13

55 8 0
                                    

[💕HAPPY READING 💕]
[✨Jangan lupa untuk berikan vote dan juga comment✨]

Setelah beberapa hari di rumah sakit, Satya akhirnya pulih dan bisa dibawa pulang. Namun, suasana di rumah terasa berbeda. Yosan merasa berat, karena rasa penyesalan yang menyelimutinya. Dia mengingat semua kata-kata kasar yang pernah dia ucapkan pada Satya. Di dalam hati, Yosan merasa sangat bersalah.

Malam harinya, saat semua orang sudah tidur, Yosan duduk di teras rumah sambil menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit. Pikiran tentang adiknya terus mengganggu. "Aku harus bicara sama Satya," gumamnya pada diri sendiri. Yosan beranjak dari tempat duduknya dan menuju kamar Satya.

Dia mengetuk pintu pelan. "Satya, boleh aku masuk?" serunya pelan.

Dari dalam terdengar suara lembut. "Masuk, Kak."

Yosan membuka pintu dan melihat Satya yang duduk di tempat tidur, dengan wajahnya yang masih terlihat lelah namun lebih cerah. "Kamu belum mau tidur?" tanya Yosan, berusaha terlihat santai meskipun hatinya berdebar.

"Belum. Aku masih belum bisa tidur," jawab Satya sambil mengusap matanya. "Kak, aku mau ngomong sama kakak."

"Ngomong apa, Sat?" Yosan mencoba tersenyum, meskipun ada kegelisahan di dalam hatinya.

"Aku mau minta maaf," ucap Satya tiba-tiba, membuat Yosan tertegun. "Maaf karena aku selalu bikin kakak khawatir."

"Eh, jangan gitu, Satya. Justru kakak yang harusnya minta maaf," jawab Yosan, cepat-cepat. "Kakak yang seharusnya minta maaf sama kamu. Aku sudah ngomong yang jelek-jelek. Kakak tahu kamu gak bersalah atas semua ini."

Satya menatap kakaknya dengan tatapan penuh pengertian. "Kak, kadang aku merasa semua ini salahku. Kalau aku ga ada, Mama dan Papa mungkin masih di sini," ucapnya dengan suara bergetar.

"Jangan bilang gitu, Satya. Ini bukan salahmu. Kamu harus ingat, itu bukan kesalahanmu," kata Yosan, berusaha menenangkan. "Kakak tahu kamu merasa tertekan, tapi kita harus menghadapi ini bersama. Jangan pernah kamu merasa sendirian."

Satya menghela napas panjang. "Tapi aku sering berdoa supaya aku bisa kembali ke masa lalu. Supaya Mama dan Papa masih ada. Aku nggak mau mereka pergi."

Yosan merasakan hatinya nyeri mendengar kata-kata Satya. "Aku juga. Aku ingin sekali bisa memutar waktu. Tapi kita tidak bisa. Kita harus belajar untuk hidup dengan kenyataan ini."

"Kenapa kita harus menderita begini, Kak? Kenapa semua ini harus terjadi?" tanya Satya dengan mata penuh air mata.

Yosan merasakan kesedihan yang dalam, berusaha menahan air mata yang ingin tumpah. "Aku juga gak tahu. Kadang hidup itu tidak adil, Satya. Kita hanya bisa berjuang untuk terus melangkah. Kita ga sendirian, kita punya satu sama lain," ucap Yosan, berusaha meyakinkan diri sendiri dan adiknya.

Satya terdiam, terlihat merenung. "Kak, aku pengen bertanya. Kenapa kamu marah sama aku waktu itu? Kenapa kamu nggak percaya aku?"

Yosan menatap adiknya, hatinya bergetar. "Karena aku merasa cemas, Satya. Aku merasa harus melindungi kamu, tapi kadang aku berlebihan. Aku tidak tahu bagaimana mengungkapkan rasa sayangku. Aku terlalu terbawa emosi. Maafkan kakak."

Satya mengangguk pelan. "Aku ngerti, Kak. Tapi aku butuh kamu untuk percaya sama aku. Aku merasa kesepian, terutama setelah Mama dan Papa pergi."

Yosan menggenggam tangan Satya. "Aku janji, aku akan berusaha lebih baik. Aku akan percaya sama kamu. Kita sama-sama kehilangan orang yang kita cintai. Kita harus saling mendukung."

"Kadang aku ngerasa hidup ini hampa, Kak. Seperti nggak ada artinya lagi," kata Satya dengan suara pelan. "Aku bingung mau ngapain."

"Satya, aku juga ngerasa gitu. Kadang aku merasa terjebak dengan penyesalan dan rasa bersalah. Tapi aku ingin kita berjuang bersama. Kita harus bisa menemukan arti hidup ini meskipun tanpa Mama dan Papa," ucap Yosan.

"Bagaimana caranya, Kak?" tanya Satya, menatap kakaknya penuh harap.

"Kita bisa mulai dari hal kecil. Kita bisa melakukan sesuatu yang kita cintai bersama. Seperti bermain musik, menggambar, atau bahkan sekadar ngobrol tentang impian kita. Kita harus berbagi lagi," jawab Yosan.

"Kayak waktu Mama dan Papa masih ada?" tanya Satya dengan nada bersemangat.

"Persis! Kita bisa buat kenangan baru. Kita bisa menghargai apa yang kita miliki sekarang," Yosan berkata penuh semangat.

Satya tersenyum kecil, seolah melihat secercah harapan. "Kak, aku mau banget. Aku mau berbagi semua hal dengan kamu lagi."

"Bagus! Mari kita mulai dari sekarang. Kita bisa bermain gitar, atau aku bisa ajarin kamu beberapa lagu," kata Yosan, berusaha menghidupkan suasana.

"Ya, aku pengen belajar lagu-lagu baru! Kayak yang kamu mainin waktu itu," jawab Satya, antusias.

"Yuk, kita mulai! Biar aku ambil gitarku," ucap Yosan sambil bangkit. Namun, saat ia berdiri, ia merasakan gelombang emosi yang menggerogoti jiwanya. "Satya, sebelum kita mulai, ada satu hal lagi yang harus kakak sampaikan."

"Apa, Kak?" tanya Satya, penasaran.

"Selama ini, aku merasa tertekan dengan semua tanggung jawab. Aku merasa harus jadi kakak yang sempurna dan melindungi semua orang. Tapi kadang, aku lupa untuk menjaga diri sendiri. Aku sering kali marah karena aku nggak tahu bagaimana menghadapi perasaanku sendiri," Yosan mengaku, wajahnya mulai memerah.

"Kak, semua orang punya perasaan, dan itu wajar. Kita semua merasakannya, termasuk aku," kata Satya lembut.

"Tapi, Satya, kakak juga merasa sudah gagal. Aku seharusnya bisa lebih mengerti kamu dan apa yang kamu butuhkan," Yosan melanjutkan, suaranya bergetar. "Aku ingin minta maaf karena tidak selalu ada untukmu."

"Sudah, Kak. Aku ngerti. Kita sama-sama berjuang. Yang penting sekarang kita bisa saling mendukung. Kita harus belajar dari masa lalu dan maju ke depan," kata Satya, memegang tangan Yosan erat.

Yosan merasakan kehangatan di dalam hatinya. "Terima kasih, Satya. Aku berjanji, aku akan berusaha lebih baik. Kita akan menjalani hidup ini dengan penuh makna."

"Aku percaya sama kakak. Kita akan melalui semua ini bersama-sama, kan?" tanya Satya dengan mata berbinar.

"Pasti, Sayang. Kita adalah keluarga. Kita tidak boleh menyerah. Kita akan menjadi lebih kuat, dan kita akan membuat Mama dan Papa bangga," Yosan berkata dengan penuh keyakinan.

Malam itu, keduanya mulai menata kembali hubungan mereka. Dengan mengeluarkan gitar, Yosan mengajarkan Satya beberapa lagu sederhana. Dalam tawa dan alunan musik, mereka mulai menemukan kembali kebahagiaan yang sempat hilang. Yosan menyadari, meskipun masa lalu tidak bisa diubah, mereka memiliki masa depan yang cerah jika saling mendukung satu sama lain.

Ketika lagu-lagu itu mengalun, rasa penyesalan dan beban di hati Yosan perlahan-lahan mulai pudar. Dia tahu, perjalanan untuk berdamai dengan masa lalu masih panjang, tetapi sekarang, dia tidak sendiri. Dia memiliki Satya, dan bersama-sama, mereka akan menemukan jalan menuju kebahagiaan.

TBC

[💕TERIMAKASIH BAGI YANG SUDAH BERKENAN MEMBACA CERITA INI 💕]

𝐃𝐢 𝐁𝐚𝐥𝐢𝐤 𝐏𝐢𝐧𝐭𝐮 𝐑𝐮𝐦𝐚𝐡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang