Oktober, 2008.
Dante Arthur Solomon. Pria berdarah setengah Italia dan Maluku. Putra sulung Yohanes Solomon, sekaligus satu-satunya orang terdekat bagi Shayne yang selama setahun telah (berpura-pura) mengabdi pada keluarga Solomon. Di manapun pria itu berada, pasti selalu ada Shayne di sana.
Entah ini termasuk dalam rencananya atau bukan, namun dirinya benar-benar diterima dengan baik oleh Solomon. Mereka—terutama Yohanes—benar-benar telah menganggap Shayne adalah keluarga bahkan anaknya sendiri. Itu sebabnya dia dan Dante cepat akrab.
Bagi Dante sendiri, Shayne adalah tamengnya, partnernya, dan juga penasihatnya. Apapun masalahnya Dante akan baik-baik saja selama ada Shayne di sampingnya. Bahkan pria itu berencana, jika suatu saat kekuasaan keluarga Solomon jatuh di tangannya, dia akan menjadikan Shayne sebagai kaki tangannya.
Hal tersebut bermula saat Shayne mengorbankan dirinya dalam insiden kebakaran untuk melindungi Dante yang terjebak dalam mansion sayap barat keluarga Solomon. Sejak saat itu, Yohanes benar-benar mempercayakan Shayne yang jatuhnya masih anak baru untuk selalu ikut bersamanya kapan pun pria itu pergi mengunjungi pertemuan bisnis.
“I hate her.”
Lamunan Shayne buyar saat mendengar suara gelas diletakkan di meja dengan kasar. Mata cokelat terangnya menatap seorang pria yang duduk di hadapannya itu, lalu tak lama atensi tertuju pada seorang gadis mengenakan dress putih satin dengan riasan tipis serta rambut hitam legam yang terurai sampai punggungnya.
“Don’t blamed her. You’re just ... not her type.” Shayne meraih gelasnya dan meneguk wine di dalamnya dengan khidmat.
Dante mendengkus. Entah kenapa justru terdengar lucu bagi Shayne. Kebetulan mereka sedang menghadiri acara private gala dinner di Surabaya. Dante datang sebagai perwakilan dari ayahnya. Tentu jelas pria itu akan mengajak Shayne sebagai asisten sekaligus bodyguard-nya.
“Kalau gue berhasil dapetin dia, tambang minyak di Sumatera bisa jadi milik gue.” Dante memotong daging steak-nya. Matanya kembali mencuri pandang ke arah gadis tersebut.
“Masih banyak opsi yang lebih menarik. Malaka contohnya.”
Dante tergelak pelan. “Menurut lo, apa reaksi Padre saat tahu gue pedekate sama anak Malaka?” ucapnya lalu memasukkan potongan daging steak tersebut ke mulutnya.
Shayne menghela napas. Dia kembali menoleh ke arah Naurah, putri tunggal dari keluarga Haddad. Sialnya, gadis itu justru juga sama-sama sedang menatapnya. Shayne mengerutkan kening, sedangkan Naurah tersenyum manis lalu sedetik kemudian membuang tatapannya dengan anggun.
“La merda, lo gak berniat rebut dia dari gue kan?” (Shit) Dante tiba-tiba berkata, membuat Shayne mendengkus.
“Sori. Nggak tertarik sama gadis Melayu.”
Nyatanya, Shayne menjilat ludahnya sendiri.
Dia jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gadis Melayu tersebut. Berbanding terbalik dengan ayahnya yang penuh dengan aura intimidasi, Naurah justru memancarkan aura yang adem. Tipikal gadis yang sopan, ramah, dan lemah lembut. Meskipun dia anak sekaligus penerus utama keluarga Haddad, rupanya dia tidak begitu banyak tahu tentang dunia ayahnya. Yang Shayne bisa nilai, Naurah seperti membuat pembatas besar antara hidupnya dengan bayang-bayang dunia gelap yang menunggunya kelak.
“Kamu suka tantangan?” tanya Naurah saat itu.
Mereka pergi ke suatu tempat yang cukup jauh dari hotel. Shayne membawanya ke sekitaran pelabuhan, menikmati lampu-lampu pabrik di pinggir jalan, dan juga lampu-lampu dari kapal yang berlabuh dan berlayar dari dermaga. Hanya berdua. Dan izinkan Shayne untuk mengakui, jika gadis di sampingnya ini sangat manis.
![](https://img.wattpad.com/cover/376983120-288-k396287.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dum Spiro, Spero
Художественная проза[BUKU KE-1] Tentang seorang pria yang mencintainya seluas semesta, menariknya untuk selalu berlindung di balik punggungnya yang kokoh. Tentang seorang bocah yang tidak tahu apapun tentang buruknya dunia di luar sana, terpaksa terjun melihat busukny...