Selama hidupnya, Shayne hanya takut pada 2 hal. Dia takut kehilangan Mina, dan dia juga takut kehilangan Kareela. Ada banyak hal yang selama ini selalu dia tutupi. Bahkan sampai kematian istrinya pun pria itu tidak dapat menjelaskan siapa dirinya yang sebenarnya. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah memastikan jika Kareela baik-baik saja. Apapun itu Kareela harus baik-baik saja. Sekalipun gadis itu membencinya, setidaknya dia tidak akan tersentuh oleh mereka.
Shayne memang bukanlah suami dan ayah yang ideal, dia tahu itu. Istri dan anaknya membencinya. Orang-orang mengutuknya dan mungkin Tuhan juga begitu. Percayalah itu tidak terlalu begitu masalah baginya.
“Mereka ngincar anak lu.”
Itu adalah kalimat paling menakutkan yang pernah Shayne dengar. Stik billiard di tangganya batal dia arahkan pada bola putih di tengah meja. Badannya langsung menegak, menatap nyalang lawan bicaranya, seakan-akan meminta penjelasan detik itu juga.
“Informasinya sih, begitu. Mereka lagi nyari calon peserta didik baru lewat hasil psikotes anak-anak SMA di beberapa wilayah. Jakarta salah satunya,” jelas si lawan bicara. Seorang pria keturunan Belanda, pemilik kafe tempatnya berada.
“...”
“Lu tahu apa yang mengejutkan? Nama Kareela Nadiya, peserta didik baru di SMA 67 Jakarta berada di urutan nomor 2 dengan hasil IQ 145.”
Shayne tetap terdiam menatap temannya itu dengan tatapan horor. Tenggorokannya terasa tercekat, tiba-tiba dia sulit untuk sekedar berbicara.
Temannya itu terkekeh. Menampilkan deretan giginya yang rapih. “What a suprise, huh? Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.”
“Sejak kapan?” Akhirnya, selama beberapa detik Shayne dapat kembali berbicara.
“Well, mungkin sejak sebulan yang lalu.”
BRAK!
Tiba-tiba emosi Shayne meluap, dia melempar stik billiard dan menarik kerah pakaian temannya itu. “Kenapa lu baru ngasih tau gue sekarang, bangsat?!” makinya.
Mees, temannya itu mencoba untuk tenang. “Woahh, gue baru banget dapet infonya tadi pagi!”
Shayne mengeraskan rahangnya, lalu mendorong Mees dengan kasar. Pria itu sudah tidak tertarik dengan permainan billiard-nya dan memilih untuk duduk di kursi samping meja bar. Dirinya mencoba untuk tenang, meski otaknya terus berputar memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi.
“Akan lebih mudah jika Kareela menolak tawaran mereka nanti. Tapi lu tahu sendiri, mereka punya banyak cara agar membuat target mereka tertarik untuk bergabung.” Mees ikut duduk di sampingnya dan bersedekap. “Dia anak yang baik, anyway. Kekurangannya cuma satu, punya bokap yang brengsek kayak lu!”
Mendengar perkataan Mess, Shayne hanya bisa mendengkus. Pria itu meraih gelas sloki kosong di meja dan menuangkan isi botol tequila hingga penuh, lalu menghabiskannya dalam sekali tenggak. Mess tadinya ingin ikut minum, tapi batal saat seseorang datang menghampiri dan membisikkan sesuatu padanya.
Ekspresi Mess tiba-tiba berubah. Dia menatap asisten pribadinya tersebut dengan tatapan tidak percaya. “Berapa orang?!” tanyanya.
“3 orang.”
Mees meneguk ludahnya dan buru-buru menatap Shayne.
“Kenapa?” tanya Shayne.
“Mereka udah tahu.”
Shayne mengernyit. Belum sempat dia bertanya, temannya itu lebih dulu berbicara.
“Data intel-nya bocor. Solomon bergerak 3 kali lebih maju di depan! Singkatnya, dia tahu siapa Kareela. Dia tahu siapa ayahnya!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Green Wave
FanfictionTentang seorang pria yang mencintainya seluas semesta, menariknya untuk selalu berlindung di balik punggungnya yang kokoh. Tentang seorang bocah yang tidak tahu apapun tentang buruknya dunia di luar sana, terpaksa terjun melihat busuknya orang-oran...