5 tahun yang lalu.
Dari dulu hingga sekarang, Ibu adalah orang favoritnya. Semuanya tentang Ibu, semuanya dilakukan untuk Ibu. Baginya Ibu itu adalah pusatnya. Jika Kareela dalam masalah, pasti Ibu datang dan menolong. Jika Kareela sedih, Ibu selalu ada untuk menghiburnya. Bahkan jika Kareela diam saja dan tidak berani untuk mengatakan apa masalahnya, Ibu pasti sudah tahu jawabannya.
Semuanya sempurna bersama Ibu. Semuanya terasa indah jika ada Ibu. Tapi semua jadi berantakan saat Ibu tidak ada.
Momen menyeramkan yang tidak akan pernah Kareela lupakan adalah saat dirinya diberitahu kabar oleh wali kelas tentang ibunya yang kecelakaan motor dan meninggal di tempat. Mendengarnya gadis itu mendadak lupa bagaimana caranya bernapas. Waktu itu dia masih berusia 10 tahun, tapi itu sudah cukup baginya untuk paham kalau seseorang yang meninggal tidak akan pernah bisa kembali lagi.
Di usianya yang saat itu masih kecil, sempat pernah terbesit di pikirannya untuk mengakhiri hidupnya saja. Dia meminum obat sakit kepala hingga 10 bungkus (sebab dia pernah dengar kalau minum banyak obat bisa menewaskan seseorang) namun sayangnya gagal. Kareela pun tidak menyerah, dia mengambil pisau di dapur dan menyayat pergelangan tangannya. Aksinya berhasil, darah memancar dari nadinya, dirinya dibuat tidak sadar dalam sekejap. Tapi entah ini keajaiban atau memang belum waktunya untuk berpulang, dia kembali terbangun—kali ini di rumah sakit.
Mengejutkannya ada Om Mandra di sana. Rupanya pria itu yang menolongnya, dan membawanya ke rumah sakit.
“Kenapa kamu nyayat tangan sampe kayak begitu? Kamu pikir mati itu enak?” tanya Om Mandra sarkas. Pria itu duduk di samping bangkar seraya bersedekap, melayangkan tatapan tajam yang tidak berani Kareela lihat.
Gadis itu tidak menjawab, dirinya justru malah menunduk menatap pergelangan tangan kirinya yang dibebat oleh perban.
“Kamu masih kecil pikirannya udah mau bunuh diri aja! Orang-orang di luar sana berbondong-bondong bertahan hidup, tau gak? Kamu malah mau mati!”
“...”
“Coba Om mau nanya, emangnya kamu ngelakuin itu buat apa?” Om Mandra, atau selama ini adalah Mees yang menyamar sampai kebawa emosi sendiri.
Dua bulan sejak 40 hari kematian Mina, Shayne sangat sulit untuk dihubungi. Dia hilang dari radar setelah ditugaskan mengawasi dalang dibaliknya pertambangan batu bara ilegal di Kalimantan. Kemungkinan pertama yang Mees bisa tebak, pria itu kehilangan sambungan komunikasi dan terjebak. Namun kemungkinan buruknya, dia tertangkap.
Mees tidak tahu perasaan apa ini, namun tiap kali dirinya melihat Kareela dia seperti melihat anak kucing yang baru saja terlindas mobil. Tidak berdaya, kesakitan, bingung, dan hanya bisa menangis dan pasrah dengan keadaan. Mees ingin sekali membawanya ke panti asuhan, setidaknya itu lebih baik ketimbang harus membiarkannya sendirian. Tapi pria itu tahu, Shayne pasti akan mengamuk dan tidak setuju.
Jika Mees disuruh menunjuk siapa orang yang paling egois dan keras kepala, maka Shayne orangnya. Walau pria itu tahu ada tragedi di balik hadirnya seorang Kareela, namun entah kenapa melihatnya Mees begitu miris. Dia sampai memantapkan hati untuk tidak mau punya anak. Mengurus keponakan angkat saja pusing, apa lagi mengurus anak sendiri?
“Kalau orang nanya itu, dijawab! Bukannya nangis!” Persetan adab dan tata kerama. Biarkan Mees lakukan dengan caranya sendiri. Pria itu tidak peduli saat Kareela menangis karena kalimatnya barusan yang mungkin saja menyinggung perasaannya.
“Aku ... Hiks—hiks! Cuma mau ketemu Ibu ... Hiks!” Tangis Kareela semakin deras, air matanya menetes hingga membasahi selimut di pahanya. “Aku kangen Ibu, Om. Hiks—semuanya susah buat aku kalo gak ada Ibu—hiks! Di sekolah aku dibully sama temen-temen—”

KAMU SEDANG MEMBACA
Dum Spiro, Spero
General Fiction[BUKU KE-1] Tentang seorang pria yang mencintainya seluas semesta, menariknya untuk selalu berlindung di balik punggungnya yang kokoh. Tentang seorang bocah yang tidak tahu apapun tentang buruknya dunia di luar sana, terpaksa terjun melihat busukny...