12 | A Rich Girl and A Brat

95 11 2
                                    

Periode berganti, watak kepemimpinan pun berubah. Tidak ada yang diuntungkan, Shayne justru merasa dirugikan. Di era pemerintahan Ghandi begitu berbeda dengan Yudha. Privilage yang didapatkan atas tekanan yang dia berikan kepada presiden sebelumnya sudah tidak berlaku, sebab sekarang yang berwewenang untuk memerintah dirinya adalah Gandhi, presiden ke-7 yang kini menjabat.

Sedikit latar belakang seorang Gandhi yang dapat Shayne rangkum adalah, dia sosok yang jenius. Pria usia awal 50-an itu mampu memanfaatkan segala kesempatan yang ada. Orang-orang mungkin menilai dia hanya pria biasa yang dulu pernah menjabat menjadi pemimpin di kota kecil di Jawa Tengah. Namun di luar itu, dia adalah pemain yang handal. Dia dapat merangkul ke-9 keluarga Naga dengan baik, sehingga dapat menyokong program kerjanya yang terlihat masif dan meyakinkan di mata masyarakat.

Shayne jelas tidak bisa tinggal diam. Cepat atau lambat, persembunyiannya akan kembali tercium oleh Solomon. Dia tidak masalah apabila hanya dirinya seorang yang dikejar oleh mereka, tapi besar kemungkinan keluarganya juga akan dicari.

“Saya tidak menyangka kamu akan melakukan ini ... Pattynaya.”

Mendengar namanya disebut Shayne menarik kursi dan duduk tepat di hadapan orang nomor satu di Indonesia tersebut. “Pengamanan dari Paspampres anda sangat kurang, mereka kecolongan. Evaluasi lagi setelah ini,” sahutnya, menatap ruangan kerja tersebut dengan detail. “Jika saya adalah musuh negara, besok pasti akan muncul berita yang sangat menggemparkan.”

Gandhi menaikkan salah satu alisnya. “Ada apa gerangan? Apa kamu mau protes akan kinerja saya?”

“Saya sudah tidak peduli lagi dengan visi misi para pemimpin seperti anda.”

“...”

“Anda tahu betul, saya punya banyak musuh. Bahkan sekelas mafia kartel di negara Rusia pun sedang mencari saya sampai ke liang lahat.” Shayne mengapit kedua tangannya di meja. “Saya hanya ingin anda untuk menekan Solomon agar tidak mencari keluarga saya.”

Wajah Gandhi tiba-tiba berubah, dia menyeringai. “Solomon? Itu yang kamu takutkan?”

“Saya tidak takut.” Shayne mengatakannya dengan nada yang dingin. “Sedikit banyak Anda pasti tahu bagaimana kekuatan besar macam Solomon akhirnya bisa saling berdampingan dengan pemerintah.”

“Saya tahu. Itu adalah campur tangan antara Pak Yudha dengan anjing setianya—siapa lagi kalau bukan kamu, Pattynaya. Namamu cukup terkenal di antara orang-orang penting di kabinet saya. Bahkan menteri pertahanan pun mengakuinya, kamu paling buas di antara sekumpulan anjing pemerintah lainnya yang dibentuk oleh BIN,” ucap Gandhi. Tak lama, dia melanjutkan, “Kamu juga satu-satunya agen yang berani melanggar kode etik.”

“...”

“Tapi tenang saja, Pattynaya. Saya bukan Pak Yudha. Latar belakang saya bersih dan kamu tidak bisa sembarangan mengancam saya, atau kamu bisa saja berakhir detik ini juga. Hal yang sama juga akan terjadi pada keluargamu—yang sungguh saya tidak tahu siapa mereka dan saya juga tidak tertarik untuk tahu.”

Shayne mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras. Kalau saja dia tidak menahan emosinya sedikit lagi, meja di depan bisa hancur terbelah dua. “Pak Gandhi, saya sarankan anda mengikuti saran saya,” ucapnya. Pria itu menatap lawan bicaranya dengan tajam. “Keluarga saya bukan hanya seorang sipil biasa. Jika terjadi sesuatu pada mereka, bukan hanya aku yang akan berbelot, tapi Haddad akan mengibarkan bendera peperangan!”

Wajah Gandhi tiba-tiba tercengang. Belum sempat baginya untuk merespon, Shayne lebih dulu berdiri. Membetulkan setelan jas-nya yang menyerupai seragam Paspampres, lalu tersenyum miring. “Saya anggap anda mengerti. Selamat malam.”

Green WaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang