[💕HAPPY READING 💕]
[✨Jangan lupa untuk berikan vote dan juga comment✨]Saka bangun dengan perasaan gelisah. Dia merasa ada yang aneh sejak kemarin, terutama setelah Satya tidak ikut makan malam. Saka sudah berusaha untuk tidak berpikir buruk, tetapi ketika dia mengingat wajah Satya yang pucat dan lemas semalam, hatinya tak bisa tenang.
“Duh, aku harus cek Satya,” gumamnya sambil menggosok matanya yang masih mengantuk. Dia mengenakan kausnya, lalu berjalan ke arah kamar Satya. Ketika sampai di depan pintu, dia mengetuk pintu pelan. “Satya, kamu udah bangun belum?”
Tak ada jawaban. Saka menelan ludah, mulai merasa cemas. “Satya, ayo bangun! Kita harus makan pagi.”
Masih hening. Saka menggerakkan pegangan pintu dan menemukan pintunya tidak terkunci. Dia sedikit mendorong pintu dan melangkah masuk. Suasana di dalam kamar terasa gelap dan sepi, hanya suara napas Satya yang terdengar pelan. Saka mendekat, dan jantungnya berdegup kencang melihat adiknya terbaring di kasur.
“Satya...” Saka berbisik, mendekat. Dia menyentuh dahi Satya dengan telapak tangan. “Ya Tuhan, dia demam!” pikirnya, terkejut. Dahi Satya terasa panas seperti bara api. “Satya, bangun! Kakak di sini.”
Saka mengguncang bahu Satya lembut, mencoba membangunkannya. “Satya, ayo bangun. Kita harus ke dokter,” ucapnya panik. “Kakak takut, Satya! Tolong bangun!”
Satya tidak merespons. Dalam tidurnya, dia hanya mengeluarkan suara samar, menyebut “Mama... Papa...” dengan nada yang penuh kesedihan. Melihat itu, Saka merasa hatinya hancur. “Astaga, dia lagi ingat mama papa,” bisiknya.
Saka mengambil napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya sendiri. “Oke, Saka. Kamu harus tenang. Ini saatnya kamu jadi kakak yang baik,” katanya pada dirinya sendiri. Dia mengambil handuk dari dekat tempat tidur dan membasuhnya dengan air dingin. “Semoga ini bisa membantu.”
Dia meletakkan handuk dingin itu di dahi Satya, berharap bisa meredakan demamnya. “Satya, kamu harus bangun. Kakak di sini. Kamu nggak sendirian. Ingat, kita masih punya satu sama lain,” ucapnya lembut, berusaha menenangkan hati adiknya yang terbaring.
“Satya. Aku butuh kamu bangun, ya. Kakak janji, kita akan cari cara buat bikin semuanya baik-baik lagi,” lanjut Saka, suaranya mulai bergetar. “Kamu nggak boleh pergi. Kita semua masih butuh kamu.”
Tetapi Satya tetap terdiam, bibirnya bergetar saat dia memanggil “Mama... Papa...” lagi, membuat air mata Saka menetes. “Aduh, Satya...” Dia meremas tangan Satya, merasa putus asa. “Kakak janji, kita akan cari cara buat bikin kamu merasa lebih baik. Kakak nggak akan biarin kamu sendirian.”
Ketika Saka berusaha mengelap peluh dari dahi Satya, pintu kamar terbuka. Yosan muncul dengan wajah cemas, matanya melebar saat melihat situasi. “Kak, kenapa ini? Kenapa Satya belum bangun?” tanyanya, suaranya sedikit bergetar.
“Dia demam tinggi, Yos! Aku nggak tahu harus gimana,” jawab Saka, tidak bisa menyembunyikan kepanikan di suaranya. “Dia terus-terusan manggil Mama dan Papa... Aku takut dia kenapa-kenapa.”
Yosan mendekat, dan ketika dia melihat keadaan Satya, hatinya langsung mencelos. “Ya Tuhan, Satya!” Dia berlutut di samping tempat tidur, meletakkan telapak tangan di dahi Satya dan merasakan panasnya. “Kita harus bawa dia ke dokter! Ini nggak bisa dibiarin!”
“Tapi bagaimana? Kita harus bilang sama siapa? Rion, Jevan, dan Rio?” Saka bertanya, merasakan ketidakberdayaan yang mendalam.
“Tenang, Kak. Kita harus cari cara,” Yosan berusaha menenangkan. “Aku panggil kak Rion, biar dia bantu kita. Kita butuh mobil buat bawa Satya ke dokter.”
Saka mengangguk, tetapi rasa takut di dalam hatinya terus mengganggu. “Tapi kalau dia nggak bangun, Yos? Gimana kalau dia...”
“Jangan ngomong gitu!” Yosan memotong, nada suaranya tegas. “Satya nggak boleh pergi. Kita semua harus berjuang buat dia, oke? Dia butuh kita sekarang!”
Saka menghela napas, berusaha mengumpulkan keberanian. “Oke, aku percaya sama kamu.” Dia kembali memegang tangan Satya, menggenggamnya erat.
Yosan cepat-cepat keluar untuk memanggil Rion, sementara Saka tetap di samping Satya. “Sat, tolong... bangun... Kakak ada di sini,” ucapnya lembut. “Aku nggak mau kehilangan kamu. Kamu harus kuat, Satya. Kamu harus berjuang.”
Tak lama kemudian, Rion muncul dengan wajah cemas. “Yos, kenapa kamu teriak? Apa yang terjadi sama Satya?” tanyanya, tampak khawatir.
“Dia demam tinggi. Dia nggak bangun-bangun. Kita harus bawa dia ke dokter,” Yosan menjelaskan cepat.
Rion melihat Satya yang terbaring lemas di tempat tidur. “Kita harus cepat. Ayo, kita bawa dia!” Dia berlari menuju pintu, kemudian melihat kembali ke arah Saka dan Yosan. “Kalian siap? Kita harus bawa dia ke mobil sekarang juga.”
Saka mengangguk, meskipun dia merasa sangat cemas. Mereka berdua berusaha mengangkat Satya dengan hati-hati. “Jangan sampe dia jatuh, hati-hati!” Rion mengingatkan, membantu mengangkat tubuh Satya.
Setelah berhasil mengangkatnya, mereka bergegas ke mobil. Rion dan Yosan duduk di kursi belakang bersama Satya, sementara Saka mengemudikan mobil dengan cepat. “Kita harus ke rumah sakit secepatnya!” seru Rion.
Di belakang, Yosan terus memegang tangan Satya, sambil berbisik, “Satya, kita di sini. Kamu nggak sendirian. Kita akan bawa kamu ke dokter, oke? Kamu harus bangun, Satya. Kakak butuh kamu.”
Saka melirik ke belakang, melihat wajah Satya yang masih pucat dan demam. “Aku takut, Yos. Apa dia akan baik-baik saja?” tanyanya dengan suara bergetar.
“Dia akan baik-baik saja,” jawab Yosan, berusaha meyakinkan. “Kita semua akan berjuang untuk dia. Dia perlu tahu kita ada untuknya.”
Di tengah perjalanan, Satya mulai menggigil, membuat Yosan semakin panik. “Kak, dia menggigil! Kenapa dia menggigil?” tanyanya dengan nada cemas.
“Satya! Ayo, bangun! Satya!” Yosan mengguncang tubuh adiknya lembut, harapannya mulai menipis. “Kamu harus bangun! Tolong, bangun!”
“Satya, tolong! Kita di sini untukmu!” seru Rion, menatap adiknya dengan penuh harapan. “Kita sudah hampir sampai. Kamu nggak boleh menyerah!”
•
•
•
•
•
TBC
[💕TERIMAKASIH BAGI YANG SUDAH BERKENAN MEMBACA CERITA INI 💕]
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐃𝐢 𝐁𝐚𝐥𝐢𝐤 𝐏𝐢𝐧𝐭𝐮 𝐑𝐮𝐦𝐚𝐡
Teen Fiction[ON GOING] "Rumah bukan cuma sekedar bangunan, tapi tempat kita buat pulang. Tempat dimana kita bisa ngerasa aman, damai, tanpa takut apapun. Nggak peduli gimana kerasnya dunia di luar, selama kita bareng-bareng, semua bisa kita lewatin." - Saka • •...