07 | Audentes Fortuna Iuvat

120 21 2
                                    

20 tahun yang lalu ...

November, 2004.

Ini nyaris sudah sebulan Shayne terjebak di sebuah bangunan mess dekat pinggir pantai kawasan Leahari, kota Ambon. Di sana pria berusia 19 tahun itu tinggal bersama puluhan orang dari segala macam usia, laki-laki dan perempuan semuanya sama. Mereka berasal dari berbagai wilayah di Nusantara. Berkumpul untuk membuktikan siapa yang layak untuk bergabung sebagai tukang pukul keluarga Solomon. Katanya, di setiap tanggal 27, Yohanes Solomon, selaku pemimpin keluarga akan datang bersama orang-orangnya. Mereka akan menilai dan memilih satu di antara puluhan orang di mess tersebut, kemudian akan membawanya ke mansion utama keluarga Solomon di pusat kota Ambon.

“Ini sa punya! Ko cari yang lain!”

Tubuh Shayne terdorong setengah meter setelah seorang pria berusia sekitar 30 tahun mendorongnya dan mengambil alih samsak yang baru 5 menit dia pakai. Shayne mendengkus, melihat ke sekeliling dan orang-orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Melatih stamina dan kemampuan bela diri mereka untuk bekal di tanggal 27 nanti.

Rumor yang Shayne dengar, mereka akan saling menghabisi satu sama lain hingga hanya tersisa satu yang masih bertahan sebagai pemenang. Laki-laki dan perempuan semuanya sama. Tidak ada perbedaan di tempat ini.

Baiklah. Shayne tidak perlu samsak. Shayne tidak perlu barbel. Sepertinya dia hanya perlu ketenangan.

Dilepaskannya sarung tinju di tangannya, dan memilih untuk pergi ke ruang makan. Mungkin saja di sana ada sesuatu yang dapat dia kunyah untuk mengganjal perut.

“Tidak dapat jatah latihan lagi, hum?” Di sana dia bertemu dengan seorang pria seusia dengannya yang sedang duduk di salah satu kursi.

Shayne terdiam menatapnya sejenak. Kemudian terkekeh dan ikut duduk bersamanya. “Iya. Di atas sana sangat ramai.”

“Sangat ramai atau sangat tidak nyaman? Anggota baru sepertimu biasanya selalu dapat perundungan. Kamu tahu itu.”

Namanya Evan. Orang Denpasar. Dia sudah bergabung sejak 6 bulan yang lalu. Namun seperti kebanyakan anggota lainnya, sangat sulit untuk dilirik oleh Solomon. Saingan di sini begitu ketat.

“Kamu benar. Dua-duanya.”

“Untuk ukuran anggota baru sepertimu, kamu terbilang cukup santai.”

Shayne mengernyit. “Apa maksudnya?”

Evan mengangkat bahu tak acuh, dan menunjuk sebuah foto cukup besar yang terpajang di dinding. Itu foto Victor Solomon. Kepala keluarga Solomon yang terdahulu. “Impian semua orang di tempat ini adalah bisa mencapai titik itu.”

“...”

“Memberikan sumpah setia pada Solomon dan menjadi bagian di dalamnya. Uang, kuasa, dan wanita—semuanya—akan ada dalam genggaman. Membayangkannya saja aku sampai tidak bisa tidur.” Evan tertawa.

Tapi bagi Shayne itu tidak lucu.

“Kalau boleh tahu, apa tujuanmu bergabung?” Evan tiba-tiba bertanya.

Entah kenapa Shayne merasa seperti déjà vu. Pertanyaan itu sama seperti pernyataan yang pernah dia dapatkan saat bergabung dalam akademi STIN. Sekolah Tinggi Intelijen Negara 3 tahun yang lalu.

“Uang. Saya butuh uang. Saya dengar kalau bergabung dan menjadi kaki tangan keluarga Solomon, akan mendapatkan upah 3 kali lebih banyak dari gaji pejabat.”

Evan mengangguk. “Yah, kamu benar. Bekerja keraslah. Sangat sulit untuk bisa dilirik. Beberapa ada yang lebih dulu menyerah ... Atau parahnya, selalu ada yang mati setiap tanggal 27.”

Green WaveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang