3

58 15 0
                                    

[💕HAPPY READING 💕]
[✨Jangan lupa untuk berikan vote dan juga comment✨]

Panas matahari sore itu terasa hangat, sinarnya lembut menyinari halaman rumah kecil mereka. Suara tawa riang terdengar mengisi udara, sementara tujuh bersaudara itu sibuk bermain bersama di halaman depan. Ibu sedang menyiapkan camilan di teras, sementara Ayah berdiri di dekat pagar sambil sesekali melirik ke arah anak-anaknya, senyum bangga menghiasi wajahnya.

Satya, yang saat itu berusia 5 tahun, sedang asyik berlari-lari sambil membawa bola kecil di tangannya. “Kak Saka! Aku mau main bola sama kakak!” teriaknya penuh semangat.

Saka, mengangguk sambil tersenyum. “Ayo, sini! Kakak yang jaga gawang, kamu yang tendang, ya!” ujarnya sambil membuka tangan lebar-lebar, siap menjadi kiper dadakan.

Satya tersenyum lebar. Dengan kaki kecilnya, dia mengambil ancang-ancang untuk menendang bola. Tapi sebelum bola berhasil ia tendang, Rio tiba-tiba muncul dan merebut bola itu dari kakinya. “Haha! Gak semudah itu, Satya!” Rio tertawa sambil berlari menjauh, memamerkan kemampuan dribbling ala anak 7 tahun.

“Wah, kakak curang!” protes Satya sambil mengejar kakaknya yang lebih cepat. “Kakak ambil bolaku!”

“Yah, aku kan lebih jago dari kamu!” Rio menjulurkan lidahnya, menggoda adiknya yang lebih kecil. “Kalau mau ambil bolanya, kejar aku dulu!”

Sementara itu, Jevan ikut tertawa melihat kelucuan kedua adiknya itu. “Kak Saka, ayo kita bantu Satya! Rio gak boleh menang!” teriak Jevan dengan antusias, ikut berlari mengejar Rio.

Saka, yang selalu sabar dan adil, hanya tersenyum. “Tenang, biar mereka main dulu. Satya pasti bisa ambil bola itu sendiri. Kamu semangat ya, Satya!” katanya sambil bertepuk tangan memberi semangat.

Di sudut halaman, Yosan yang lebih pendiam sedang duduk di bawah pohon sambil memainkan sebuah mobil-mobilan. Meskipun tidak terlalu suka ikut bermain bola, dia tetap menikmati suasana ramai di sekelilingnya. Sesekali dia tersenyum kecil melihat tingkah adik-adiknya.

“Yosan, kamu gak mau ikut main?” tanya Rion, yang duduk di sebelah Yosan sambil membawa gitar kecilnya.

Yosan menggeleng pelan. “Aku gak suka bola. Kamu juga gak main, Kak?”

Rion tersenyum tipis. “Aku lebih suka main musik daripada lari-lari kayak mereka. Gak capek, tapi tetep asik.” Dia mulai memetik senar gitarnya, memainkan melodi sederhana yang mengalun lembut di antara tawa riang saudara-saudaranya.

Sementara itu, Rio terus berlari dengan bola di kakinya, menghindari Satya yang terus berusaha mengejarnya. “Cepetan, Satya! Kakak gak akan kasih bola ini semudah itu!” Rio tertawa puas, merasa menang.

Namun, tiba-tiba Satya berhenti berlari. Wajahnya terlihat serius, seolah memikirkan sesuatu. “Kak Rio, kalo aku gak dapet bolanya, aku gak bisa menang dong?” tanyanya, suaranya terdengar sedikit kecewa.

Rio, mendadak tersentuh melihat adiknya yang kecil merasa kecewa. “Eh, jangan sedih dong, Satya. Nih, ambil bolanya,” kata Rio sambil memberikan bola itu kembali.

Mata Satya langsung berbinar. “Beneran? Kakak gak curang lagi?” tanyanya sambil menerima bola itu dengan senyum lebar.

“Iya, beneran. Kali ini kamu yang menang,” jawab Rio sambil tersenyum.

Satya tertawa senang dan langsung berlari ke arah Saka. “Kak Saka, aku dapet bolanya! Aku menang!” teriaknya penuh kegembiraan.

Saka tertawa kecil melihat adiknya yang sangat antusias. “Bagus, Satya! Kamu pinter banget! Sekarang ayo kita main lagi, kamu yang tendang bolanya.”

Satya mengangguk dengan semangat dan langsung mengambil ancang-ancang lagi. Kali ini, dia benar-benar menendang bola itu sekuat tenaga. Bola melambung tinggi, melewati Saka yang pura-pura gagal menangkapnya.

“Gooool!” teriak Satya sambil melompat-lompat kegirangan. “Aku menang lagi!”

Dari kejauhan, Ibu memanggil mereka dari teras. “Anak-anak, camilannya sudah siap! Ayo sini, makan dulu sebelum lanjut main!”

“Yeay! Camilan!” Jevan langsung berlari menuju teras, disusul oleh Satya dan Rio. Saka berjalan di belakang mereka dengan tenang, sementara Yosan dan Rion juga akhirnya berdiri untuk bergabung.

Di meja teras, sudah ada beberapa piring kue dan segelas besar jus jeruk. “Ini buat kamu yang udah lari-lari capek. Minum dulu, biar gak haus,” kata Ibu sambil menyerahkan gelas kepada Satya yang masih ngos-ngosan setelah berlari.

“Terima kasih, Ma!” jawab Satya dengan senyum lebar, meminum jus jeruknya dengan cepat. “Enak banget!”

Ibu tersenyum lembut, mengusap rambut Satya dengan penuh kasih sayang. “Kamu suka, kan? Mama bikin ini spesial buat kalian semua.”

“Ini yang paling enak, Ma!” kata Jevan sambil memasukkan sepotong kue ke dalam mulutnya. “Mama selalu bikin makanan enak!”

Ayah yang duduk di sebelah mereka hanya tersenyum melihat kehangatan keluarganya. “Kalian harus selalu ingat, apapun yang terjadi, kita akan selalu bersama. Kalian semua harus saling menjaga satu sama lain,” katanya bijak.

Saka yang mendengar itu mengangguk pelan. “Aku janji, Pa. Aku akan selalu jaga adik-adik. Aku gak akan biarin mereka susah.”

Ayah menepuk bahu Saka dengan bangga. “Kamu anak sulung yang hebat, Saka. Papa yakin kamu bisa melakukannya.”

Di sampingnya, Rion yang sudah selesai dengan gitarnya mulai memetik senar lagi, memainkan lagu yang ceria. “Ini lagu spesial buat keluarga kita. Dengerin ya!” katanya, menarik perhatian semuanya.

Suara petikan gitarnya mengalun merdu, membuat suasana semakin hangat. Semua tertawa, bercanda, dan menikmati waktu bersama. Saat itu, dunia terasa begitu sempurna bagi mereka. Semua masalah seolah lenyap, digantikan oleh kebahagiaan yang sederhana namun begitu berarti.

Satya memandang ke arah kakak-kakaknya dengan penuh kekaguman. Di matanya yang polos, mereka semua adalah pahlawan. “Aku sayang kalian semua,” bisiknya pelan, meskipun suaranya tenggelam oleh tawa dan musik.

Saka yang duduk di sampingnya tiba-tiba menoleh dan tersenyum hangat. “Kami juga sayang kamu, Satya.”

Waktu berlalu dengan cepat saat mereka terus bercanda dan bermain bersama. Tanpa mereka sadari, kenangan itu akan menjadi salah satu momen paling indah dalam hidup mereka, momen yang akan selalu mereka kenang dengan hangat sebuah kenangan tentang kebersamaan, tawa, dan cinta di halaman rumah kecil mereka.

Namun, di balik semua tawa dan kebahagiaan itu, ada satu hal yang mereka tidak tahu. Hidup tidak selamanya seindah sore itu. Keceriaan yang mereka rasakan saat itu hanyalah sebagian dari perjalanan panjang yang akan mereka hadapi. Dan bagi Satya, kenangan indah itu akan selalu terbayang dalam pikirannya, mengingatkannya pada kebersamaan yang suatu hari akan hilang, tersapu oleh kenyataan pahit yang tak terelakkan.

TBC

[💕TERIMAKASIH BAGI YANG SUDAH BERKENAN MEMBACA CERITA INI 💕]

𝐃𝐢 𝐁𝐚𝐥𝐢𝐤 𝐏𝐢𝐧𝐭𝐮 𝐑𝐮𝐦𝐚𝐡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang