21

312 43 15
                                    

"Kamu dimana sih sal?" Lian memukuli pintu apartnya dan membuang ponselnya ke sofa.

Sejak kemarin malam hingga bertemu malam hari ini Lian dibuat rungsing dengan salsa yang tak kunjung ada kabar dan tak dapat ia temui. Spam chat dan telepon sudah ia lakukan namun seperti balas dendam tak satupun yang salsa respon. Amarah dan kesal Lian kali ini sepertinya wujud dari rasa bersalahnya kepada salsa. 

Salsa mengabaikan ponselnya yang entah sudah mendapat spam chat dan telepon berapa kali dari Lian, ia mengurus ayahnya dengan telaten. Ibu dan kakaknya belum juga balik sejak pulang yang mereka pamitkan terakhir kali.

Kini Salsa dan Ayahnya sedang duduk berdua di taman rumah sakit, ayahnya di kursi roda dan salsa di bangku taman. ayahnya memandang lurus ke arah playground yang dipenuhi anak kecil berlarian tertawa tanpa beban, sedang salsa memandang lurus ke wajah pucat ayahnya yang kini sedang memaksakan senyumnya.

"Paaa"

"Papa gapapa nak. Cuma lagi disuruh istirahat ama tuhan."

"Mm maafin caca paa" ada getaran dalam setiap kata yang salsa ucapkan tubuhnya kembali bergetar."

"Loh, kok minta maaf? kamu gak salah apa apa nak." Tangan besar yang tak lagi kekar itu membelai kepala salsa, sedang menyalurkan ketenangan sebisanya.

"Caca salah pa, harusnya cacaa bisa lebih perhatian ke papa."

"Gak papa ca, papa tau kamu lagi berjuang memenuhi kebutuhan keluarga kita. Malah papa merasa bersalah karena beban yang harusnya dipundak papa sekarang jadi beban kamu."

"Gakpapa pa, caca gak anggap itu sebagai beban."

"Oh iya, kenapa diupgrade kamarnya, mubadzir nak."

"Ga bayar kok pa, Caca dibantu Cimol pakai hak nya sebagai dokter rumah sakit ini katanya."

"Looh, papa tambah gak enak loh."

"Gapapa pa, ntar caca bayar cicil ke cimol. Amaan"

"Mama sama kakakmu kemana?"

"Kemarin bilangnya pulang dulu paa, mungkin lagi selesaiin urusan mereka. Gapapa caca udah ambil cuti seminggu, jadi seminggu ini biar caca yang bareng papa."

Ayah salsa melempar senyum tulusnya ke anak kesayangannya, ia tau banyak beban yang dipikul salsa, namun ia tak lagi punya kekuatan untuk menggantikan posisi anaknya itu hanya ada rasa bersalah yang kini tentu penyumbang terbesar dalam pikirannya.

Setelah kembali ke kamar rawat salsa mendapati fauzi yang sudah menunggu kedatangan mereka. Khusus ayah salsa fauzi meminta agar ia dijadikan sebagai dokter penanggungjawab jadi keseluruhan perawatan diserahkan kepada fauzi.

Fauzi menyalami tangan ayah salsa setelah membantu membopong untuk naik ke atas brankar.

"Terimakasih ya nak."

"Iya, sama sama om. Gimana perasaannya om? ada keluhan?"

"Untuk sekarang ga ada nak."

"Yaudah, om istirahatnya dibanyakin ya, jangan banyak pikiran  biar bisacepat keluar"

Salsa mengikuti Fauzi keluar dari ruang rawat ayahnya. lalu menahan tangannya saat akan melanjutkan kunjungan ke pasien.

"Mol, untuk biaya VI..."

"Ssstt, udah gak usah dipikirin, kamu fokus ke kesehatan om dulu aja, itu bisa kita bicarakan nanti ya." 

"Tapi moll ak.."

"Udaaah, sana masuk. Kamu dicariin papamu loh ntar." Fauzi berlalu melanjutkan rutinitas seninnya.

Betapa bersyukurnya salsa masih bisa mendapatkan kebaikan dari beberapa orang. Fauzi tau betul perangai salsa yang tidak ingin memiliki hutang budi dan harus dibantu dengan tindakan bukan dengan sekedar tawaran. Sosok salma masih sama dimata Fauzi masih menjadi wanita yang berhasil merebut kekagumannya.

DIALOGUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang