[💕HAPPY READING 💕]
[✨Jangan lupa untuk berikan vote dan juga comment✨]Satya berjalan pelan di trotoar sepulang sekolah. Ranselnya yang besar menggantung di punggungnya, terasa lebih berat dari biasanya. Hari itu, seperti biasa, Satya berjalan sendirian. Sepanjang jalan, pikirannya melayang, memikirkan pelajaran hari itu, tetapi sebagian besar pikirannya tersita oleh ketegangan yang masih terasa di rumah. Pertengkaran antara Yosan dan Paman serta Bibi nya kemarin masih terus membekas, meskipun Satya tidak tahu sepenuhnya apa yang sebenarnya terjadi. Hanya saja, dia bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
Langkahnya tiba-tiba terhenti ketika melihat sebuah mobil terparkir di sisi jalan, tak jauh dari rumah. Sebuah sedan hitam yang familiar, dengan pamannya berdiri di sampingnya. Di sebelah paman, ada bibinya. Satya terdiam, tak tahu harus bereaksi seperti apa.
Paman melambaikan tangan ke arah Satya, sambil tersenyum lebar. "Satya! Ke sini sebentar, Nak."
Satya ragu-ragu, tapi akhirnya melangkah mendekat. Dia tidak bisa begitu saja mengabaikan mereka, meski ada perasaan tidak nyaman yang mulai muncul di dadanya.
"Iya, Paman. Ada apa?" tanya Satya dengan suara pelan.
Paman dan bibi saling berpandangan sejenak, lalu paman mulai bicara. "Kami tadi lewat sini, kebetulan lihat kamu pulang sekolah sendirian. Kami pikir, kenapa nggak ajak kamu ngobrol sebentar? Kamu pasti capek ya? Gimana sekolahnya?"
Satya tersenyum tipis, mencoba menjawab dengan sopan. "Sekolahku biasa aja, Paman. Nggak terlalu capek kok."
Bibi mengangguk sambil tersenyum hangat. "Satya, kami ini sayang sama kamu. Kami selalu khawatir sama kalian semua. Apalagi kamu masih kecil. Kamu tahu, kan, hidup sendiri di rumah besar kayak gitu nggak mudah. Kami cuma pengen bantu."
Satya memandang mereka berdua dengan ekspresi bingung. "Maksudnya gimana, Bibi?"
Paman menghela napas pelan, lalu meletakkan tangan di pundak Satya. "Satya, kami sebenarnya udah lama mikir ini. Kalian itu masih terlalu muda buat hidup sendirian, tanpa bimbingan orang dewasa. Apalagi kamu, Satya. Kamu yang paling kecil. Kami rasa, akan lebih baik kalau kamu ikut kami. Pindah ke rumah kami, biar kami yang ngurusin kamu."
Satya terkejut mendengar tawaran itu. Dia mengernyit, mencoba memproses apa yang barusan dikatakan. "Pindah ke rumah Paman dan Bibi? Tapi... tapi aku nggak bisa ninggalin kakak-kakak aku. Aku harus di rumah sama mereka."
Bibi langsung menyahut, suaranya lembut tapi ada nada tegas di dalamnya. "Satya, kakak-kakak kamu memang sayang sama kamu, tapi mereka juga masih muda. Mereka nggak bisa sepenuhnya ngerti apa yang terbaik buat kamu. Kami udah lebih tua, lebih berpengalaman. Kami bisa jagain kamu dengan lebih baik."
Satya merasa bingung. Dia memang yang paling kecil, dan terkadang dia merasa tidak bisa apa-apa tanpa kakak-kakaknya. Tapi sekaligus, dia juga tahu bahwa dia tidak mau meninggalkan mereka. "Tapi... aku udah baik-baik aja di rumah, Bibi. Kakak-kakak aku selalu jagain aku."
Paman tersenyum tipis, meskipun matanya terlihat penuh dengan maksud yang lebih dalam. "Satya, dengerin kami. Hidup di rumah sebesar itu tanpa orang tua itu bukan hal yang mudah. Kamu mungkin nggak ngerasa sekarang, tapi suatu saat nanti, kamu akan tahu betapa susahnya. Kakak-kakakmu bisa bikin kesalahan. Mereka mungkin nggak bisa ngurus kamu dengan benar."
Kalimat itu membuat Satya semakin bingung. "Maksud Paman, mereka salah? Kak Saka sama Kak Yosan selalu jagain aku. Mereka nggak pernah bikin aku ngerasa sendirian."
Bibi menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Mereka mungkin niat baik, Satya. Tapi kamu masih kecil. Kamu butuh perhatian lebih. Di rumah kami, kamu akan punya kamar sendiri, makan teratur, dan kami bisa memastikan kamu tumbuh dengan baik. Kamu nggak harus khawatir tentang apapun."
Satya mulai merasa gelisah. Kata-kata mereka terdengar baik, tapi ada sesuatu yang terasa salah. Dia memandang ke arah rumahnya yang tak jauh lagi. Dia merasa aman di sana, bersama kakak-kakaknya. "Aku nggak ngerti, Bibi. Kenapa aku harus pindah? Apa aku salah kalau aku mau tetap di rumah sama Kak Saka dan Kak Yosan dan kakak yang lainnya juga?"
Paman tersenyum lembut, tapi nada suaranya lebih serius sekarang. "Kamu nggak salah, Satya. Tapi kami cuma ingin kamu punya masa depan yang lebih baik. Di rumah kami, kamu bisa fokus sekolah tanpa harus mikirin hal-hal lain. Kakak-kakakmu masih harus berjuang buat masa depan mereka sendiri. Nggak adil kalau kamu ikut terbebani sama masalah mereka."
Satya terdiam, merasa lebih bingung. Dia tidak pernah memikirkan kakak-kakaknya sebagai beban. Justru, dia selalu merasa bahwa mereka adalah pelindungnya. "Aku nggak ngerasa terbebani, Paman. Aku... aku sayang sama mereka. Dan mereka juga sayang sama aku."
Bibi menatap Satya dengan ekspresi lembut, mencoba membujuk. "Kami ngerti, Satya. Tapi terkadang, cinta aja nggak cukup. Kamu butuh lebih dari itu. Kamu butuh lingkungan yang stabil. Kamu butuh orang dewasa yang bisa membimbing kamu. Kakak-kakakmu masih belajar, mereka juga masih muda."
Satya meremas tali ranselnya dengan gugup, tidak tahu harus berkata apa. Dia ingin membela kakak-kakaknya, tapi kata-kata Paman dan Bibi membuatnya ragu. Apakah benar kakak-kakaknya tidak bisa mengurusnya dengan baik?
"Aku... aku nggak tahu, Bibi. Aku... aku nggak mau ninggalin rumah. Aku nggak bisa."
Paman menghela napas panjang, kali ini suaranya lebih tegas. "Satya, ini bukan soal mau atau nggak mau. Ini soal apa yang terbaik buat kamu. Kadang, kita harus ambil keputusan yang sulit demi kebaikan kita di masa depan. Kakak-kakakmu pasti ngerti kalau kamu pindah. Mereka juga pasti mau yang terbaik buat kamu."
Satya menggigit bibirnya, merasa semakin tertekan. "Tapi... tapi aku nggak mau ninggalin mereka. Aku nggak bisa."
Bibi menatapnya dengan penuh kesabaran. "Satya, kami nggak maksa kamu buat ambil keputusan sekarang. Tapi pikirin ini baik-baik, ya? Kami cuma pengen kamu punya masa depan yang lebih cerah. Kami sayang sama kamu, sama seperti kami sayang sama ibu kamu dulu."
Satya merasa ada sesuatu yang mencelos di hatinya saat mendengar nama ibunya disebut. Kerinduan yang mendalam muncul, membuatnya ingin menangis. Dia merindukan orang tuanya, tapi dia juga tahu bahwa kakak-kakaknya adalah satu-satunya keluarga yang dia punya sekarang.
"Tapi... kalau aku pergi, gimana sama kakak? Mereka... mereka nggak akan suka aku pindah."
Paman tersenyum tipis. "Mereka pasti akan ngerti, Satya. Mereka juga pengen yang terbaik buat kamu. Mereka nggak akan tahan lihat kamu kesusahan di rumah."
Satya merasakan air mata menggenang di matanya, tapi dia berusaha menahannya. "Aku nggak kesusahan, Paman. Aku... aku baik-baik aja di rumah. Kakak selalu ada buat aku."
Bibi mengangguk pelan, masih dengan ekspresi lembut. "Kami ngerti, Satya. Tapi kami cuma minta kamu pikirin ini baik-baik, ya? Kalau kamu berubah pikiran, kami selalu ada buat kamu."
Satya mengangguk perlahan, meskipun hatinya masih penuh kebingungan. "Iya, Bibi. Aku bakal pikirin."
Paman menepuk pundaknya dengan lembut. "Bagus, Nak. Kami cuma pengen yang terbaik buat kamu. Jangan ragu buat ngomong sama kami kalau kamu butuh sesuatu."
Satya tidak menjawab, hanya tersenyum tipis sebelum pamit. Dia berjalan menuju rumah dengan langkah pelan, masih memikirkan setiap kata yang barusan didengar. Di dalam kepalanya, terjadi pergulatan batin yang tidak bisa dia mengerti sepenuhnya.
Saat dia memasuki rumah, suasana sunyi menyambutnya. Kakak-kakaknya belum pulang, dan dia merasa sedikit lega karena tidak perlu menjelaskan apa yang baru saja terjadi. Namun, perasaan tidak nyaman itu tetap tinggal di dalam hatinya. Apakah benar dia harus meninggalkan mereka demi masa depan yang lebih baik?
Satya berusaha menepis pikiran itu, tapi bayangan percakapan dengan Paman dan Bibi terus berputar di kepalanya. Di satu sisi, dia ingin percaya bahwa mereka hanya ingin yang terbaik. Tapi di sisi lain, dia tahu bahwa rumah ini—dan kakak-kakaknya—adalah rumah yang terbaik untuknya.
•
•
•
•
•
TBC
[💕TERIMAKASIH BAGI YANG SUDAH BERKENAN MEMBACA CERITA INI 💕]
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐃𝐢 𝐁𝐚𝐥𝐢𝐤 𝐏𝐢𝐧𝐭𝐮 𝐑𝐮𝐦𝐚𝐡
Teen Fiction[ON GOING] "Rumah bukan cuma sekedar bangunan, tapi tempat kita buat pulang. Tempat dimana kita bisa ngerasa aman, damai, tanpa takut apapun. Nggak peduli gimana kerasnya dunia di luar, selama kita bareng-bareng, semua bisa kita lewatin." - Saka • •...