[💕HAPPY READING 💕]
[✨Jangan lupa untuk berikan vote dan juga comment✨]Hujan deras mengguyur sore itu. Langit yang biasanya cerah tiba-tiba berubah gelap, petir menyambar di kejauhan.
Satya yang saat itu masih berusia lima tahun duduk sendirian di ruang kelas TK-nya, menunggu orang tuanya menjemput. Teman-temannya sudah pulang satu per satu, hingga tinggal ia sendiri.
Guru TK-nya, Bu Rara, mendekatinya dengan lembut. “Satya, kamu belum dijemput, ya?”
Satya mengangguk pelan. “Iya, Bu. Mama sama Papa belum dateng.”
Bu Rara tersenyum lembut. “Jangan khawatir, sebentar lagi mereka pasti datang. Cuacanya memang buruk, mungkin mereka terjebak hujan di jalan.”
Satya memeluk tas ranselnya erat-erat. Matanya yang besar terus memandang ke arah pintu, berharap kedua orangtuanya segera muncul. Tapi waktu terus berlalu, dan yang muncul hanya suara petir yang semakin menggelegar.
“Bu, aku takut,” bisik Satya.
Bu Rara menepuk pundaknya pelan. “Jangan takut, Satya. Kamu aman di sini. Mama dan Papamu pasti akan datang sebentar lagi.”
Sementara itu, di jalanan yang licin dan berbahaya, mobil Ayah melaju cepat menembus hujan. Di sebelahnya, Ibu menggenggam ponselnya erat-erat, mencoba menelepon Satya atau guru TK-nya. Tapi sinyal di tengah badai ini sangat buruk.
“Pa, pelan-pelan aja. Jalannya licin,” kata Ibu, nada suaranya cemas.
Ayah mengangguk, matanya fokus ke jalanan di depannya. “Aku tau, tapi Satya pasti udah nunggu terlalu lama. Kita harus cepet sampai.”
Hujan makin deras. Wiper mobil bekerja keras menyapu air dari kaca depan, tapi pandangan tetap terbatas. Di sudut mata, Ayah melihat lampu truk besar yang melaju dari arah berlawanan. Tapi tiba-tiba, truk itu tergelincir—ban belakangnya hilang kendali, berbelok ke arah mereka.
“Awas!!” Ibu berteriak, tapi semuanya terjadi terlalu cepat.
~~~~~~~~~~~
Di TK, Satya masih duduk di pojok ruang kelas, menggenggam boneka kecil yang selalu dibawa olehnya ke sekolah. Dia mendongak saat mendengar pintu terbuka, mengira orangtuanya datang. Tapi yang muncul adalah Bu Rara, dengan raut wajah yang tak seperti biasanya, seolah ada kesedihan mendalam yang tidak bisa disembunyikan.
“Satya,” panggil Bu Rara lembut. “Kita harus pergi.”
Satya mengerutkan kening. “Tapi Mama sama Papa belum jemput aku, Bu.”
Bu Rara menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Iya, Nak. Tapi sekarang, kamu ikut Bu Rara dulu, ya?”
Satya mengangguk patuh, meskipun hatinya mulai merasa ada sesuatu yang salah. Bu Rara menggenggam tangannya, membawanya ke mobil yang sudah menunggu di luar.
Hujan masih turun deras ketika mobil itu melaju pelan menuju rumah sakit. Di dalam perjalanan, Satya terus melihat ke luar jendela, berharap bisa melihat mobil orangtuanya di jalanan. Tapi yang ia temukan hanyalah kabut tebal dan hujan yang terus membasahi bumi.
Sesampainya di rumah sakit, suasana dingin dan sunyi. Satya tak mengerti kenapa mereka dibawa ke sini. "Bu, kenapa kita ke sini? Mama sama Papa di mana?"
Bu Rara tidak langsung menjawab. Matanya berkaca-kaca, tapi dia menahan air matanya agar tidak jatuh. "Satya... Mama dan Papa kecelakaan di jalan saat mau jemput kamu..."
Satya membeku. Jantungnya terasa berhenti sejenak. "Apa? Kecelakaan?"
"Iya, Sayang," kata Bu Rara dengan suara pelan, seolah-olah takut membuat bocah itu lebih takut dari yang sudah ia rasakan. "Sekarang mereka ada di sini, di rumah sakit..."
"Aku mau lihat mereka!" teriak Satya tiba-tiba, tangisnya mulai pecah. “Aku mau lihat Mama sama Papa!”
Bu Rara tidak bisa menahan lagi. Air mata mengalir di pipinya saat dia menggenggam tangan Satya erat-erat. "Kamu harus kuat, Nak."
~~~~~~~~~~~
Saka, Rion, Yosan, Jevan, dan Rio sudah lebih dulu tiba di rumah sakit bersama saudara-saudara yang lain. Mereka semua berdiri di depan ruang ICU dengan wajah yang penuh kecemasan. Saat Satya muncul bersama Bu Rara, semua mata tertuju padanya.
"Kak Saka... Papa sama Mama kenapa?" tanya Satya dengan suara bergetar, matanya memohon jawaban dari kakak tertuanya.
Saka, berusaha tetap tegar. Tapi hatinya hancur saat melihat wajah Satya yang begitu polos dan penuh harapan. Dia menarik napas panjang, berjongkok agar bisa setara dengan tinggi Satya. "Satya... Mama sama Papa lagi diperiksa karena kecelakaan."
Satya menggelengkan kepalanya dengan keras. "Tapi kenapa? Karena aku ya? Karena mereka mau jemput aku?"
Semua terdiam mendengar pertanyaan itu. Yosan, yang saat itu berusia 7 tahun, menatap tajam ke arah Satya. Ada kemarahan terpendam di matanya, tapi dia tidak mengatakannya. Dia hanya diam, memeluk dirinya sendiri di sudut ruangan.
“Bukan salah kamu, Satya,” kata Saka akhirnya, meskipun suaranya terdengar berat. “Kecelakaan itu... gak ada yang bisa prediksi. Kamu gak salah apa-apa.”
Tapi Satya tidak mendengarnya. Dalam kepalanya yang masih kecil, dia merasa inilah akibat dari dirinya. "Aku mau minta maaf ke Mama sama Papa," katanya dengan suara kecil.
Saka memeluk Satya erat-erat, menahan air matanya yang ingin pecah. "Kamu gak perlu minta maaf, Satya... Kamu gak salah."
Waktu terasa berjalan lambat di rumah sakit itu. Mereka menunggu di luar ruang ICU selama berjam-jam, berharap ada keajaiban. Tapi kemudian, seorang dokter keluar dari ruang ICU, wajahnya penuh dengan kesedihan.
"Maafkan kami... Kami sudah berusaha sebaik mungkin."
Kalimat itu menghancurkan segalanya. Dunia mereka, yang dulu penuh dengan tawa dan kehangatan, seketika runtuh.
Satya jatuh ke lantai, menangis keras. “Ini salah aku! Ini semua karena aku!” teriaknya.
Saka berusaha memeluknya, menenangkan adik bungsunya yang hancur. "Enggak, Satya. Kamu gak salah apa-apa. Ini bukan salah kamu."
Tapi Satya terus menangis, memukul-mukul lantai dengan kepalan tangannya yang kecil. “Kalau aku gak sekolah... Kalau aku gak minta dijemput... Mama sama Papa gak akan meninggal!”
"Satya, dengerin aku!" Suara Saka terdengar tegas, meskipun matanya juga basah. “Ini bukan salah kamu! Ini kecelakaan. Gak ada yang bisa kamu lakuin untuk mencegahnya.”
Tapi kata-kata Saka tidak cukup untuk menghapus rasa bersalah yang begitu besar di hati Satya.
Setiap malam setelah itu, setiap kali dia melihat tempat kosong di meja makan, setiap kali dia memandang kamar yang dulu diisi oleh Mama dan Papa, rasa bersalah itu akan selalu kembali menghantuinya.
Dan dalam hati kecilnya, Satya tahu... dia akan selamanya menyalahkan dirinya sendiri.
•
•
•
•
•
TBC
[💕TERIMAKASIH BAGI YANG SUDAH BERKENAN MEMBACA CERITA INI 💕]
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐃𝐢 𝐁𝐚𝐥𝐢𝐤 𝐏𝐢𝐧𝐭𝐮 𝐑𝐮𝐦𝐚𝐡
Teen Fiction[ON GOING] "Rumah bukan cuma sekedar bangunan, tapi tempat kita buat pulang. Tempat dimana kita bisa ngerasa aman, damai, tanpa takut apapun. Nggak peduli gimana kerasnya dunia di luar, selama kita bareng-bareng, semua bisa kita lewatin." - Saka • •...