9

34 9 0
                                    

[💕HAPPY READING 💕]
[✨Jangan lupa untuk berikan vote dan juga comment✨]

Malam semakin larut, dan kecemasan keluarga itu kian mencekam. Angin pantai yang tadinya terasa sejuk, kini berubah dingin menusuk. Saka, Rion, Yosan, Jevan, dan Rio masih terus mencari Satya. Senter yang mereka bawa mulai meredup, dan bayangan di sekeliling semakin menakutkan.

“Kak... gimana ini? Udah lama banget, tapi Satya belum ketemu...” suara Jevan gemetar, terlihat jelas dia sudah mulai putus asa.

Saka menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun kepanikannya semakin besar. “Kita nggak boleh berhenti, Jev. Satya butuh kita. Dia pasti ketakutan sekarang... kita harus temuin dia,” katanya dengan suara serak.

Yosan, yang sejak tadi diam, akhirnya bicara dengan nada datar, “Aku nggak paham... kenapa Satya selalu bikin masalah? Kenapa dia nggak bisa diem aja?”

Rion menatap Yosan tajam. “Kamu ngomong apaan sih, San? Ini bukan waktunya buat nyalahin dia. Kita harus nyari dia, ngerti?”

Yosan mendengus, “Aku tau. Tapi kakak liat aja, kita semua selalu sibuk ngurusin Satya. Selalu dia yang bikin kita repot!”

Saka langsung menghentikan langkahnya, menatap Yosan dengan tajam. “Yosan, stop! Ini nggak ada hubungannya sama kesalahan siapa. Kita di sini buat cari Satya, bukan buat ribut.”

Rio yang mendengar perdebatan kakak-kakaknya hanya terdiam, matanya berair. Dia bukan tipe anak yang mudah menangis, tapi ketakutan kehilangan adiknya yang paling kecil membuat hatinya terasa sangat berat. "Kak Saka... kalo Satya nggak ketemu gimana?" suaranya hampir tak terdengar.

Saka berjongkok di depan Rio, meletakkan kedua tangannya di bahu adiknya yang paling dekat usianya dengan Satya. "Rio... dengerin aku. Kita pasti ketemuin Satya. Apapun yang terjadi, kita nggak bakal ninggalin dia."

Rio mengangguk pelan, walaupun masih ada ketakutan di matanya.

Sementara itu, jauh di tempat lain, Satya duduk di atas pasir yang dingin, dikelilingi oleh kegelapan. Tangannya yang kecil menggenggam erat lututnya, tubuhnya gemetar. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh, membasahi pipinya yang kotor.

"Kak... Kak Saka... tolong aku..." isaknya pelan, suaranya bergetar.

Di antara suara ombak dan angin yang berhembus, suara itu muncul lagi, lebih jelas, lebih dekat. "Satya... jangan takut. Kamu aman di sini."

Satya semakin terisak, bingung dan ketakutan. "Aku nggak mau di sini... aku mau pulang... tolong aku..." dia memohon, berharap ada yang mendengar.

Namun, yang ada hanya keheningan. Dia tidak tahu di mana dia berada, atau bagaimana dia sampai ke tempat ini. Pikirannya masih kacau, dan tubuh kecilnya semakin lelah.

Tiba-tiba, di kejauhan, terdengar suara langkah kaki yang berat, mendekat perlahan. Satya menahan napas, matanya melebar. "Siapa itu?" tanyanya, meskipun suaranya hampir tak keluar.

Bayangan besar mulai terlihat di ujung pandangan, dan Satya mulai merasa ada sesuatu yang sangat salah. Langkah kaki itu semakin mendekat, semakin jelas terdengar. Satya mundur, mencoba menjauh, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak lebih jauh.

Di saat yang sama, Saka dan saudara-saudaranya masih terus mencari. Rion mulai merasa ada yang tidak beres. “Aku punya firasat nggak enak... Kita harus cari lebih jauh lagi, mungkin dia nggak cuma hilang, tapi...”

“Jangan ngomong yang nggak-nggak,” potong Saka cepat, meskipun dalam hatinya dia tahu Rion mungkin benar.

Tiba-tiba, suara tangisan terdengar di kejauhan. Semua langsung menoleh ke arah suara itu.

“Satya?” Saka segera berlari ke arah suara, diikuti oleh yang lainnya.

Langkah mereka semakin cepat, dan akhirnya mereka menemukan Satya duduk di atas pasir, menangis sendirian. Tapi di dekatnya, ada sosok bayangan besar yang perlahan mendekat.

“SATYA!” teriak Saka, tanpa pikir panjang dia langsung berlari ke arah adiknya, berusaha melindungi Satya dari apapun yang mendekat.

Rion dan Yosan mengikuti di belakang, sementara Jevan dan Rio terdiam ketakutan melihat bayangan itu.

Saka segera mengangkat Satya yang masih gemetar. “Satya, kamu nggak apa-apa? Kamu denger aku?”

Satya hanya bisa menangis, terlalu takut untuk menjawab.

Bayangan besar itu semakin dekat, tapi tiba-tiba berhenti, lalu menghilang begitu saja seolah tersapu angin. Semua terdiam, bingung dengan apa yang baru saja mereka lihat.

“Apaan tadi itu...?” gumam Yosan, matanya membesar.

Rion hanya bisa menggeleng, masih shock dengan apa yang terjadi. "Aku... Aku nggak tau, tapi yang jelas kita harus keluar dari sini sekarang."

Saka mengangguk, memeluk Satya erat. "Kita balik ke mobil. Sekarang."

Mereka semua berjalan cepat kembali ke arah mobil, dengan Satya dalam pelukan Saka yang terus menangis tanpa henti. Ketika mereka akhirnya sampai di mobil, mereka langsung masuk dan menyalakan mesin. Saka segera melajukan mobilnya menjauh dari pantai, tanpa berkata-kata.

Di dalam mobil, Satya masih gemetar dalam pelukan Saka. Dia merasa aman di sana, tapi bayangan gelap yang tadi hampir menyentuhnya masih menghantui pikirannya.

“Kak...” suara Satya lirih, hampir tak terdengar.

“Iya, Satya? Kamu nggak apa-apa? Kamu kenapa pergi tadi?” tanya Saka lembut, meskipun dalam hatinya dia masih dipenuhi dengan kecemasan.

Satya menggeleng pelan, “Ada yang manggil aku, Kak... suaranya... kayak suara yang aku kenal...”

Saka menatap Satya dalam-dalam, merasa bingung dan khawatir. "Suaranya siapa, Satya?"

Satya menunduk, bingung dan takut. "Aku nggak tau... tapi aku kira itu suara Mama..."

Semua di dalam mobil terdiam. Kata-kata Satya membuat suasana semakin berat. Mereka semua tahu, itu tidak mungkin. Tapi Satya begitu yakin dengan apa yang dia dengar.

Rion akhirnya bicara, mencoba mencairkan suasana. “Mungkin kamu cuma salah dengar, Satya. Pantai ini emang serem kalo udah malem.”

Tapi Satya tetap menunduk, wajahnya masih dipenuhi rasa takut. “Tapi... tapi aku yakin banget itu suara Mama...”

Saka menatap Rion dan Yosan dengan tatapan penuh makna. Mereka semua tahu ini bukan sekadar halusinasi atau rasa takut biasa. Ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini, dan mereka harus segera memutuskan apa yang harus dilakukan.

“Kita akan ngobrolin ini di rumah, Satya. Sekarang kamu istirahat dulu, ya? Yang penting kamu selamat,” kata Saka akhirnya, berusaha meredakan ketegangan.

Satya hanya mengangguk pelan, meskipun matanya masih memandang keluar jendela dengan tatapan kosong.

TBC

[💕TERIMAKASIH BAGI YANG SUDAH BERKENAN MEMBACA CERITA INI 💕]

𝐃𝐢 𝐁𝐚𝐥𝐢𝐤 𝐏𝐢𝐧𝐭𝐮 𝐑𝐮𝐦𝐚𝐡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang