5

58 15 0
                                    

[💕HAPPY READING 💕]
[✨Jangan lupa untuk berikan vote dan juga comment✨]

Hari itu, langit di luar terlihat cerah, tetapi di dalam hati Saka, segalanya terasa berat. Pikirannya penuh dengan tanggung jawab yang selama ini ia pendam.

Setelah lulus SMA beberapa minggu yang lalu, ia tahu bahwa kehidupannya akan berubah. Dia bukan lagi sekadar kakak yang membantu mengurus adik-adiknya, sekarang ia adalah satu-satunya orang yang bertanggung jawab penuh untuk mereka. Sebagai anak tertua, dia merasa harus mengambil alih peran orang tua mereka yang sudah tiada.

Di rumah kecil yang mereka tinggali bersama, suasana pagi itu sunyi. Rion dan Yosan masih tidur, sementara Jevan dan Rio sudah berangkat sekolah lebih awal. Satya, si bungsu kini tengah duduk di ruang tamu sambil bermain dengan mainan lamanya.

Saka duduk di meja makan yang penuh dengan berkas-berkas lamaran kerja yang ia cetak semalam. Matanya lelah, kantung mata yang terlihat jelas menandakan bahwa dia hampir tidak tidur semalaman. Pikiran tentang bagaimana dia harus menafkahi adik-adiknya terus menghantui.

"Kak, lagi ngapain?" suara kecil Satya tiba-tiba terdengar, memecah keheningan pagi itu. Bocah 10 tahun itu mendekat ke meja makan dengan wajah polosnya.

Saka tersentak, sejenak melupakan lamunannya. "Oh, kamu udah bangun, Sat?"

"Iya, Kak. Aku lapar," jawab Satya pelan, tangannya menarik ujung kaos kakaknya.

Saka tersenyum kecil, menyingkirkan berkas-berkas lamaran pekerjaan itu untuk sementara. Dia lalu berdiri dan mengajak Satya menuju dapur. "Mau makan apa pagi ini? Kita bikin roti bakar aja, gimana?"

Satya mengangguk pelan. “Iya, Kak. Roti bakar boleh.”

Saka mulai menyiapkan bahan-bahan di dapur, sementara Satya duduk di kursi dapur, memandangi kakaknya yang sibuk. Di usia yang masih kecil, Satya mungkin tidak sepenuhnya paham apa yang sedang terjadi di dalam kepala Saka. Tapi Satya bisa merasakan beban yang Saka pikul semakin lama semakin menumpuk.

Setelah roti bakar siap, Saka meletakkannya di piring di depan Satya. “Nih, makan yang banyak, ya. Biar kuat.”

Satya tersenyum kecil, memakan rotinya dengan perlahan. "Kak, kenapa Kak Saka kelihatan capek?"

Pertanyaan itu membuat Saka terdiam sejenak. Ia menarik kursi dan duduk di sebelah Satya. "Aku gak capek, Sat. Aku cuma lagi banyak pikiran."

Satya menoleh, memandang kakaknya dengan mata polosnya. "Apa yang Kakak pikirin?"

Saka menghela napas panjang. Dia tahu Satya terlalu kecil untuk memahami semua ini, tapi dia juga tidak bisa menutupinya selamanya. “Aku lagi cari kerja, Sat. Biar kita bisa punya uang buat makan, buat sekolah kalian.”

“Kerja? Emang kenapa, Kak? Bukannya Kak Saka baru lulus sekolah?” Satya mengernyit bingung.

“Iya, bener. Tapi sekarang aku harus cari uang, Sat. Kita gak bisa terus-terusan bergantung sama uang tabungan Mama sama Papa dulu. Lagipula, aku yang paling tua sekarang, jadi aku yang harus tanggung jawab buat semuanya.”

Satya terdiam mendengar itu. Ia tidak benar-benar mengerti, tetapi bisa merasakan sesuatu yang berat dalam kata-kata Saka. "Kak, aku juga bisa bantu nanti. Aku janji, kalau udah gede, aku bakal bantu Kakak."

Saka tersenyum kecil, lalu mengusap kepala Satya dengan lembut. “Kamu gak usah mikirin itu. Kamu fokus aja sekolah sama jadi anak baik. Biar aku yang urusin semua ini.”

Satya masih belum puas dengan jawaban kakaknya. “Tapi, Kak... kalau Kak Saka capek, aku bisa bantu sedikit-sedikit. Aku gak mau Kakak susah sendirian.”

𝐃𝐢 𝐁𝐚𝐥𝐢𝐤 𝐏𝐢𝐧𝐭𝐮 𝐑𝐮𝐦𝐚𝐡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang