t u j u h b e l a s

209 38 6
                                    

"Sebenernya, kita boleh nggak, sih, pacaran gini?"

Deega menoleh, menemukan raut Zanine yang tiba-tiba mendung, sehingga dia sulit membagi konsentrasi antara jalanan dan perempuan di sebelahnya.

"Kak Zivana kan juga pacaran sama Abang kamu, Ga. Bang Deeza."

Deega pun menghela napas, "Tapi, kamu sama Kak Zivana kan bukan saudara kandung. Kamu adek sepupu Kak Zivana. Setau aku, nggak papa, kok. Aman."

Namun, Zanine membasahi bibirnya, "Aku mau putus aja."

Deega spontan terkejut, "Maksudnya? Kenapa kamu tiba-tiba minta putus? Kan kita nggak ada masalah apa-apa, Nin. Apa yang lagi kamu pikirin? Apa yang lagi bebanin kamu?"

Zanine menggeleng sekilas, "Aku takut jadi penghalang kebahagiaannya Kak Zivana, Ga. Soalnya, Kak Zivana pernah bilang kalau dia sesayang itu sama Bang Deeza dan kayaknya hubungan kita bisa jadi sumber masalah di kemudian hari—"

"—masalah apa? Kamu nggak masuk akal banget, Nin."

Sambaran Deega membuat sebulir air mata Zanine akhirnya mengalir turun. Dia pun melirih, "Aku sayang Kak Zivana, banget. Karna keluarga Kak Zivana yang ngerawat aku dari kecil sampe nanggung biaya kuliahku sekarang, Ga. Aku nggak mau ngecewain dia. Aku nggak mau nyakitin dia. Aku hutang budi sama dia dan keluarganya. Terus, entah hubungan kita ini diperbolehkan atau dilarang, aku tetep mau ngehindarin resiko aja. Jadi, mending kita udahan—"

"—ternyata arti aku dan hubungan ini di mata kamu cuma sesepele itu? Selama ini, tujuan kita pacaran bukan buat serius? Cuma main-main, Nin?"

Zanine tercekat, dia juga tertegun sekian detik sebelum akhirnya berdesis penuh penekanan, "Aku nggak bisa nerusin ini, Ga. Di luar sana pasti ada cewek-cewek lain yang jauh lebih baik dari pada gue—"

"—NGGAK ADA, NIN! GUE MAUNYA CUMA LO!"

"TAPI, KEADAAN NGGAK MEMUNGKINKAN—"

"—KEADAAN YANG LO MAKSUD ITU BENER-BENER KONYOL!"

Semakin banyak teriakan yang mereka adu, semakin tak terkendali pula setiran Deega. Dia lepas konsentrasi, dia hilang fokus, sehingga asal menginjak gas dan lupa menginjak rem. Sampai akhirnya, mobil menabrak pembatas jalan.

"DEEGA!"

Seruan Zanine menjadi hal terakhir yang Deega dengar sebelum mobil yang mereka tumpangi ini terbalik dan berguling, kemudian mobil-mobil lain pun terkena imbas hingga kecelakaan beruntun terjadi di jalan tol itu.

"Zanine," panggil Deega dengan suara lemah sebelum kesadarannya terenggut. "Ma-maaf."

Satu-satunya proyeksi Zanine yang sempat terekam ingatan Deega adalah wajah berlumur darah—yang masih sempat mengulas senyum tipis di sela air mata yang menderas.

"AAAAAKH!"

Deega refleks berteriak, dia bangun dari tidurnya dalam sekejap. Napas tersengal, dada naik turun, dan perasaan takut yang mendominasi diri tiba-tiba melingkupinya.

"Zanine."

Kemudian, tangis Deega meluruh seketika.

"Apaan, sih? Tengah malem teriak-teriak?"

Deega mendongak, dia dapati Deeza yang sudah tidak menggunakan kruk lagi, tengah bersiap mencacinya. Alhasil, emosi Deega jadi terpancing. Dia turun dari ranjang, lalu berderap mendekati Deeza di ambang pintu kamar.

"Kalau aja lo nggak pacaran sama Zivana, hubungan gue sama Zanine juga baik-baik aja. Kita nggak bakal tengkar di mobil dan—"

"—heh! Kenapa jadi nyalahin gue sama Zivana? Jelas-jelas lo bunuh Zanine karna keteledoran lo sendiri!"

Rusun Semengkas [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang