Aku malas sekali pergi ke sekolah hari ini, belum lagi aku sedang demam. Untungnya Arkan menjemputku, padahal sebelumnya dia sudah sampai di kelas. Aku memang seringkali seperti orang yang tidak tahu malu, tapi kali ini aku memiliki alasan.
Bel istirahat baru saja berbunyi, aku memutuskan untuk pergi ke gudang belakang sekolah daripada ke kantin, meninggalkan teman-temanku dengan raut wajah kebingungan mereka. Sampai di sana, aku melihat punggung seorang perempuan yang kukenali.
"Viona!" panggilku.
Gadis berkulit kuning langsat dengan curly hair sepundak itu segera menoleh, satu alisnya terangkat.
Viona tidak memakai seragam, menampilkan kaus hitam polos yang dikenakannya. Rambutnya yang dikuncir, sedikit berantakan. Jari telunjuk dan jari tengahnya mengapit sebatang rokok.
Aku menghampiri Viona. "Bagi rokok lo," ucapku kemudian.
Viona menghembuskan asap ke wajahku. "Waktu itu lo minta belum diganti, sekarang minta lagi?"
"Gue ganti sebungkus," jawabku sambil mengibaskan tangan, berniat menghilangkan asap.
Tanpa banyak bicara, Viona memberiku sebatang, tak lupa meminjamkan koreknya. Setelah itu, dia pergi begitu saja, aku tak peduli apa yang mau dia lakukan.
Aku tidak pernah merokok, kecuali saat merasa terganggu dengan pikiranku sendiri seperti saat ini. Aku mulai mengacak rambutku, dan menendang batu-batu kecil yang ada di sana.
"Sial, hidup gue baru mulai tenang, binatang itu malah nongol lagi," keluhku.
"Belle!"
Aku yang mendengar suara teriakan itu dari kejauhan, buru-buru membuang rokokku, dan menginjaknya sampai hancur.
"Lo gak ke kantin karena ngerokok di sini?" tanya Arkan yang sepertinya habis berlari, ada Stella di belakangnya.
Aku mengangkat kedua tanganku. "Gue gak ngerokok."
"Viona bilang sendiri, gue percaya sama dia."
"Lo percaya sama dia?"
"Dia gak mungkin boong soal ini, gue juga kenal banget sama lo."
Aku mendecak, tak bisa membalas ucapan Arkan. Stella sendiri mulai berlari, aku bisa menebak niatnya.
"Stella, berenti gak lo! Lo mau ngapain?" Aku yang panik ingin segera mengejar Stella, tapi Arkan menahanku. "Gue harus ngejar dia, sebelum dia ngadu ke guru!" Tanpa sadar, aku membentak Arkan.
"Kalo dia nyampe ngadu ke guru, biar gue urus juga nanti di ruang guru. Sekarang, lo harus cerita, lo ada masalah apa?" Arkan bicara dengan nada penuh penekanan, tangannya mencengkram erat pergelangan tanganku.
"Gue gak mau cerita."
"Lo harus, Arabelle!"
"Kenapa maksa? Gue gak mau!"
"Cerita!" bentak Arkan.
Mataku mulai berkaca-kaca, aku benar-benar sensitif saat ini.
Air muka Arkan yang semula marah berubah, dia terlihat sedikit menyesal. "Belle, maaf, gue gak berniat bentak lo."
"Gue gak mau cerita, jangan paksa gue." Aku menundukkan kepalaku.
Arkan langsung melepas cengkraman tangannya, beralih mengusap kedua pipiku yang mulai dibanjiri air mata. Bibirnya tak berhenti membisikan kata maaf.
Aku mendongak, menjauhkan telapak tangan Arkan dari wajahku, lalu menghapus jejak air mataku sendiri. Aku tidak ingin menangis, aku tidak ingin terlihat lemah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Zavian
Teen FictionUntukmu, lelaki pemilik tatapan sedalam samudera dan senyuman sehangat mentari. Aku tak pernah lupa dengan awal pertemuan kita yang kurang baik, rasanya saat itu aku baru saja mengalami bencana besar. Sampai pada akhirnya takdir kembali mempertemuka...