#25 (END)

16 4 0
                                    

Semoga selalu suka sama Ceritaku ya!!

Kalula dan Langit, telah sampai di Rumah Sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kalula dan Langit, telah sampai di Rumah Sakit. Langit memutuskan untuk ikut ke Rumah Sakit menjenguk Nesa. Kalula dan Langit sampai di depan UGD yang sudah sangat ramai, di sana ada Bian, Arsen, Melani, dan Rita yang sedang duduk diam di depan UGD karena, sampai saat ini Nesa belum sadar, dan mereka belum di perbolehkan masuk.

Kalula dan Langit duduk di samping Arsen menunggu dokter keluar untuk memberitahukan keadaan Nesa.

Pintu UGD terbuka, dokter keluar bersama perawat yang berada dibelakangnya.

"Maaf, mana suaminya?" tanya dokter ber nametag Sinta itu.

"Saya, dok. Istri saya kenapa?" Dengan cepat Bian berdiri dan menghadap dokter tersebut.

Semua pandangan tertuju ke arah dokter serta perawat, berharap jawaban yang diberikan dokter bisa membuat mereka sedikit lega.

"Maaf, pak. Saya harus mengucapkan ini," ucap dokter dengan tenang.

"ISTRI SAYA KENAPA?!" Bian meninggikan suaranya.

"Ibu Nesa mengalami ... kangker otak stadium akhir." Dokter menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya.

"Nggak mungkin, dok!" bentak Arsen, "Bunda itu nggak sakit!" lanjutnya.

"Tapi kenyataannya seperti itu, Nak," ucap Dokter Sinta.

𝄞⨾𓍢ִ໋


Nesa perlahan membuka matanya, menyesuaikan pandangannya yang masih kabur. Ruangan di sekitarnya terasa asing, namun perlahan ia mulai mengenali aroma obat-obatan yang mengisi udara. Sesaat ia mengerjap, mencoba mengingat apa yang baru saja terjadi, dan rasa sakit kembali menghantam kepalanya.

"Bunda, sudah sadar?" Suara lembut namun penuh kegelisahan itu menyadarkan Nesa daru lamunannya.

Nesa hanya mengangguk lemah, mencoba tersenyum meski kepalanya terasa sangat sakit. "Iya, Nak, Bunda baik-baik saja," katanya dengan suara serak.

Di samping Arsen ada Bian, pria itu menghela napasnya dalam-dalam menatap sang istri dengan nata yang mulai berkaca-kaca. "Sayang, aku ... aku ... nggak tau mau jelasin ke kamu gimana. Tapi aku harus jujur."

Nesa memandang Bian dengan tatapan bingung dan sedikit cemas. "Kenapa? Bilang saja!" ucapnya tenang, namun tersirat kekhawatiran.

Bian mengusap wajahnya berusaha menenangkan diri. "Sayang, kata dokter ... kamu punya penyakit kangker otak, dan ... itu sudah stadium akhir." ucapnya, air mata yang sedari tadi ia tahan, kini sudah tidak bisa ditahan. "Kamu kuat ya, pasti bisa sehat," lanjutnya sembari memeluk Nesa yang terbaring lemah, dengan tatapan mata yang kosong, namun ada air mata yang mengalir.

Berbahagialah [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang