak tenang. Saka selalu bilang kalau semuanya akan baik-baik saja selama mereka bersama, tapi sekarang Satya mulai meragukan hal itu. Mungkin... mungkin memang ada baiknya dia pergi, setidaknya sementara, seperti yang dikatakan paman.

Satya sampai di depan pintu kamar Saka, mengetuk perlahan. "Kak... Kak Saka?"

Tidak ada jawaban. Satya menggigit bibirnya, mencoba lagi. "Kak Saka, aku mau ngomong..."

Terdengar suara langkah berat dari dalam kamar, kemudian pintu terbuka dengan keras. Di hadapannya, Saka berdiri dengan wajah tegang dan mata merah. Ada sesuatu yang berbeda dari kakaknya. Sesuatu yang membuat Satya mundur sedikit.

"Ada apa, Satya?" suara Saka terdengar datar, tapi jelas ada nada marah yang tak bisa ia sembunyikan.

Satya menelan ludah, berusaha mengumpulkan keberaniannya. "Aku... tadi aku ketemu Paman sama Bibi..."

Saka langsung menyela, suaranya naik satu oktaf. "Paman sama Bibi lagi? Mereka mau apa sekarang?"

Satya terkejut dengan reaksi Saka yang begitu cepat. "Mereka... mereka ngajak aku buat pindah ke rumah mereka, Kak."

Saka menatap adiknya dengan mata yang semakin tajam. "Pindah? Maksud kamu apa? Kamu mau ninggalin kita?"

Satya menggeleng cepat, merasa semakin terpojok. "Enggak, Kak! Aku nggak bilang aku mau. Aku cuma... mereka bilang aku harus mikirin masa depan aku."

"Masa depan kamu? Dan menurut kamu, masa depan kamu ada sama mereka? Di rumah mereka?" Saka melangkah maju, menatap Satya dengan mata yang menyala. "Satya, dengerin aku baik-baik. Mereka cuma mau kontrol kita. Mereka nggak peduli sama kita. Mereka cuma mau kita di bawah kendali mereka."

Satya merasa napasnya semakin pendek. "Tapi... mereka bilang mereka cuma pengen yang terbaik buat aku. Mereka bilang aku terlalu kecil buat ngurus diri sendiri di sini."

Saka mencibir dengan kasar. "Terlalu kecil? Kamu udah 10 tahun, Satya! Kita semua di sini udah cukup dewasa buat ngurusin hidup kita sendiri. Kita nggak butuh mereka."

"Aku tahu, Kak, tapi—"

"Tapi apa, Satya? Kamu pikir mereka lebih baik dari kita? Kamu pikir aku nggak cukup buat ngurusin kamu?!" Suara Saka semakin keras, nadanya penuh kemarahan yang selama ini mungkin terpendam. "Apa kamu pikir aku ini gagal jadi kakak?"

Satya mundur selangkah, bingung harus berkata apa. "Enggak, Kak! Aku nggak bilang begitu! Aku cuma... aku cuma bingung. Aku nggak tahu harus gimana nanggepinnya."

Saka tertawa kecil, "Bingung? Kamu bingung, Satya? Aku yang kerja keras siang malam buat jaga kalian, dan sekarang kamu bilang kamu bingung?!"

Satya menunduk, suaranya semakin pelan. "Aku nggak maksud begitu, Kak..."

"Nggak bermaksud?" Saka tiba-tiba meledak, suaranya menggelegar di dalam rumah yang sepi. "Nggak ada yang baik-baik aja disini, Satya! Aku baru aja dipecat hari ini. Kamu tahu artinya itu? Aku nggak punya kerjaan lagi! Kita nggak punya uang buat bayar tagihan, buat makan, buat apapun!"

Satya terkejut mendengar berita itu. "Dipecat? Kenapa, Kak?"

Saka menghela napas kasar, suaranya penuh kemarahan dan frustrasi. "Kenapa? Karena bosku bilang aku nggak bisa fokus kerja. Dia bilang aku terlalu banyak masalah di rumah, makanya aku nggak bisa kerja dengan baik. Dan sekarang kamu datang dengan cerita Paman dan Bibi yang mau kamu pindah? Kamu serius, Satya?!"

"Aku... aku cuma mau kasih tahu, Kak. Aku nggak mau ninggalin kalian, aku janji!" Satya mulai menangis, air matanya mengalir tanpa bisa ditahan lagi.

Tapi Saka sudah terlalu dikuasai emosi. "Kamu nggak ngerti, Satya! Kamu nggak ngerti gimana susahnya ngurus kalian semua! Kamu nggak ngerti gimana beratnya beban ini!" Dan dalam sekejap, tanpa sadar, tangan Saka melayang ke wajah Satya.

Plak!

Suara tamparan itu bergema di seluruh ruangan. Satya terdiam, terkejut. Matanya melebar, dan pipinya langsung terasa panas dan berdenyut. Dia memegangi pipinya yang memerah, sementara air matanya semakin deras mengalir. Ini adalah pertama kalinya Saka main tangan. Kakaknya yang selama ini selalu menjadi pelindung, sekarang menamparnya.

Saka juga tampak terkejut. Tangannya masih terangkat di udara, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan. Perlahan, tangannya turun, dan wajahnya berubah dari marah menjadi penuh penyesalan.

"Satya... aku..."

Satya mundur selangkah, tubuhnya gemetar. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Tamparan itu bukan hanya sakit secara fisik, tapi juga secara emosional. Kakaknya, orang yang selalu ia percaya, sekarang telah memukulnya.

"Aku... aku nggak maksud..." Saka mencoba mendekat, tapi Satya mundur lagi, lebih jauh kali ini.

"Jangan, Kak..." Satya berbisik, suaranya hampir tak terdengar. "Jangan deket-deket aku..."

Saka terlihat semakin bingung dan panik. "Satya, aku... maaf Satya..."

Tapi Satya tidak mendengar penjelasannya. Pikirannya kacau. Yang dia tahu hanyalah bahwa kakaknya telah memukulnya, dan itu cukup untuk membuatnya merasa hancur. Tanpa berkata apa-apa lagi, Satya berlari keluar dari kamar, meninggalkan Saka sendirian dengan rasa bersalah yang mendalam.

Saka terdiam, menatap pintu yang kini tertutup. Napasnya berat, dan perasaan bersalah mulai menguasai hatinya. Dia tahu dia sudah keterlaluan. Dia tahu dia seharusnya tidak melepaskan amarahnya pada Satya, apalagi memukul adiknya sendiri.

Saka mengusap wajahnya dengan tangan, frustrasi dengan dirinya sendiri. "Apa yang baru aja aku lakuin...?" gumamnya pelan.

Sementara itu, Satya berlari menuju kamarnya, air mata terus mengalir di wajahnya. Dia tidak tahu harus bagaimana menghadapi perasaan ini. Kakaknya, orang yang selama ini menjadi sandaran hidupnya, sekarang telah menyakitinya. Bukan hanya secara fisik, tapi juga secara emosional.

Di dalam kamarnya, Satya menutup pintu dan mengunci dirinya di dalam. Dia terduduk di lantai, memeluk lututnya erat-erat. Tangisnya semakin menjadi-jadi, dan dia merasa seolah seluruh dunia sedang runtuh di sekitarnya.

Saka mungkin marah karena kehilangan pekerjaannya, tapi itu tidak mengubah fakta bahwa dia telah memukul Satya. Dan Satya merasa hancur karenanya.

Di sisi lain, Saka duduk di tempat tidurnya, memandang kosong ke arah lantai. Perasaan bersalah yang menyelimutinya begitu berat. Dia tahu bahwa apa yang dia lakukan barusan tidak bisa dimaafkan begitu saja. Dia telah melanggar batas.

"Apa yang  udah aku lakuin...?" gumamnya lagi, kali ini dengan air mata yang mulai menggenang di matanya. Dia tidak pernah ingin menyakiti adiknya. Tapi tekanan hidup, kehilangan pekerjaan, dan beban yang harus ia pikul sendirian membuatnya kehilangan kontrol.

Saka mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri, tapi itu sia-sia. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa dia harus meminta maaf pada Satya. Tapi bagaimana? Bagaimana dia bisa memperbaiki apa yang sudah terjadi?

Dia bangkit dari tempat tidurnya, berjalan pelan menuju pintu. Mungkin dia harus bicara dengan Satya, tapi tidak sekarang. Satya butuh waktu. Dan dia... dia juga butuh waktu untuk menenangkan diri.

Saka berdiri di depan pintu kamar Satya, mendengarkan suara isakan kecil yang terdengar dari dalam. Hatinya semakin hancur.

"Maaf, Satya..." bisiknya pelan, meski dia tahu bahwa adiknya mungkin tidak akan mendengar.

TBC

[💕TERIMAKASIH BAGI YANG SUDAH BERKENAN MEMBACA CERITA INI 💕]

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 4 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

𝐃𝐢 𝐁𝐚𝐥𝐢𝐤 𝐏𝐢𝐧𝐭𝐮 𝐑𝐮𝐦𝐚𝐡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang