Barza jadi banyak melamun. Dia belum bertemu siapa pun selain Thea setelah menonton video ibunya tadi. Hatinya masih bergejolak, sehingga tatapannya jadi kosong terarah ke ubin.
"Lo kenapa, Bar?" tanya Thea sambil memasukkan perintilan-perintilan ke dalam kardus.
"Kangen Nyokap."
"Loh. Bukannya lo ada nyokap—oh, paham. Sori." Thea buru-buru meralat sebab dia merutuki dirinya yang kurang konsentrasi. "Didoain, Bar."
"Iya."
Jawaban singkat Barza membuat Thea akhirnya menoleh. Adik tingkatnya itu ternyata tengah bersandar di balkon.
"Gue putus."
Barza tidak menyahut.
"Gue barusan putus, Bar."
Kali ini, Barza memusatkan seluruh atensinya menuju Thea. "Hah? Nggak salah denger?"
Thea mencebik. "Yah. Dia bilang, sih, kita nggak bakal bisa LDR. Entah bener gitu atau dia udah ada yang lain."
"Wah, sinting. Nggak waras." Barza seketika kembali ke mode awal. Sejenak melupakan kerinduannya yang tak berbalas itu. "Jadi, lo single sekarang, Mbak?"
Thea mengangguk. "Ya, iya. Kenapa? Lo berasa punya kesempatan? Nggak mau, ah. Lo masih kecil. Lo nggak ngerti cinta-cintaan."
Karena langsung ditembak demikian, Barza jadi tergelagap. Lalu, dia bersila di sebelah Thea, mendadak turut membantunya memasukkan barang-barang ke kardus.
"Coba dulu. Belum pernah sama berondong, kan? Lagian, jarak umur kita juga nggak sejauh itu. Nggak sampe belasan tahun kali."
Untuk pertama kalinya, Thea yang bar-bar jadi salah tingkah saat Barza intens menatap matanya.
"Gue nggak malu-maluin kalau dijadiin pacar, kok."
Thea masih kehabisan kata-kata. Barza... sejak kapan jadi kelewat percaya diri begini?
"Gue juga nanti yang warisin ini rusun. Duit, mah, aman."
Thea tergelak. "Hah? Lo lagi promosiin diri?"
"Gue kasih disclaimer. Lo, sih, nantangin, Mbak. Dan semisal kita jadian, lo nggak perlu pulang kampung, Mbak. Cari kerja di sini aja." Barza juga heran mengapa dia kini terang-terangan menyatakan kalau dirinya memang ada rasa terhadap Thea. Mungkin terpengaruh kabar putusnya gadis ini dengan sang mantan pacar, jadi dia bisa mengamankan posisinya. "Gimana? Oh, atau mau PDKT dulu? Nanti malem jalan mau?"
Thea mengernyit, tapi seperti habis dihipnotis, dia begitu saja mengiyakan ajakan Barza.
***
Semakin gencar mendekati Bella, Jenta kini sudah siaga di depan sekolah gadis periang itu. Tak lama, sosok yang dinantinya muncul. Lambaian tangan tersebut segera dia balas dengan antusias.
"Wah, aku dijemput naik mobil."
Jenta tertawa saat Bella akhirnya duduk di bangku sebelah. "Emang kenapa?"
"Pasti lagi diomongin anak-anak lain."
Jenta membasahi bibir sebelum menimpali, "Tapi, tampang gue nggak kayak om-om, kan?"
Bella terkekeh, lalu telunjuk dan ibu jarinya dirapatkan. "Sedikit, sih."
Jenta pura-pura menggeram, gerutuannya tampak dibuat-buat hingga dia mengadu, "Fine."
Niat Jenta menyalakan mesin mobil terhenti saat ibunya meminta face time. Ada sekian detik dia pakai untuk memandangi layar hp sampai dia menengok pada Bella.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rusun Semengkas [✓]
Teen FictionRumah Susun Semengkas; tempat bernaung, tempat berkeluh kesah, tempat adu nasib, ya tempat segalanya buat anak-anak perantau luar Jakarta.